Wayang Urban, Lakon Lama dengan Tafsir Baru

Melihat gempuran budaya luar, terutama dari Korea dengan boyband dan kelompok musik lainnya yang sangat diapresiasi di Indonesia belakangan ini, sangat mengkhawatirkan. Karya anak bangsa sendiri di lupakan. Kekhawatiran itu kemudian membawa Nanang Hape, pria yang dikenal sebagai dalang, musisi dan, sutradara, mengusung Wayang Urban, bertajuk Sintamu Sintaku.

Wayang urban,Trio Gareng, Bagong, Petruk di panggung Sintaku Sintamu, di Gedung Kesenian Jakarta, foto : Natalia S
Trio punakawan, Gareng, Bagong, Petruk,
versi wayang urban boleh pakai celana jins dan sarung

Wayang urban adalah sebuah inovasi format pertunjukan wayang yang lahir sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan masyarakat atau kelompok-kelompok tertentu yang tertarik dengan wayang.

Ada beberapa kendala wayang, menurut Nanang Hape, yang menjadikan pertunjukan ini seringkali kurang berhasil, apalagi untuk menggaet pasar anak muda. Alasannya, anak muda tidak mampu mengapresiasi bahasa “Jawa Pedalangan”. Di sisi lain cerita wayang dibuat lambat, sehingga seringkali membuat orang cepat bosan, apalagi generasi muda sekarang yang sudah terbiasa dengan pertunjukan yang dikemas secara padat.

“Generasi muda sekarang tidak memiliki perangkat untuk meneruskan warisan budaya ini, sehingga khawatirnya warisan ini terputus dan terkubur,” papar Nanang saat ditemui Tembi di Gedung Kesenian Jakarta, Jumat, 2 November 2012.

Nanang Hape, dalang Wayang urban foto di Gedung Kesenian Jakarta, foto : Natalia S
Ki Dalang Nanang Hape mendalang dalam bahasa Indonesia

Namun, Nanang sadar tidak bisa serta merta memaksakan mereka masuk dalam budaya ini, apalagi sejak kecil memang tidak pernah dikenalkan sama sekali. “Saya mencoba untuk mengembangkan, bagaimana sesuatu yang dianggap masa lalu ini bisa diterima. Yang penting mereka punya ketertarikan terlebih dahulu, dan komunikasinya nyambung,” katanya.

Setelah persiapan yang dilakukan selama kurang lebih dua bulan, akhirnya sebuah lakon bertajuk Sintaku Sintamu siap di gelar. Malam itu, Nanang membuka pertunjukan dengan kemunculannya bersama tokoh Petruk, Gareng dan Bagong. Di situ Nanang yang berperan sebagai dalang menceritakan tokoh-tokoh wayang, dan cerita Rama Sinta kepada mereka. Nanang bercerita dalam bahasa Indonesia.

Adegan selanjutnya menyajikan penggalan-penggalan kisah Ramayana. Nanang membawa penonton masuk ke dalam kisah pewayangan dengan cara yang menarik. Sinta yang belasan tahun diculik Rahwana, dan selama itu juga Rama dan Sinta menakar kesetian masing-masing.

Adinia Wirasti dan Nanang Hape, Wayang urban, di Gedung Kesenian Jakarta, foto : Natalia S
Adinia Wirasti dan Nanang Hape, membawa kisah perwayangan dalam realita kontemporer

Kemudian adegan Rama Sinta seolah masuk dalam kehidupan modern, ketika Adinia Wirasti muncul, sebagai tokoh perempuan modern sedang bimbang dengan nasib percintaannya dengan kekasihnya yang bekerja sebagai pilot. Dalam kisahnya Adinia bimbang karena selalu ditinggal berbulan-bulan.

Nanang kemudian mengatakan, “Dewi Sinta saja terpisah dengan suaminya 13 tahun, biasa saja. Ia menerima dan tetap setia”. Cerita kemudian kembali bergeser ke masa lalu, cerita tentang Rama dan Sinta yang dibawakan dengan sangat apik oleh para tokoh.

Ada adegan Nanang bernyanyi bersahutan dengan pesinden asal solo, Sruti Respati. Keduanya sama-sama memiliki suara yang merdu, sehingga kisah pewayangan ini menjadi berbeda, tak melulu cerita dan lakon. Ada juga tari dan musik yang dipadukan dalam satu cerita.

Tokoh Sinta dalam lakon Sintaku Sintamu di Gedung Kesenian Jakarta, foto : Natalia S
Sinta tertunduk sedih, 13 tahun berpisah dengan Rama

Pagelaran yang berlangsung pada 2-3 November 2012 di Gedung Kesenian Jakarta ini disambut meriah. Berdurasi kurang lebih satu setengah jam. Sebuah pertunjukan yang menyatukan kisah klasik Rama dan Sinta dengan konflik masa kini, berhasil membuat penonton tidak bosan atau mengantuk. Pertunjukan itu sesuai dengan motto wayang urban: Lakon Lama Tafsir Baru.

Natalia S.

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta