WAYANG GAUL KOBATE:
KREATIVITAS YANG MEKAR DARI SUDUT DESA
Kobate yang merupakan kependekan dari nama Komunitas Belajar dan Bermain Anak-anak Tembi yang berdiri sekitar tahun 1998 kembali mempertunjukan kreasinya di Pendapa Yudanegaran, Tembi Rumah Budaya pada Senin, 2 Juli 2012. Mereka mempertunjukan kebolehannya dalam bermain musik dengan menggunakan barang-barang bekas. Alat musik yang bukan merupakan barang bekas bisa dikatakan hanya berupa saron. Kecuali berunjuk gigi dalam soal musik, mereka juga berunjuk gigi untuk mementaskan wayang dengan lakon ”Hilangnya Jamus Kalimasada” (Kalimasada Murca).
Pementasan wayang itu bukanlah pentas wayang seperti pada umumnya. Mereka mementaskan wayang hasil kreasi mereka sendiri. Semua wayang dibuat dari bahan mika. Profil tokoh wayang yang ditampilkan pun sekalipun ia bernama Raden Gatotkaca, Puntadewa, Kresna, Srikandi, dan lain-lain dibuat menurut kreasi dan selera mereka sendiri. Tidak mengherankan jika tokoh Gatotkaca dibuat dengan memiliki sepasang sayap seperti kupu-kupu atau kumbang.
Pola-pola hias yang diterapkan dalam wayang buatan mereka pun dibuat menurut imajinasi dan gagasan mereka masing-masing. Hasilnya, wayang mika tersebut jauh berbeda dengan tampilan wayang kulit pada umumnya. Perwajahan wayang dibuat seperti wajah orang biasa. Sedangkan arah wajah menatap frontal dengan wajah penonton. Dengan demikian fisik wayang yang mereka mainkan terkesan datar (flat). Akan tetapi memang begitulah pilihan mereka untuk tampilan sosok wayang yang mereka sebut sebagai Wayang Gaul ini.
Dialog wayang dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bahkan diselipi istilah-istilah bahasa Inggris maupun bahasa Jawa. Pertunjukan itu sendiri hanya bisa dinikmati dari satu sisi, yakni belakang kelir (layar). Sementara praa dalang atau anak-anak yang memainkan wayang berada di sisi kelir yang lain. Ruang tempat bermain para dalang ini ditutup dengan kain hitam. Jadi, penonton memang diarahkan untuk menonton dari satu sisi kelir saja. Pada sisi ini penonton memang hanya melihat atau menyaksikan bayang dari wayang yang dimainkan. Bayangan wayang itu sendiri muncul di kelir cukup kuat karena lampu sorot diarahkan dari sisi belakang para dalang.
Iringan musik Wayang Gaul memang bukan gamelan (sekalipun ada unsur saron) sebagai melodinya. Perangkat musik yang digunakan untuk mengiri pertunjukan wayang ini merupakan perangkat musik yang dibuat dari barang-barang bekas. Alat-alat musik tersebut ada yang berupa drum dan cymbal, alat musik dari bambu yang disebut sebagai thek-thek. Ada oula pek bung yang terbuat dari gentong, pralon, dan klenting (jun) yang pada bagian bibir bejananya ditutup lapisan karet bekas ban dalam dari roda truk.
Oleh karena Wayang Gaul ini memang dimainkan oleh anak-anak, maka pilihan lagu yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan itu pun merupakan lagu-lagu dolanan anak-anak. Ada lagu Prau Layar, Gundhul Pacul, Menthok-menthok, Jaranan, Padhang Mbulan, Cublak-cublak Suweng, dan lain-lain.
Permainan ini setidaknya melibatkan 9-12 orang pemain. Untuk kali ini permainan atau pementasan Wayang Gaul juga melibatkan 2 orang mahasiswa dari Amerika, yakni Nicole dan Greace. Kedatangan mereka ke Tembi memang dalam rangka untuk belajar lebih banyak tentang dunia anak-anak Jawa. Belajar lebih banyak soal wayang dan kebudayaan Jawa pada umumnya. Alhasil keterlibatan mereka menghasilkan pembacaan dialog yang relatif cepat seperti kecepatan mereka dalam melafalkan bahasa mereka sendiri. Pada sisi inilah muncul kelucuan-kelucuan yang begitu saja terjadi karena mereka masih kurang menjiwai atau memahami lebih dalam dunia pewayangan.
Lakon yang dibawakan dalam pagelaran ini adalah Hilangnya Jamus Kalimasada. Pada intinya lakon ini mengisahkan tentang petualangan Dewi Mustakawaeni dari Kerajaan Bumiloka yang mencoba mengambil Jamus Kalimasada dengan berbagai cara (mencuri-menipu-dan beralih rupa). Apa yang dilakukan Mustakaweni ini akhirnya gagal setelah ia dapat ditaklukkan oleh Bambang Priambodo (anak Arjuna). Bahkan Akhirnya Mustakaweni justru dipersunting oleh Bambang Priambodo.
Kobate sebagai wadah kreativitas, belajar, dan bermain anak-anak Tembi sebenarnya masih bisa terus dikembangkan dengan kreativitas-kreativitas yang lain. Musik dan wayang mungkin salah satunya. Barangkali juga mereka akan merambah pada kreativitas yang lain. Perkembangan talenta mereka perlu terus diasah. Kita tunggu hasil berikutnya.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- MUSEUM SANDI MENJUNGKALKAN MUSEUM WAYANG(16/07)
- Dolanan Layangan-5 (Permainan Anak Tradisional-78)(03/04)
- 18 Februari 2011, Kabar Anyar - PENCITRAAN DAN KEBOHONGAN DALAM JAGAT PEWAYANGAN DAN PANGGUNG POLITIK(18/02)
- 16 Juli 2010, Figur Wayang - Pandhawa Sungging(16/07)
- MARTABAK MINI 65 MONJALI, CUMA SATU-SATUNYA DI YOGYAKARTA(12/05)
- 22 Februari 2011, Bothekan - UNDAKING PAWARTA SUDANING KIRIMAN (22/02)
- Keren(20/11)
- Guntur Nur Puspito Tak Ambisi Jadi Pemain Musik Handal(26/03)
- Angkringan Tembi Jakarta Enaknya Plus-plus(02/04)
- 30 Desember 2010, Primbon - Watak Dasar Bayi(30/12)