Keren (2)
(Alat Dapur-4)

Tentunya alat ini lama-kelamaan akan ditinggalkan dan hanya akan menambah koleksi museum, karena sudah tidak dianggap praktis lagi. Apalagi pendukung pemakainya yaitu si pembuat keren sudah tidak ada, entah mungkin tinggal satu dekade atau satu abad mendatang.

memasak dengan keren. Sumber foto: Tembi
Seorang ibu di sebuah desa di Bantul memasak dengan keren.
Bahan bakar yang digunakan adalah bilah bambu kering dan batok kelapa

Memasak dengan peralatan keren merupakan pilihan sederhana dari masyarakat Jawa, baik yang tinggal di pegunungan maupun dataran rendah, seperti pantai dan lembah. Bagi masyarakat kelas bawah, peralatan memasak seperti ini mudah diperoleh karena banyak dijumpai di pasar tradisional dan warung-warung dekat rumah. Harganya pun murah, hanya Rp 5.000 (untuk ukuran kecil) hingga Rp 10.000 (untuk ukuran besar).

Untuk kebutuhan bahan bakarnya, tidak perlu repot memikirkannya, karena banyak dijumpai di sekitar rumah tanpa harus membeli. Banyak bahan bakar yang bisa digunakan mulai dari “blarak” (daun kelapa kering), sabut kelapa, ranting-ranting bambu, belahan bambu, ranting-ranting pohon, dedaunan kering, serbuk gergajian, “kawul” (kayu bekas pasahan), tempurung kelapa, bonggol bambu, dan lain sebagainya.

Ciri utama bentuk keren adalah seperti anglo tanpa sarangan. Bagian atas berlubang besar untuk tempat api keluar, mulut samping juga besar tempat memasukkan bahan bakar. Di samping kanan kiri mulut keren ada lubang-lubang kecil, masing-masing berjumlah tiga berfungsi untuk sirkulasi udara. Di bibir atas keren ada tiga benjolan kecil berfungsi untuk meletakkan alat memasak yang ditaruh di keren, seperti panci, wajan, kwali, dan lainnya. Dengan demikian, udara selain lewat lubang-lubang kecil, juga bisa lewat sela-sela benjolan tadi.

Cara menyalakan api juga cukup sederhana. Beberapa bahan bakar kering dimasukkan ke keren lewat mulut keren yang ada di samping. Lalu api disulutkan pada sepucuk kertas atau daun kering, kemudian dimasukkan di sela-sela bahan bakar yang sudah ada di dalam keren. Sebentar kemudian api akan menyala dan membakar bahan bakar lain yang ada di keren.

Sebaiknya bahan bakar diselingi dengan bahan bakar yang tidak cepat habis terbakar, contohnya bonggol, “dhongklak” bambu atau bilahan kayu/bambu. Fungsinya agar tidak berulangkali memasukkan bahan bakar ke keren. Jika api sudah stabil, maka alat memasak bisa diletakkan di atas keren, misalkan hendak menanak nasi, maka kwali segera diletakkan di atas keren. Bisa juga untuk memancing nyala api menggunakan sedikit minyak tanah.

Apabila nyala api terlalu besar, maka bahan bakar di dalam keren bisa dikurangi, demikian sebaliknya jika kurang, bahan bakar bisa ditambah. Pengaturan api keren berfungsi untuk menjaga kestabilan api seperti yang diinginkan. Sebab jika tidak stabil, artinya terlalu besar atau kecil, masakan bisa “gosong” atau tidak segera masak.

Apabila api mati, bisa ditiup dengan mulut atau dengan bantuan kipas maupun “semprongan” (bambu berlubang). Itu bisa dilakukan apabila di dalam keren sudah ada “mawa” atau bara api. Jika belum ada, maka penyalaan api atau “cethik geni” bisa dilakukan ulang. Apabila di dalam keren sudah banyak abunya, maka sebaiknya abu dikeluarkan dulu. Abu ini bisa dipakai untuk pupuk tanaman atau digunakan untuk “asah-asah” (mencuci) perabotan memasak yang kotor. Biasanya sekarang sudah diganti dengan deterjen pencuci piring lainnya.

Itulah sekelumit pengertian tentang alat memasak tradisional yang disebut keren. Tentunya alat ini lama-kelamaan akan ditinggalkan dan hanya akan menambah koleksi museum, karena sudah tidak dianggap praktis lagi. Apalagi pendukung pemakainya yaitu si pembuat keren sudah tidak ada, entah mungkin tinggal satu dekade atau satu abad mendatang.

Suwandi

Sumber: Buku “Dapur dan Alat-Alat Memasak Tradisional DIY”, Sumintarsih, dkk, Departemen P&K, 1990/1991




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta