Globalisasi Jawawood Versi Boeyan

Figur gemuk yang dipilih Boeyan merupakan standar atau stereotip khas Yogya atau Jawa tentang hidup makmur, tenteram, berkecukupan, mapan, dan sebagainya yang hampir selalu ditunjukkan dengan perubahan fisik atau tubuh dari kurus menjadi gemuk.

“Mengusir Angin”, Oil on Canvas, 100 x 120, Tahun 2010, karya Budiyana Aka Boeyan
Kerokan, bagian tradisi Jawa yang mulai jarang dilakukan

Sebuah karya, umumnya berangkat dari timbunan memori masa lalu (pengalaman dan pengetahuan) serta serapan akan lingkungan sosial dan alam yang diolah dalam proses kreatif dan kemudian dimanifestasikan dalam sebentuk karya. Demikian kiranya yang dilakukan Boeyan alias Budiyana Aka Boeyan yang menggelar pameran tunggal tanggal 2-10 November 2012 di Bentara Budaya Yogyakarta. Tema yang diangkat Boeyan adalah Jawawood yang dalam kacamata kurator Agus Yaksa dipersepsikan atau dibaca sebagai jawawut (jewawut), yakni sejenis tanaman padi-padian yang menghasilkan biji-bijian (otek/canthel).

Nama Pulau Jawa sendiri konon berasal dari istilah jawawut ini. Jawa diidentikkan sebagai pulau jelai-jelai atau pulau penghasil biji-bijian. Jawawood juga terdengar mirip dengan Hollywood atau Bollywood dimana dua yang terakhir mengacu pada pengertian kebudayaan sebagai alat propaganda.

Barangkali Jawawood dapat dipilah menjadi dua kata atau istilah, yakni Jawa dan wood. Wood berarti kayu. Sementara di Jawa kayu yang dianggap bernilai paling tinggi adalah kayu jati. Berkait dengan itu Jawawood dianggap merupakan penggambaran pola kehidupan sejatining Jawa atau Jawa yang sejati.

“Nyonya Lisa”, Oil on Canvas, 90 x 70, Tahun 2012, karya Budiyana Aka Boeyan
Guyon maton khas Jawa, Nyonya Lisa
dengan tampilan seperti lukisan terkenal, Monalisa

Pada sisi ini Boeyan tampaknya ingin menyuguhkan sejatining Jawa yang spiritualitasnya dipercaya sebagai ungkapan rasa syukur atas segala anugerah Sang Khalik yang diterima orang Jawa dan mewujud dalam segala aktivitas atau pekerjaan mereka. Boeyan ingin pula menunjukkan rasa syukurnya itu dalam karya dengan materi obyek berupa figur-figur gemuk.

Kuss Indarto yang juga menjadi kurator dalam pameran Boeyan ini menuliskan bahwa figur gemuk yang dipilih Boeyan merupakan standar atau stereotip khas Yogya atau Jawa tentang hidup makmur, tenteram, berkecukupan, mapan, dan sebagainya yang hampir selalu ditunjukkan dengan perubahan fisik atau tubuh dari kurus menjadi gemuk. Pendeknya, gemuk dianggap sebagai simbol kemakmuran (sekalipun dalam kacamata modern bersimpangan dengan konsep kesehatan).

Lebih lanjut Kuss Indarto menilai bahwa prinsip rukun dan hormat menjadi bagian yang dominan dalam proses kreatif Boeyan. Hal ini nyambung dengan hasrat untuk menampilkan aspek kemanusiaan khas Jawa yang mendambakan hidup yang makmur dan tenteram. Prinsip pertama, seperti yang pernah dikatakan Romo Magnis Suseno dalam bukunya Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijakan Hidup Orang Jawa, menentukan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa agar terhindar dari konflik. Sementara prinsip kedua menuntut agar cara berkomunikasi dan membawa diri selalu disertai sikap hormat yang ditunjukkan kepada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Tujuan dari keduanya cukup jelas, memelihara harmoni atau keselarasan.

“Jamu Kuat”, Oil on Canvas, 100 x 120, Tahun 2012, karya Budiyana Aka Boeyan
Sisi lain dari tradisi Jawa: Jamu

Dari 19 karya yang dipamerkan ini terkesan ketenangan dalam kehidupan yang harmonis. Ketenangan, keharmonisan dalam menikmati hidup dengan segala profesi, aktivitas, dan suasana mampu menaikkan derajat kemanusiaan seseorang.

Ouda teda Ena dalam halaman yang lain menyatakan bahwa apa yang disajikan Boeyan dalam karyanya merupakan sajian guyon maton. Dengan guyon maton kritik dan saran yang disampaikan bisa dikemas segar dan halus. Dengan kesegaran dan kehalusan yang tidak menyakitkan justru isi pesannya akan mudah diterima. Guyon maton yang ditampilan Boeyan ini sarat simbol. Kelucuan yang tampil di permukaan harus diselami ke dasarnya untuk dapat menggapai pesan terdalamnya. Untuk menemukan maknanya.

Karya Boeyan juga bisa dipandang sebagai catatan sejarah akan masa atau tradisi masyarakat Jawa yang mulai hilang atau tidak ditemukan lagi. Hal yang sama tentu saja juga terjadi pada tradisi masyarakat etnis lain. Apa yang disajikan oleh Boeyan ini barangkali bisa menjadi sepercik api bagi globalisasi kebudyaan Jawa. Sama seperti apa yang disebut sebagai Hollywood atau Bollywood. Ke depan barangkali akan menggema apa yang disebut sebagai Jawawood !

”Mengusir Angin”, Fiber Glass, 90 x 129 x 75, karya Budiyana Aka Boeyan
Kerokan, seri lain selain lukisan dari Budiyana Aka Boeyan

a.sartono

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta