Priadi, Kembali Ke Jalan Hidup

Priadi, Kembali Ke Jalan Hidup

Meski lama tidak kelihatan bukan berarti Priadi meninggalkan dunia seni rupa. Ia hanya jarang menjenguk public seni rupa, tetapi tidak henti-hentinya dia berkarya di studio lukisnya di Surabaya. Maka, Sabtu (13/10) lalu, untuk kembali bertemu dengan publik seni rupa, setidaknya teman-teman lamanya di SSRI Yogya, Priadi menggelar pameran tunggal di Tembi Rumah Budaya.

Priadi, nama panggilannya. Lengkapnya, FX. Supriadi. Agaknya, nama yang sudah dilupakan, atau hampir-hampir tidak pernah disebut-sebut di dunia seni rupa. Dia masuk di SSRI tahun 1974 dan selesai tahun 1979/1980. Di SSRI dia seangkatan dengan Ivan Sagita, Bimo Wiwohatmo, Helga Korda, Dadang Christanto dan beberapa perupa yang sampai sekarang masih berkarya. Minat awalnya, sebagaimana umumnya alumni SSRI ketika itu, ingin menjadi seorang pelukis. Pendeknya, jalan hidup yang ditempuh adalah menjadi pelukis. Rupanya, jalan hidup yang akan ditempuhnya, selepas dari SSRI, melaju kearah lain, meski tidak jauh dari seni rupa. Priadi bukannya menjadi seorang pelukis, melainkan berkreasi di wilayah seni sablon dan sekaligus bekerja di pabrik plastik.

Alasannya klise, kenapa ‘melupakan’ jalan seni lukis? Karena sudah berkeluarga dan tuntutan hidup ‘memaksanya’ untuk menghidupi keluarga. Jalan inilah yang kemudian dilalui. Ia berkreasi, yang diawali dengan bekerja di pabrik plastik, dan seni sablon yang dia pilih, karena sablon tidak jauh dari seni rupa, sehingga ‘jiwa seni’-nya sama sekali tidak lenyap. Priadi menempuh jalan ini cukup lama, selepas dari SSRI, bahkan sampai sekarang, pilihan yang telah menghidupi keluarganya dan membuatnya mapan tidak ditinggalkannya. Walau bukan lagi Priadi yang menjalankannya, melainkan istrinya. Karena Priadi telah ‘kembali ke jalan hidup’-nya, yakni melukis.

Sebenarnya, kalau mau dilacak, ada banyak alumni SSRI, yang akhirnya tidak menjadi pelukis dan bekerja diwilayah lain. Priadi masih mending, tak jauh dari seni rupa dan tak terlalu lama kembali (lagi) melukis.

Priadi, Kembali Ke Jalan Hidup

Sablon termos plastik

Tentulah kita mengenal termos plastik, yang pada tubuhnya ada gambar kembang misalnya. Tubuh termos, misalnya berwarna hijau, biru atau merah, apabila dibiarkan polos tanpa ada hiasan, kelihatan tidak menarik. Maka, untuk memberi ‘hidup’ pada warna termos perlu diberi gambar.

Bagaimana cara menggambari termos itu?

Disinilah Priadi, yang sebenarnya menempuh jalan melukis, mengambil peran. Ia membuat sablon dan tidak mengambil media kain, atau seperti banyak dilakuan oleh orang pada waktu itu,ialah: kaos atau tshirt. Priadi mengambil media produk plastik untuk disablon. Rupa-rupa produk plastik seperti gelas plastik, piring plastik, rantang plastik, termos plastik sebagai media untuk sablon. Tentu saja, sebut saja, ‘terobosan’ yang dilakukan oleh Priadi memberi warna pada produk plastik, karena hasil produknya tidak hanya polos belaka, melainkan ada bermacam gambar yang menempel pada tubuh produk plastik.

Tentu saja, terobosan Priadi memberi keuntungan berlebih dan order tidak berhenti mengalir. Jalan hidup yang ditempuh untuk menghidupi keluarga berhasil, dan sebagai suami, Priadi mampu menunjukkan tanggung jawab pada keluarganya.

Sampai hari ini seni sablon tak ditinggalkan oleh Priadi dan keluarga. Ia tetap setia dengan seni sablonnya, dan tidak lagi menerima order di rumahnya, melainkan telah membangun mitra kerja dengan pabrik termos plastik di Surabaya dan Priadi yang memberi ‘jiwa’ pada termos yang polos menjadi hidup, lantaran sablon yang menempel di tubuh termos. Memang bukan lagi Priadi yang menunggui proses sablon, melainkan istrinya. Setiap hari, tak kurang 4000 termos plastik di sablon. Gambar sablonnya selalu berganti-ganti, setidaknya ada 6 model gambar sablon yang sudah disiapkan. Dengan beberapa pekerja yang sudah diajari nyablon, istrinya tinggal menunggui dan mengkontrol tingkat kehalusan hasilnya.

Dan Priadi, kembali melukis: Menempuh jalan hidupnya, yang lama tak dihampiri.

Di Studionya, Priadi Kembali Melukis

Di ruang studio lukisnya, saya melihat karya-karya Priadi. Ada yang sudah dibungkus dengan kertas koran. Ada yang dipajang di dinding. Selain itu, karya sketsnya sejak selepas dari SSRI masih tersimpan dan dipajang di dinding studionya. Rupanya, sejak masih di SSRI, karya Priadi sudah menunjukkan nuansa abstrak. Karya-karya sketsanya menunjukkan suasana itu. Saya kira, dengan merawat karya sketsnya yang dibuat pertengahan tahun 1980, menunjukkan Priadi masih menjaga semangat melukisnya. Setidaknya, Priadi tidak melupakan ‘jalan hidupnya’, yang lama tidak dilalui..

Priadi, Kembali Ke Jalan Hidup

Priadi kembali melukis tahun 2007, setidaknya melukis di atas kanvas. Ada sekitar 20-an karya lukis yang sudah dihasilkan kebanyakan ukuran 80 x 80 dan ada yang lebih besar dari itu. Memang tidak setiap hari dia menghasilkan karya seni lukis, sebab seperti terlihat dari karya-karyanya Priadi seperti sangat hati-hati dalam melukis, dia memperhitungkan setiap garis yang digoreskan dan memiliki detil yang kelihatan rumit, tetapi menarik. Kekuatan pada garis-garis patah dari karyanya, agaknya yang hendak ‘dihadirkan’ oleh Priadi. Garis-garis patah yang rumit dan detil, tetapi rapi.

“Saat saya melukis tidak memikirkan akan menggambar apa. Saya melukis dengan pikiran kosong dan pada satu momentum, saya merasa lukisan saya sudah selesai” kata Priadi rendah hati.

Dalam nuanasa abstrak, lukisan Priadi memperlihatkan sesuatu yang bisa dilihat. Misalnya, pada judul ‘Imajinasi Karang”, Priadi teringat ketika di pantai, tetapi tidak mengenali dimana lokasinya dan di pantai itu ada karang bolong (karang yang berlobang) dan air laut menerbos dari lobang sehingga memberikan keindahan. Pada saat ia melukis, ingatannya membawa ke ‘karang bolong’ itu dan terlihat dalam bentuk samar-samar.

“Padahal, ketika saya melukis tidak bermaksud menggambar karang bolong itu’ lagi-lagi Priadi menyampaikannya dengan kalimat yang tidak dibuat-buat.

Hal yang sama juga bisa dilihat dari karya lukisnya yang berjudul ‘Imajinasi Perbukitan’. Priadi, saat melukis seperti digerakan oleh ingatannya akan keindahan bukit yang pernah dikunjunginya. Tapi, lagi-lagi, ia tidak tahu dimana lokasinya. Yang tampak pada gambar yang samar-samar menunjuk pada perbukitan dengan warna hijau kelam.

Hal-hal seperti di atas adalah proses kreatif Priadi, yang nama lengkaknya FX. Supriadi. Ia memulai dari ruang kosong, dan tidak berawal dari ‘keinginan’ untuk kemudian sampai ke suatu bentuk yang samar-samar, sehingga nuansa abstrak tampak kuat, dan bentuk yang samar-samar itu membuka ingatan Supriadi terhadap suatu tempat yang pernah dikunjungi.

Jadi, semua karya lukis Priadi merupakan satu ‘catatan ingatan’ yang mengendap di bantinnya dan muncul kembali melalui media, dalam konteks ini seni lukis.

Dalam kata lain, sesungguhnya, pada saat melukis, disadari atau tidak, Priadi merujuk pada ‘catatan ingatan’ yang dia miliki. Dengan demikian, karya lukis Priadi bukan sekedar angan-angan yang tidak memiliki ‘awal’, tetapi ‘bergerak’ dari realitas yang ada di dalam ingatannya. Kalaupun ada judul lukisannya yang mengambil kata ‘Imajinasi’ tak lain untuk menunjuk pada ‘catatan ingatan’ itu.

Usia Priadi sudah 55 tahun. Pada usia yang sudah melewati setengah abad ini, Priadi tidak berhenti berkarya. Ruang studio lukisnya di lantai dua, tempat dia membuka ‘catatan ingatan’ untuk dituang kedalam kanvas. Dan di ruang studio lukis ini, karya Priadi, meski tidak mengalir deras, tetapi selalu ada karya yang dihasilkan.

Priadi, Kembali Ke Jalan Hidup

Catatan Penutup: Kembali Ke Jalan Hidup

Pada awalnya, langkah yang hendak diambil ialah ingin menjadi pelukis. Langkah ini mantap ditempuh setidaknya sebelum Priadi selesai dari SSRI. Gairah berkarya anak muda pada waktu itu masih menyala. Tetapi ketika langkah belum diayunkan, kehidupan menuntunnya kea rah yang lain. Bukan arah yang buruk, tetapi malah sebaliknya memberi kehidupan yang mapan. Namun karena langkah awalnya akan menempuh jalan lukis, untuk menjadi pelukis, Priadi kembali melihat peta perjalahan hidupnya, yang ‘terhenti’ pada satu fase. Untuk itulah, Priadi kembali meneruskan langkah untuk menuju fase berikutnya.

Priadi kembali melukis untuk meneruskan langkah seperti ‘ tertulis pada peta perjalanan hidupnya’. Namun Priadi tidak lagi memiliki keinginan seperti ketika masih muda, yakni menjadi pelukis.

“Saya melukis karena merasa senang, dan kesenangan itu tidak bisa dihalang-halangi. Hanya saja selama ini kesenangan itu saya simpan, sebab ada tanggung jawab lain yang harus saya kerjakan” kata Supriadi memberi penegasan.

Dengan kembali melukis hidup Priadi menjadi senang, setidaknya tidak ‘terbuang’ dari habitatnya.

Maka, pameran tunggal yang dia lakukan ini, agaknya merupakan ‘upacara’ untuk menandai Priadi kembali ke dunia seni lukis, meski tidak (lagi) memiliki ambisi untuk menjadi seorang pelukis. Setidaknya bisa memberi tahu, bahwa hidupnya tidak bisa jauh dari seni lukis.

Ons Untoro
Foto Sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta