Tradisi Suran bagi Masyarakat Jawa

”Jamasan pusaka” adalah tradisi di bulan Suro yang masih terus dilakukan oleh masyarakat Jawa, termasuk di Yogyakarta. Bukan hanya dilakukan oleh pihak Kraton Yogyakarta, tetapi juga oleh masyarakat luar kraton, termasuk paguyuban pecinta keris.

Sarasehan Tradisi Suran, Hotel Brongto, Kamis 22 Nov 2012, sumber foto: Suwandi
Keris sedang dibersihkan

Bulan Suro, yang bertepatan dengan bulan Muharram menurut penanggalan Islam, bagi sebagian masyarakat Jawa dianggapnya sebagai bulan keramat. Tanggal 1 Suro sebagai tahun baru Jawa, banyak diperingati oleh masyarakatnya dengan harapan agar kehidupan mendatang lebih baik daripada sebelumnya.

Pada 1 Suro dan sepanjang bulan Suro, masih banyak anggota masyarakat yang melakukan kegiatan tradisi budaya dan masih berlangsung hingga saat ini, seperti ”tapa mbisu mubeng beteng”, ”nguras enceh” di makam Imogiri, ”jamasan kereta pusaka”, jamasan pusaka, mengunjungi tempat keramat, dan lain sebagainya. Pada bulan Suro ini masih diyakini sebagai bulan pantangan untuk menikahkan anak.

”Jamasan pusaka” adalah tradisi di bulan Suro yang masih terus dilakukan oleh masyarakat Jawa, termasuk di Yogyakarta. Bukan hanya dilakukan oleh pihak Kraton Yogyakarta, tetapi juga oleh masyarakat luar kraton, termasuk paguyuban pecinta keris, seperti Paguyuban Pametri Wiji dan Pemerhati Tosan Aji Yogyakarta. Setiap tahun paguyuban-paguyuban ini selalu melakukan ”jamasan pusaka” terutama di bulan Suro.

Paguyuban Pametri Wiji pada Kamis, 22 November 2012, di bulan Suro 1946 tahun Jawa, menggelar ”jamasan pusaka” di Hotel Brongto. Kegiatan ini digelar oleh Dinas Kebudayaan DIY berkaitan dengan bulan Suro dengan nama kegiatan ”Sarasehan Adat Suran dan Jamasan Pusaka Tahun 2012”.

Pembicara atau narasumber dalam sarasehan itu adalah Bapak Eko Supriyono (Pemerhati Tosan Aji Yogyakarta) dan Bapak Suma Wijaya (Paguyuban Pametri Wiji Yogyakarta). Sarasehan itu dihadiri sekitar 60 peserta, sebagian besar pemerhati budaya Jawa yang berdomisili di Sleman, Bantul, Yogyakarta, Gunung Kidul, dan Kulon Progo.

Sarasehan Tradisi Suran, Hotel Brongto, Kamis 22 Nov 2012, sumber foto: Suwandi
Nala Prasetya dari Paguyuban Pametri Wiji Yogyakarta menjelaskan
langkah-langkah membersihkan pusaka keris

Kedua pembicara menyampaikan bahwa ”jamasan pusaka” di bulan Suro adalah tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Jawa sejak dulu. Dalam sesi tanya jawab, banyak peserta yang bertanya, mulai soal pedoman penilaian keris yang baik, tempat ”njamasi pusaka”, keris maladi, dan sebagainya.

Pada sesi praktik jamasan pusaka, Nala Prasetya, narasumber dari Paguyuban Pametri Wiji Yogyakarta, menjelaskan bahwa dalam ”njamasi pusaka” tahap yang paling penting adalah proses ”methak”, proses ”ndhawahi” dan ”proses meminyaki”. Menurut Nala, njamasi berarti membersihkan pusaka (termasuk keris) dari kotoran. Pada proses ”methak”, berarti menghilangkan kotoran yang melekat pada keris seperti minyak, karat, atau lainnya sehingga pusaka (keris) menjadi putih. Caranya dengan merendam pusaka (keris) itu ke dalam air kelapa, kemudian disikat, direndam lagi hingga berulang-ulang. Setelah putih, dibersihkan dengan air jeruk nipis dengan cara yang sama, disikat berulangkali.

Para peserta sarasehan pada acara ini bisa memperhatikan secara detail tahap demi tahap, mulai dari proses ”mutih”, ”marangi”, hingga ”minyaki”. Semua dipraktikkan langsung oleh orang-orang yang menguasai ””ilmu” jamasan pusaka. Bahan-bahan untuk ”njamasi pusaka” lengkap seperti ”kawul”, jeruk nipis, sikat, lap, sabun colek, hingga racun arsenik ditampilkan. Sajen untuk ”jamasan pusaka” juga ditampilkan lengkap, ada 13 macam, antara lain, tumpeng robyong, tumpeng gundul, ingkung, kembang telon, jajan pasar, degan klapa, buah-buahan, jenang-jenangan, dan sambel goreng.

Sarasehan Tradisi Suran, Hotel Brongto, Kamis 22 Nov 2012, sumber foto: Suwandi
Salah satu sajen Tumpeng untuk jamasan pusaka di bulan Suro

Suwandi

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta