Tembi

Berita-budaya»SYUKUR TIADA AKHIR

17 Dec 2011 07:15:00

SYUKUR TIADA AKHIRSyukur tiada akhir, yang dipakai judul tulisan ini sebenarnya adalah judul buku yang ditulis oleh St. Sularto, untuk Jakob Oetomo, salah satu pendiri dan pemimpin umum Kompas, atau lengkapnya KKG (Kelompok Kompas Gramedia). Buku itu, Kamis (15/12) lalu, di diskusikan di Yogyakarta Room, hotel Santika, Yogyakarta, dengan menghadirkan narasumber, Prof. Dr. Ichlasul Amal, Prof. Dr. Musya Asy’arie, Dr. Sindhunata, dan St. Sularto sebagai penulis buku. Bertindak sebagai moderator Budi Wahyuni, aktivis perempuan.

Diskusi berlangsung sekitar dua jam dan dihadiri oleh bermacam kalangan masyarakat, dari kalangan akademisi, aktivis, penulis, tokoh agama dan lainnya

Bagi St. Sularto, buku jejak langkah mengenai Jakob Oetomo ini dilanjutkan dengan studi tentang genre atau sosok pemikiran Jakob yang senantiasa menerobos, inspiratif, visioner dan relevan untuk kebutuhan pemajuan negeri bangsa ini. Dintaranya, demikian St.Sularto mengatakan, tentang jurnalisme pembangunan, tentang seloroh jurnalisme kepiting, tentang masa depan Indonesia, tentang karakter kemajuan seperti bekerja tidak setengah-setengah, sinergi dan karena itu bekerja adalah doa (ora el labora), tentang tanah air, tentang merajut Indonesia.

Sebagai wartawan yang sukses sekaligus sebagai pengusaha, rupanya Jakob Oetomo lebih nyaman kalau disebut sebagai wartawan dan bukan pengusaha.

“Pak Jakob merasa nyaman disebut sebagai wartawan dan bukan pengusaha. Mengapa? Wartawan itu selalu resah, selalu melakukan refleksi, selalu menggoyang-goyangkan diri agar tidak mapan. Jati diri itu melekat pada dirinya yang memang terlatih sejak kecil sebagai manusia reflektifSYUKUR TIADA AKHIR, dan senyampang dengan itu dia adalah man of action, seorang guru untuk bangsanya, untuk pembacanya, yang kalau dibaca dari tajuk-tajuk yang ditulisnya selalu terendus ajakan menyampaikan saran, dan bukan menggurui atau memaksakan” kata St. Sularto.

Dari sisi yang lain, Prof, Musa Asy’arie, melihat Jakob Oetmo dalam dua perpaduan bisnis dan idealisme. Bagi Musa keduanya bisa dilakuan oleh Jakob Oetomo yang memiliki kultur jawa, dan kulturnya mengajarkan, bisnis adalah jenis pekerjaan yang tidak cocok untuk orang Jawa, karena bisnis cenderung serakah.

“Banyak orang yang berpendapat bahwa bisnis bisa mengkerdilkan kecendekiawanan seseorang, karena urusan keuangan dan pencarian keuntungan yang didirong oleh sifat keserakahan memang akan bertabrakan dengan urusan kemanusiaan. Karena itu, pekerjaan berdagang bagi orang Jawa dianggap sebagai pekerjaan yang rendah dibandingkan dengan priyayi dan pamong praja. Akan tetapi fenomena pak JO, dengan bisnisnya membuktikan bahwa bisnis bisa bersahabat dengan idealisme dan pengabdian kepada kemanusiaan. Tidak semua pelaku bisnis itu serakah dan menempatkan uang sebagai segala-galanya. Pak JO adalah salah satu contoh konkret, dan bisnis menjadi ujung yang dengan sendirinya terbangun dari proses jaringan yang semakin luas dari peranan Koran yang diterbitkannya yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat yang luas” ujar Musa Asy’arie.

Bagi Musa Asy’arie, bisnis sesungghnya seperti ‘agama’, dasarnya adalah kepercayaan dan kasalehan sosial. Dalam bahasa agama adalah iman dan amal salih. Tanpa kepercayaan, setidaknya seperti dikatakan Musa Asy’arie, maka bisnis akan ambruk.

“Pak JO mengatakan, bahwa semua terselenggara berkat penyelenggaraan Allah! Providantia dei! Dalam penyelenggaraan Allah! In provendentia dei! Sebuah ungkapan yang belakangan ini seriang dia sampaikan spontan. Meluncur begitu saja, menyatu dengan ungkapan, pesan dan kalimat-kalimat bijaknya seperti no angel in the world, critics with undestranding, keagungan dan kekerdilan manusia. Bisnis yang dihayatinya sebagai penyelenggaraan Allah menjadikan bisnis sebagai tempat mengabdikan diri kepadaNya’ kata Musa.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta