Seni Tradisi Kita
Tahun 1990-an, atau kira-kira 20 tahun yang lalu, di satu dusun terpencil di Kawasan Blitar, Jawa Timur, saya melihat pertunjukan seni tradisi, yang mereka namakan ‘Jaranan’. Kesenian ini memainkan Kuda Kepang, yang dalam bahasa Jawa kata kuda disebut sebagai Jaran. Jadi, penamaan kesenian ‘Jaranan’ menunjuk pada kuda (jaran) yang terbuat dari bambu, seperti halnya dinding bambu, yang dikenal dengan nama kepang. Kesenian Jaranan ini, sebenarnya nama lain, untuk di tempat lain, di Yogya misalnya, dikenal dengan nama ‘Kuda Kepang’ atau ditempat lain lagi disebut ‘Kuda Lumping’
Kesenian ‘Jaranan’ tersebut sekedar salah satu contoh, bahwa negeri kita, seluruh lapisan desa, bahkan sampai ke dusun memiliki kesenian yang ‘dihidupi’ oleh masyarakatnya dan ada kesenian yang dikenal secara luas sampai diluar batas geografi dimana kesenian itu hidup. Misalnya, di Ponorogo dikenal dengan kesenian Reog. Tentu ada banyak group reog disana. Dan kesenian reog hanya dikenal dari wilayah Ponorogo. Kalau ditempat lain ada reog, orang akan merujuk Ponorogo sebagai wilayah yang ‘memiliki’ reog.
Tentu saja, di daerah lain di Nusantara ini, dan tidak hanya di Jawa mempunyai kesenian tradisi yang, barangkali sudah tidak lagi ‘dihidupkan’, namun sesungguhnya masih ada. Atau juga seni traidisi yang sering dipentaskan, tetapi tidak mendapat sambutan ‘hangat’ oleh publik. Di Yogya, misalnya ada wayang kulit yang sering dipentaskan, tetapi sambutan masyarakat, apalagi anak-anak muda, tidak seperti ketika merespon pertunjukan musik. Di Surabaya, Jawa Timur dikenal dengan ludruk, sehingga ludruk identik dengan Surabaya (Jawa Timur). Di Papua, Bali, Kalimantan, NTT, Suamtara dan kota-kota lain memiliki seni tradisi yang berbeda-beda.
Kesenian tradisi tidak bisa dilepaskan oleh komunitas masyarakat. Misalnya, seni karawitan di Yogya tidak bisa dilepaskan dari komunitas masyarakat Yogya khususnya dan Jawa umumnya’ Meski kita tahu, ada orang non Jawa, termasuk dari bangsa asing yang mempelajari seni karawitan khususnya, atau seni tradisi lainnya. Artinya, ada ‘orang lain’ yang tertarik terhadap seni tradisi yang ada di negeri kita.
Kita tahu, perpindahan penduduk dari satu geografi ke goegrafi lain, termasuk melintasi negara lain juga terjadi di negeri kita. Ada banyak warga bangsa kita, dalam kurun waktu yang sudah lama, dan sudah melampaui generasi tinggal di negara-negara lain. Oleh pendahulunya, generasi sesudahnya dikenalkan dengan kesenian tradisi di daerahnya, sehingga meski sudah tidak tinggal di negerinya sendiri, tetapi mengenal tradisi di negeri ‘asal leluhurnya’.
Di Jawa kita mengenal etnis Tionghoa yang lahir di negeri kita, dan mungkin belum pernah datang ke negeri ‘leluhurnya’. Mereka juga menjalankan tradisi lelulurnya, yang mungkin sudah dimodivikasi sehingga tidak sama persis dengan tradisi di negeri asalnya. Kita juga mengenal menu makanan dari Tionghoa, yang dikenal dengan maskan Cina, dan digemari oleh orang yang bukan hanya dari etnis Cina. Semuanya terjadi alami dan kita telah mengenal sebagai ‘menu kita’, tetapi orang Tionghoa/Cina tidak merasa kehilangan. Menu makanan itu telah menjadi milik bersama.
Kita yang ‘tiba-tiba’ sering merasa kehilangan, ketika mendengar negara tetangga, dalam hal ini Malaysia, mengklaim seni tradisi kita menjadi miliknya, misalnya Reog Ponorogo, batik, gamelan dan yang baru saja menjadi ‘issue’ tarian Tor-tor dari Suamtara Utara yang diklaim sebagai seni tradisi warisan milik Malaysia.
Kita merasa kaget karena orang lain ‘mengakuinya’, padahal ketika tak ada yang mengakuinya, kita sendiri abai terhadap seni tradisi, bahkan, lebih parah lagi membiarkan seni tradisi mati dan dilupakan, setidaknya seperti wayang orang di Jawa, yang (di) hilang (kan), atau dianggap hilang, sehingga sampai sekarang anak-anak muda susah dimana bisa melihat pertunjukan wayang orang.
Seringkali, kita hanya merasa memiliki, tetapi tidak (mau) menjaga kelangsungan hidupnya. Warga masyarakat Indonesia, yang tidak lagi tinggal di Indonesia, karena sudah tinggal di negara lain, bahkan sudah menjadi warna negara lain, di satu negara itu, Malaysia misalnya, ingin menghidupkan seni tradisi yang dikenalnya dan di support oleh negara bersangkutan, tetapi kita sudah ‘terburu’ menyebutkan hendak diklaim sebagai seni tradisi miliknya.
Sebenarnya tidak menjadi masalah, jika hanya diakui sebagai kesenian tradisi yang ada di Malaysia, seperti halnya Barongsai yang ada di Indonesia, di Yogya misalnya, dan dimainkan bukan hanya oleh orang Tionghoa, dianggap sebagai kesenian Tionghoa yang ada di Indonesia. Tetapi orang tahu, Barongsai bukan kesenian dari Indonesia.
Persoalannya, untuk seni tradisi kita yang ada di Malaysia, dunia tahu tidak bahwa seni tradisi yang ada di Malaysia, seperti Reog dan tarian Tor-Tor adalah seni tradisi dari Indonesia? Jika tidak, artinya, pemerintah, saya kira perlu lebih ‘gencar’ lagi mendata dan memperkenalkan seni tradisi yang kita miliki kepada dunia luar, agar dunia tahu bahwa kita memiki kekayaan budaya yang mempesona bagi dunia luar.
Kalau diabaikan, orang lain yang akan peduli.
Ons Untoro
Foto browsing dari google
Artikel Lainnya :
- SATE SAPI PAK CIPTO KOTAGEDE(15/06)
- 14 Juni 2010, Suguhan - BAKSO KEPALA SAPI(14/06)
- 30 April 2010, Figur Wayang - Pandhawa Apus(30/04)
- REPOSISI TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA(14/04)
- 23 Januari 2010, Kabar Anyar - PAMERAN RETROSPEKSI EDHI SUNARSO(23/01)
- Harry Patra Bawa Angklung Keliling Dunia(28/07)
- 7 April 2011, Primbon - Wuku Dukut(07/04)
- Pesta Kuda Lumping, Semoga Penyelenggara Negara Tidak Njatil(21/01)
- 21 Februari 2011, Kuliner - GADO-GADO DI NDONGKELAN(21/02)
- COTO MAKASAR DAN SUP KACANG MERAH(12/04)