Judul : Salatiga. Sketsa Kota Lama
Penulis : Eddy Supangkat
Penerbit : Griya Medika, 2007, Salatiga
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xviii + 150
Ringkasan isi :
Salatiga adalah sebuah kota kecil tetapi mempunyai peran penting dalam bidang politik dan ekonomi sejak jaman dulu sampai sekarang. Konon cikal bakal kota Salatiga adalah desa Salatiga dan desa Kalicacing. Kedua desa tersebut hanya dipisahkan oleh sebuah danau kering yang di kemudian hari mengering. Ketika VOC (Vereenigde Oost- Indische Compagnie) berkuasa di Jawa, Salatiga berada di bawah kekuasan kongsi dagang tersebut. Oleh VOC, Salatiga dipandang strategis karena berada di jalur utama persimpangan Semarang, Surakarta dan Magelang. Selain itu juga strategis dalam kegiatan lalu lintas perdagangan dari pedalaman Jawa Tengah ke Pantai Utara Jawa sehingga dijadikan sebagai tempat persinggahan para pedagang. Keadaan ini tentu saja membutuhkan keamanan tersendiri. Oleh karena itu pemerintah Hindia Belanda memandang Salatiga sangat strategis untuk dijadikan kota militer. Dan pada tahun 1746 VOC mulai menempatkan pasukannya serta membangun sebuah benteng yang diberi nama benteng De Hersteller.
Selain dijadikan sebagai kota militer, ketika sistem Tanam Paksa diperkenalkan (taun 1830) Salatiga dijadikan salah satu pusat kegiatan penanaman kopi. Dalam perkembangannya kemudian terdapat perkebunan swasta untuk tanaman kopi, karet, kina, coklat, kapuk, rempah-rempah, tembakau dan sayuran. Kondisi alam Salatiga memang sangat mendukung untuk perkebunan. Untuk menangani dan mengawasi perkebunan-perkebunan swasta tersebut Asistent Resident dibantu seorang Afdeelingscontroleur yang berkebangsaan Belanda. Tidak mengherankan apabila Salatiga kemudian semakin banyak dihuni bangsa Belanda dan kulit putih lainnya.
Pada mulanya Salatiga diperintah oleh seorang bupati. Jabatan bupati berakhir tahun 1895, karena berdasarkan Surat Keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 13 Februari 1895 berdasarkan Staatsblad No. 35/1895 status Salatiga sebagai kabupaten dihapus. Sebagai gantinya adalah seorang Patih (pembantu bupati) karena Salatiga menjadi kepatihan. Namun jabatan inipun akhirnya dihapus, dan diganti seorang asistent resident berkebangsaan Belanda. Perkembangan sistem pemerintahan ini tidak lepas dari tuntutan orang-orang Eropa yang tinggal di Salatiga untuk dapat memperoleh fasilitas yang lebih baik dan mendapat kewenangan yang lebih luas dalam mengelola Salatiga. Selain itu yang jelas orang Eropa “tidak mau” diperintah oleh seorang pribumi.
Pada tanggal 25 Juni 1917 berdasarkan Staatsblad No. 266 tahun 1917 yang dikeluarkan Gubernur Hindia Belanda, Salatiga ditetapkan menjadi Gemeente (kotapraja), walaupun penduduknya masih sedikit dan wilayahnya kecil. Hal ini disebabkan Salatiga sudah dianggap memenuhi syarat (walaupun lebih berpihak pada kepentingan orang kulit putih) yaitu penduduk kulit putihnya sudah lebih dari 10%, keadaan setempat yang diharapkan bisa menunjang kelestarian Gemeente berupa perkebunan yang sangat banyak dan faktor keuangan yang utamanya berkaitan dengan masalah perpajakan (misal pajak tanah, pasar, reklame, listrik, perijinan).
Agar pemerintahan di Salatiga dapat berjalan lancar maka Burgemeester (Walikota) yang dibantu oleh Gemeenteraad (Dewan Kota), bekerja keras melakukan berbagai pembangunan sekaligus memperkenalkan berbagai fasilitas umum yang belum ada dan belum pernah dikenal penduduk pribumi. Berbagai sarana dan prasarana yang dibangun pihak pemerintah maupun swasta ikut meramaikan dinamika Salatiga. Misalnya pasar, kawasan pemukiman, gedung kesenian, sekolah, rumah sakit, kantor pos dan lain-lain. Walaupun pembangunan tersebut lebih diutamakan untuk orang kulit putih, namun orang-orang pribumi baik langsung maupun tidak langsung juga ikut menikmati. Misalnya jalan beraspal dan trotoar, penerangan jalan berupa listrik, air leideng yang diperoleh melalui kran-kran umum. Karena banyaknya orang Eropa yang tinggal di Salatiga, maka tidak mengherankan apabila Salatiga ditata mengikuti pola kota-kota di Eropa. Misalnya penataan jalan, polanya dibuat menyerupai pola radial kosentris di Eropa, dengan ciri empat ruas jalan lebar dan indah yang bertemu di satu titik berupa bundaran air mancur sebagai pusat kota.
Sarana transportasi adalah hal yang penting untuk memperlancar berbagai urusan. Di Salatiga sarana di masa dulu (Belanda) sarana transportasi yang ada adalah gerobak dan dokar sebagai sarana transportasi tradisional. Untuk sarana transportasi “modern” bisa dikatakan Kwa Tjwan Ing adalah perintisnya. Sekitar tahun 1920 ia membeli mobil-mobil kecil di Semarang untuk dioperasikan di Salatiga dan pada tahun 1923 meluaskan usahanya dengan mendirikan perusahaan bus bernama ESTO (Eerste Salatigasche Transport Onderneeming).
Melihat dinamika Salatiga yang seperti itu tidak mengherankan apabila di sana terdapat berbagai bangunan bersejarah baik yang masih berdiri, tinggal bekas-bekasnya maupun sudah musna. Misalnya Gedung Pakuwon yang berlokasi di sebelah selatan alun-alun Salatiga, Gedung Papak (sekarang menjadi gedung Kotamadya), terminal bus Salatiga (sekarang menjadi Tamansari Shopping Center), lapangan terbang yang sekarang sudah tidak ada.
Teks : Kusalamani
Artikel Lainnya :
- LONG(17/01)
- 8 Juli 2010, Primbon - Nyapih(08/07)
- Dolanan Dhempo-2 (Permainan Anak Tradisional-81)(01/01)
- 26 Januari 2011, Yogya-mu - ABON IKAN TUNA, SATU MAKANAN KHAS LAIN DARI JOGJA (26/01)
- LANGEN CARITA DAN KETOPRAK LESUNG, SENI TRADISI YANG HAMPIR TERLUPAKAN(21/09)
- BERJUAL BELI ALA PINGGIR JALAN DI JOGJA MASA LALU(21/10)
- Teko Dalam Perspektif Seni Keramik(18/03)
- Keruntuhan Hukum Akibat Tidak Adaptif(07/01)
- Memilih Hari Untuk Minggu Depan(09/08)
- SLONDHOK RENTENG PAK MUL, CAMILAN KHAS LAIN DARI SLEMAN(28/09)