Judul : Peribahasa dan Saloka Bahasa Jawa
Penulis : L. Mardiwarsito
Penerbit : Depdikbud, 1980, Jakarta
Bahasa : Indonesia dan Jawa
Jumlah halaman : 240
Ringkasan isi :
Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat pada berbagai daerah di Indonesia masih banyak yang mempergunakan bahasa ibu sebagai sarana komunikasi termasuk masyarakat Jawa. Dalam berkomunikasi selain memakai bahasa yang sudah umum/biasa, salah satunya juga memakai peribahasa (paribasan) dan saloka sesuai dengan maksud dan tujuannya. Istilah ini akan lebih banyak ditemui dalam karya satra lama. Tentu saja si pemakai harus tahu apa artinya agar tidak menimbulkan salah persepsi.
Saloka adalah kalimat tetap yang menyatakan maksudnya dengan samaran (perumpamaan, sindiran, perbandingan, atau tamsil). Misalnya ancik-ancik pucuking ri (bertumpu pada ujung duri). Dalam kenyataan tidak ada orang yang memakai duri untuk tumpuan. Ini hanyalah perumpamaan bagi orang yang hidupnya selalu dalam bahaya. Duri adalah benda kecil yang ujungnya tajam dan tidak mungkin dapat digunakan untuk tumpuan, tetapi bila terinjak justru akan menusuk kulit dan terasa sakit. Sedangkan peribahasa adalah kalimat tetap yang menyatakan maksudnya dengan kata-kata pinjaman, tanpa kata-kata samaran. Misalnya ora narima ing pandum (tidak puas dengan bagian yang diterima). Sebagai contoh kalimat pinjaman misalnya mateng (matang – bahasa Indonesia). Bila digunakan dalam peribahasa misalnya rembuge durung mateng (perundingannya belum matang/selesai dengan memuaskan). Kata matang umumnya dipakai untuk menyatakan makanan yang sudah layak untuk dimakan. Dalam peribahasa di atas dipakai untuk menyatakan suatu hasil perundingan apakah sudah memuaskan atau belum. Jadi kata matang disamakan dengan memuaskan.
Buku “Peribahasa dan Saloka Bahasa Jawa ini disusun berdasarkan buku C.F . Winter berjudul Sr. Javaansche Samenspraken II, Amsterdam 1858. Di dalamnya termuat berbagai peribahasa dan saloka. Peribahasa dan saloka tersebut untuk saat ini, ada yang masih sering dipakai adapula yang jarang atau justru tidak dipakai lagi. Misalnya ambesemake payung (besem – membakar, membakar payung) artinya orang yang membuat malu keluarga. Payung pada jaman dulu adalah lambang tinggi rendahnya pangkat priyayi. Lawas-lawas kawongan godhong artinya orang yang bekerja pada orang lain lama-lama tidak terpakai. Kawongan godhong seperti daun, setelah dipakai hanya dibuang. Omah sandhuwuring jaran (berumah di atas kuda) artinya orang yang selalu menentang (bisa kepada orang tua, guru, pemerintah dan lain-lain). Pada jaman dulu kuda adalah salah satu sarana transportasi dalam berperang.
Teks : Kusalamani
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Denmas Bekel(07/07)
- Pameran Fotografi Refleksi Kaca(07/07)
- Sembadra(06/07)
- WAYANG GAUL KOBATE, KREATIVITAS YANG MEKAR DARI SUDUT DESA(06/07)
- Sendang Jalakan dan Terjadinya Dusun Jalakan, Pandak, Bantul(05/07)
- Memilih Hari Untuk Minggu Depan(05/07)
- Majalah Yang Tak Lagi Dikenal(05/07)
- Pembawa Rumput dan Potensi Gangguan Lalu Lintas di Jogja(04/07)
- Patjitan. Djilid 1(04/07)
- Kadipaten Pura Pakualaman di Usia Dwi Abad(04/07)