Membaca Visual, Membaca Negara
Narasi keluar dari visualisasi yang dibuat oleh para perupa yang melakukan pameran bersama dengan tajuk ‘XXL, State of Indonesian Art’, diselenggarakan oleh Jogja Cotemporery, di Sangkring Art Space, Nitiprayaan, 12 Agustus 2012 lalu. Pameran akan berlangsung sampai 8 September 2012.
Semua karyanya serba besar sampai menutupi dinding, atau setidaknya lebih tinggi dari tubuh manusia. Imajinasi soal besar ini, diidentikan sebagai ukuran tshirt, XXL adalah ukuran paling besar. Secara berkelakar, Oei Hong Djien, yang membuka pameran ini menyebut 15 perupa yang pameran, bukan hanya besar dari segi nama. Mereka semua terkenal, namanya besar. Yang lebih penting, tubuhnya juga besar. Tentu saja, kelakar ini diikuti tawa oleh Hong Djien, dan hadirin yang hadir dalam pembukaan pameran itu.
Dari karya yang dipamerkan ini, kita bisa menangkap narasi yang keluar dari teks-teks rupa. Agaknya, para perupa melihat negara Indonesia yang besar, bukan hanya dari sisi luasnya, tetapi juga jumlah penduduknya. Namun, ‘kebesaran’ itu seperti menyimpan kerapuhan, atau setidaknya penyangganya rapuh, yang gampang berantakan kalau disenggol pada bagian-bagian tertentu. Agus Suwage, memvisulkan dalam bentuk karya yang terbuat dari botol dan disusun dalam bentuk piramida. Tentu saja, karya ini berukuran besar, tapi ketika beberaoa botol disingkirkan, terutama pada bagian bawah dan tengah, bangunan bisa mudah ambrol. Persis negara kita, ketika sentimen agama disentuh, atau juga etnis, bangunan negara menjadi berantakan, tetapi di tingkat piramida, setidaknya pada karya Agus Suwage, sedikitpun tidak terpengaruh ‘goyangan bangunan akibat senitmen’.
Atau juga lukisan yang berjudul ‘Strong’ karya M.Irfan, yang memvisualkan rangka-rangka besi dan ditoreh pada kanvas, seolah seperti memberi imajinasi pada kerangka bangunan, tetapi tidak memiliki bungkus, sehingga kerangka itu hanya tinggal kerangka yang memberi kesan kuat dan besar, namun kosong. Kita seperti mendengar suara lirih dari Irfan, bahwa negara kita seperti ‘tinggal kerangka’, tak memiliki manfaat untuk warga masyarakatnya, bahkan malah sebaliknya, membahayakan bagi warga masyarakatnya.
Pada lukisan yang berjudul ‘Perang” Budi Kustaryo, seperti menunjukkan sosok tubuh yang besar, tetapi tidak berdaya menghadapi lawannnya yang kecil. Sesosok tubuh itu terlentang di tanah dengan latar belakang alam yang subur, dan yang lain menginjaknya. Apa yang digumamkan dari Budi Kustaryo, seolah menghentak negara kita yang besar, tetapi nyalinya kecil, sehingga seringkali tidak berani menghadapi negara yang jauh lebih kecil dari negeri kita.
Semua visual yang disajikan dalam pameran dengan mengambil tema ‘XXL, State of Indonesia Art’ ini memiliki narasi besar, dan narasi itu ‘keluar’ dari karyanya menembus ke area lain. Karena itu membaca visual dari karya 15 perupa, kita sekaligus membaca persoalan negara. Karya seni rupa dalam pameran ini menyimpan teks mengenai ‘state’, yang mempunyai kompleksitas masalah. Bukan hanya di dalam ‘state’ melainkan interaksinya dengan ‘state-state’ yang lain. Visualisasi persoalan ‘state’ ini membuka narasi-narasi kecil yang tersimpan didalam ‘tubuh state’.
Dalam kata lain, seni rupa tidak hanya berhenti pada visual. Justru dari visual membuka imajinasi yang lebih jauh, dan masing-masing relasi memiliki imajinasi yang berbeda, dan tentu saja terbuka perbedaan imajinasi dengan perupanya. Imajinasi soal negara, yang kabur bentuknya, bisa berbeda dari yang ditunjuk. Orang bisa menunjuk kekuasaan untuk menyebut negara, atau simbol yang lain, mengenai konstruksi seperti visual Agus Suwage atau M Irfan, atau juga simbol yang lain lagi seperti dilakukan Putu Sutawijaya, dalam bentuk karyanya yang ‘kecil’ tapi ‘besar’. Karena yang kecil itu bersambung-sambung, mirip seperti NKRI.
Tentu saja, kita perlu membaca lain dari visual yang dilihat. Karena, visual itu representasi dari imajinasi perupanya. Dari visual tersebut kita bisa mempunyai imajinasi yang lain, dan visual itu sendiri akan memproduksi imajinasi yang berbeda dari imajinasi perupanya.
Dan apa yang disebut sebagai ‘besar’ barangkali hanya imajinasi, karena hanya rangkaian dari yang kecil. Yang besar dan tidak tampak, seperti nasionalisme, seperti disebut Ben Andreson adalah imajinasi, yang akhirnya ‘melahirkan’ apa yang disebut sebagai negara.
Maka, “XXL, State of Indonesian Art’ hanyalah imajinasi yang coba divisualkan dalam bentuk karya seni rupa.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Pameran Dysfashional Fashion Dalam Arti Luas(16/05)
- MENGENANG DICK HARTOKO, MENGINGAT TANDA-TANDA ZAMAN(23/05)
- PECEL KEMBANG TURI, SAJIAN KHAS TAMAN WISATA CANDI PRAMBANAN(04/08)
Lomba Penulisan Puisi, Di Pangkuan Yogya(08/03) - 23 Januari 2010, Kabar Anyar - PAMERAN RETROSPEKSI EDHI SUNARSO(23/01)
- Tayub. Pertunjukan dan Ritus Kesuburan(10/03)
- 6 Februari 2010, Kabar Anyar - Berdirinya Candi Sewu(06/02)
- AYAM PANGGANG 3 BERKU(23/08)
- SENAM BARAHMUS DI AKHIR 2011(03/12)
- Kyai Cegahpati(01/05)