Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Tayub. Pertunjukan dan Ritus Kesuburan

10 Mar 2010 02:12:00

Perpustakaan

Judul : Tayub. Pertunjukan & Ritus Kesuburan
Penulis : Ben Suharto
Penerbit : MSPI + arti line, 1999, Bandung
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : vii + 217
Ringkasan isi :

Tari tradisional sangat erat hubungannya dengan lingkungan di mana tarian itu lahir. Ia tidak mandiri, tetapi luluh lekat dengan adat setempat, pandangan hidup, tata masyarakat, kepercayaan dan lain-lain. Tarian sebagai bagian upacara adat biasanya memiliki bentuk yang tidak berubah sepanjang tradisi adat masih berlangsung. Sehingga sering juga disebut tari tradisional, terutama karena bentuknya yang relatif tidak berubah dan diwariskan sebagai bagian yang terpadu di dalam kehidupan kultural masyarakatnya secara turun-temurun. Oleh karena itu, penulis buku ini menganjurkan agar pemahaman tentang tayub (sebagai tari pertunjukan dan ritus kesuburan) perlu sekali dilacak ke jaman lampau. Terutama untuk mengkaitkan dengan kepercayaan asli masyarakat Jawa, sebelum masuknya pengaruh luar misal Hindu/Budha.

Salah satu sikap dari penganut kepercayaan itu dapat dilihat bagaimana manusia tak terpisahkan dengan alam di mana manusia hidup. Manusia masing-masing mengatur diri sendiri di dalam jagad cilik, agar seirama dengan keteraturan semesta yang selaras dalam jagad gedhe. Juga prinsip hidup yang bertujuan untuk menyatu dengan Tuhan atau Manunggaling kawula Gusti. Kehidupan masyarakat sangat tebal terhadap dunia mistis, sehingga banyak sekali gejala yang muncul di hadapan manusia dalam alam semesta sangat mudah terjawab melalu mitos. Untuk menghadapi gejala alam yang penuh dengan gerak, manusia mulai memerlukan gerak tubuh untuk dapat mengimbangi gejala alam tersebut. Gerakan manusia itu makin berkembang tidak saja sebagai ungkapan pribadi-pribadi saja, tetapi merupakan ungkapan perasaan sekelompok masyarakat. Semuanya terjadi atas dorongan pengaruh suasana lingkungan. Dan inilah yang merupakan awal dari timbulnya ritus atau upacara ibadat, di mana pengungkapannya melalui simbol-simbol.

Secara umum dapat diketahui bahwa sebagian besar dari upacara tentang kesuburan tumbuh-tumbuhan itu selalu dimulai dengan kesuburan manusia itu sendiri. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa dunia kehidupan yang masih sederhana atau primitif, membuat mereka masih erat menyatu dengan lingkungan alam serta sadar keharusan keterlibatannya dalam menjaga keseimbangan alam. Tari/tarian yang dipakai untuk upacara kesuburan tidak selalu memberikan gambaran bahwa tari yang dipakai merupakan penuangan tema dengan memperlihatkan cara-cara menanam atau tarian tidak berusaha untuk menuangkan proses awal orang menanam, sampai memetik hasilnya. Beberapa ungkapan yang mereka pergunakan dalam kaitannya dengan kesuburan misal dengan tema memanggil hujan, kekuatan tumbuh dari tanaman itu misal gerakan meloncat tinggi dengan harapan tanaman tumbuh tinggi subur dan cepat, dengan upacara menuangkan cara hubungan seksual, lewat penari laki-laki dan wanita atau lewat simbol.

Dalam hubungannya dengan unsur ritus kesuburan, untuk kejelasannya bisa melalui perbandingan tari yang erat dengan kepercayaan animisme sewaktu manusia masih akrab dengan kehidupan, dalam naluri kesatuannya dengan alam. Juga tentang paham Tantrayana yang pernah tersebar luas, seperti beberapa larangan yang justru dilakukan untuk kepentingan suatu upacara sakral, yang pernah mendapat tempat di dalam masyarakat.

Untuk menjelaskan tayub dalam hubungannya dengan unsur kesuburan dapat pula dibandingkan dengan kesenian Gandrung dari Banyuwangi Jawa Timur. Gandrung berarti cinta, tertarik, terpesona merupakan gambaran terpesonanya kaum tani atas anugerah Dewata dalam hal ini Dewi Sri yang berupa panenan padi. Dilihat dari kekeramatannya maka Gandrung hanya ditarikan pada saat-saat tertentu saja misal saat panen sebagai ungkapan syukur. Tetapi kekeramatan dan daya magi yang terkandung dalam tayub maupun Gandrung sebenarnya tidak tergantung dari estetika geraknya dalam hubungannya dengan nilai tata kesopanan, tetapi terkandung dalam konsep kuna tentang Tantrayana dan yang lebih kuna lagi tentang keseimbangan alam untuk dapat dilestarikan melalui keseimbangan manusianya sendiri. Dalam hubungan ini hanya ada satu inti saja yaitu pertemuan antara pria-wanita di mana dari laku ritus semacam itu diharapkan dapat menimbulkan kekuatan/kesaktian daya tumbuh serta suburnya tanaman.

Perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari, terutama disebabkan oleh memudarnya kepercayaan kuna sebagai akibat datangnya aliran kepercayaan baru yang mempunyai sudut pandang berbeda. Hal ini tentu saja sedikit atau banyak menyebabkan perubahan termasuk kesenian. Namun karena tari dalam perubahannya bersifat perlahan- lahan, maka sangat terasa bahwa perubahan itu terjadi pada penilaian yang langsung menipiskan aspirasi, semangat dan kekuatan daya ungkapnya. Maka tayub dalam perkembangannya lebih tersebar sebagai tari hiburan atau tari pergaulan. Sebagai tari pergaulan yang menjadi pusat tayuban adalah penari wanita yang mempunyai beberapa sebutan seperti ronggeng, taledhek (tledhek, ledhek), tandhak. Pada umumnya penari wanita ini diidentikkan dengan kehidupannya yang “kurang baik”, walaupun hal ini tergantung si penari itu sendiri. Akibatnya tayub semakin jauh dari konsep luhur seperti pada jaman upacara kesuburan ketika masih tebal sebagai suatu keyakinan dan orang masih sangat akrab dengan kepercayaan tersebut.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta