Jalan Menuju Tuhan

Jalan Menuju Tuhan

Sengaja memang dan sudah saya jadwalkan, ingin sekali rasanya menghadiri pembukaan pameran dari teman-teman seniman Mojokerto yang pameran di Sangkring Art Project. Maka, Rabu (21/3) lalu, saya menyempatkan menghadirinya. Memang, yang utama ingin melihat karya-karya yang dipamerkan, dan tentu saja, ada ketemu banyak teman dalam acara itu. Yang sama sekali tidak disangka, bertemu dengan Biksu Sri Pannavaro. Mahatmanto, seorang arsitek, pengajar di Universitas Kristen Duta Wacana, mengajak saya menemani ‘ngobrol; biksu yang teduh dan penuh rendah hati. Tentu saja, saya kagum pada keteduhan hatinya, dan pancaran kebaikan hatinya.

“Dalam ajaran kami percaya pada karma. Maka, bagi saya karma harus selesai pada kehidpan saya. Harus tuntas pada kehidupan saya, sebab kalau tidak akan dilahirkan kembali untuk menuntaskan karmanya’ kata Biksu Sri Pannavaro

Pameran menghadirkan tajuk “Trowulan Art: Homo Mojokertensis’ empat seniman, Hadi Sucipto, Joni Ramlan, Iskandar dan Ribut Sumiyono menyajikan karya-karyanya di Sangkring Art Project. Untuk saya, semua karyanya memikat, dan membuat untuk betah berlama-lama menikmati.

Saya berhenti agak lama, dan tak henti-hentinya memandang skets-skets karya Hadi Sucipto, ‘Candi Arimbi # 1’ dan ‘Candi Arimbi # 2’ juga skets yang lain. Warna kuning yang melatari skets candi2 seperti menghadirkan imajinasi masa lalu. Oleh Hadi Sucipto, saya, mungkin juga pengungjung yang lain, seperti diajak ‘mengunjungi’ candi-candi pada masa lalu. Dari karya skets-skets ini, rasanya Hadi Sucipto bukan hanya ‘bermain’ perihal teknis, melainkan mengoalah seluruh imajinasinya untuk mengisi karya-karyanya, sehingga karyanya memiliki narasai panjang mengenai kisah masa lalu.

Jalan Menuju Tuhan

Saya merasa mendapatkan yang berbeda, dengan menikmati karya seni rupa yang dipamerkan selama ini, atau setidaknya karya2 perupa seusia empat seniman Mojokertensis ini. Kalau pinjam judul karya dari Joni Ramlan, karya-karya ‘Mojokertensis’ ini merupakan ‘Jalan Menuju Tuhan’. Artinya mereka berkarya bukan hanya menghasilkan karya seni, tetapi sekaligus ‘menghidupkan’ karya-karyanya itu.

Pada karya yang lain, saya tertegun melihat ‘Saraswati’ karya Ribut Sumiyono. Karya patung yang berbahan Batu andesit ini, seperti halnya karya Hadi Sucipto, memberikan imjanasi pada kisah abad lewat, dan seolah (di-)hadir(-kan) pada karya-karya Ribut Sumiyono.

Berbeda dengan karya Iskandar, yang hadir dengan kisah faktual. Wajah-wajah penuh ekspresif, terlihat menyimpan narasi kisah masa lalu, dan melambungkan imajinasi orang yang menikmati wajah-wajah itu. Wajah faktual dan kontekstual, oleh Iskandar diperlihatkan pada karya yang diberi judul ‘Hindu, Islam dan Nasionalis’. Wajah yang penuh ekspresi dan sekaligus menghadirkan imajinasi narasi bisa dilihat pada karya ‘Obong Queen 1’.

Krisbudiman, seorang penulis dan pengajar di program Kajian Media dan Budaya UGM, pada katalog pameran menuliskan mengenai karya-karya yang dipamekan. Dengarkan petikan dari apa yang dilantunkannya:

“Proses pencarian dan penemuan inilah yang menempa Pak Ribut –bak seorang empu dari sebuah padepokan – sebagai seorang master meditasi batu: ‘Saraswati’nya telah menyihir saya semenjak pertama kali bertemu tiga tahun lalu; sedangkan Pak Cip, dengan serangkauan sketsa candi dan arca, adalah seorang master meditasi garis: betapa saya dan kawan-kawan penggemar sketsa merasa sekaligus cemburu dan jatuh hati kepada sketsa-sketsa ‘Ganesha’ dan ‘Candi Bangkal’-nya”.

Jalan Menuju Tuhan

Barangkali, karena pameran ini ‘Jalan menuju Tuhan’, makanya pantas seorang Biksu Sri Pannavaro dimintai untuk menandai pembukaan pemeran. Barangkali juga, sekaligus, pameran ini untuk menuntaskan karmanya. Ah.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta