Tembi

Berita-budaya»MEMBACA PUISI, MEMBACA HATI DI Tembi

18 Oct 2011 08:59:00

MEMBACA PUISI, MEMBACA HATI DI TembiPuisi memang terus ditulis, meski media cetak tidak memberi ruang yang (sangat) menggembirakan. Puisi tak henti-hentinya ditulis. Penyair, atau siapa saja, senang membaca puisi untuk mengisi acara-acara tertentu.

Karena puisi terus mengalir, termasuk mengalir di media sosial berjejaring seperti facebook, Tembi Rumah Budaya mencoba menggulirkan acara yang diberi tajuk ‘Sastra Bulan Purnama’. Diberi tajuk ini, karena acara baca puisi dilakukan tepat saat bulan purnama Rabu (12/10) lalu. Sejumlah penyair, yang dihubungi lewat facebook mengirimkan 3 puisinya, atau ada yang 5 puisi, untuk dibacakan di Tembi dengan tema ‘Membaca Puisi,MEMBACA PUISI, MEMBACA HATI DI TembiMembaca Hati, Menelaah Jaman’.

Di Yogya, tahun 1970-an dikenal komunitas sastra yang dikenal dengan nama PSK (Persada Studi Klub’ yang diasuh oleh Umbu Landu Parangi. Dalam acara ‘Sastra Bulan Purnama’ para penyair PSK, termasuk salah satu pendirinya Teguh Ranusastro Asmara, ikut hadir dan membacakan puisi-puisinya. Selain Teguh, penyair era PSK ada Slamet Riyadi Sabrawi, Wadie Maharief, Bambang Darto dan lainnya. Penyair era 1980-an ada Budhi Wiryawan, yang sekarang menjadi ketua KPU Bantul, Krisbudiman, Tri Wintolo, Ikun SK serta penyair era sesudah itu, seperti Eko Nuryono, dan seorang novelis muda era 2000-an, Ramayda Akmal tampilMEMBACA PUISI, MEMBACA HATI DI Tembimembacakan pethilan novel terbarunya yang belum selesai. Tak ketinggalan, Genthong Hariono Seloali, seorang aktor Jogja, yang hadir membawa novelnya yang baru terbit, ikut membacakan pethilan novelnya.

Sastra Bulan Purnama di Tembi, dihadiri oleh banyak penyair Yogya dalam generasi yang berbeda, termasuk beberapa penyair perempuan. Masing-masing membacakan karya puisinya, ada yang membacakan 3 puisi, 2 puisi, atau bahkan 1 puisi. Penyair yang hadir dan membawa puisi karyanya, setelah penyair ‘yang diundang’ semua selesai, diminta untuk membacakan puisi-puisinya, seperti misalnya penyair Hamdy Salad, Otto Sukanto, Wawan dan seorang penyair perempuan.

Malam itu, Rabu (12/10) lalu, bulan bundar menghiasai Amphy theater Tembi Rumah Budaya. Bulan di langit seperti sekaligus sebagai property acara ‘Sastra Bulan Purnama’. Disekitar Amphy thteater, persawahan hijau disinari cahaya bulan, sehingga suasana terasa puitis. Di bawah sinar bulan purnama,MEMBACA PUISI, MEMBACA HATI DI Tembimendengarkan penyair membaca puisi sembari minum kopi Bandung, atau teh hangat dan gorengan serta kacang rebus.

Teguh Ranusastro Asmara, sebelum membacakan puisinya, sempat memberi komentar mengenai ‘ Sastra Bulan Puranama. Kata Teguh: ‘Membuat acara baca puisi itu gampang, apalagi kalau hanya sekali lewat, saya berharap, ‘Sastra Bulan Purnama’ yang diselenggarakan oleh Tembi Rumah Budaya ini bisa berlangsung terus dan memberi warna pada kegiatan sastra sejenis yang dilakukan di Yogya’.

Para penyair Yogya, kurang lebih 3 jam, yang dimulai pukul 20.00 membacakan puisi karyanya sendiri secara bergantian. Ada juga komunitas yang tampil secara lain, yakni mendramatisasi puisi karya Rendra. Kelompok yang menamakan dirinya ‘Diff.Com’ merupakan komunitas diffabel yang ada di Bantul. Mereka tampil dengan sungguhh2 menggarap satu puisi karya Rendra.

Yang khas dari penyair Yogya, sejak dulu tidak pernah hilang, ialah masing-masing saling menggoda satu sama lain. Suasana saling goda itulah yang membuat ‘Sastra Bulan Purnama’ meski bersahaya, tetapi menampakan keakraban diantara penyair beda generasi.

Yogya dan puisi, meski pernah terasa sepi dari puisi, tetapi puisi tidak sirna sama sekali. Yogya malah seperti puisi: selalu ada estetika disana.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta