Macapatan ke-116 Disaksikan Tetamu dari Negeri Belanda

Para pecinta macapatan yang jumlahnya tidak terlalu banyak mendapat giliran nembang dua kali. Bahkan ada beberapa dari mereka menginginkan diiringi dengan gamelan. Alhasil, malam yang dingin menjadi hangat, sehangat semangat mereka, generasi tua dalam menghidupi seni tembang macapat.

Macapat Malam Rabu Pon tahap 116 pada 8 Januari 2013 di Tembi Rumah Budaya, foto: Yuladi
Tetamu dari Negeri Belanda tengah menyimak lantunan penembang

Malam itu, tanggal 8 Januari 2013, adalah malam Rabu Pon, malam macapatan yang rutin diadakaan setiap selapan atau 35 hari sekali. Dikarenakan hujan mengguyur Bantul sejak sore, para pecinta tembang macapat yang datang di Tembi Rumah Budaya, Bantul, berkurang jumlahnya. Ada sekitar 15 orang yang nekat menerobos guyuran air hujan, untuk ikut serta mengalunkan suaranya pada acara Macapat Malam Rabu Pon tahap 116.

Selain tembang macapat, Malam Rabu Pon dimeriahkan dengan uyon-uyon gending-gending Jawa, yang berfungsi sebagai selingan. Kelompok karawitan yang mendapat giliran pada malam itu adalah karawitan Timbul Budaya dari Timbulharjo, Sewon, Bantul, pimpinan bapak Sudiyanto, yang dilatih oleh Bapak Sariya dan pesinden Ibu Jimni.

Materi yang dicetak dalam panduan untuk dibagikan dan kemudian ditembangkan secara bergantian adalah materi dari Serat Centhini buku jilid 3, Pupuh 266 dengan tembang Gambuh dan Pupuh 267 dengan tembang Sinom, seperti pada cuplikan beberapa ‘Pada’ berikut ini:

PUPUH 266
Gambuh

1. Aja kakehan tutuh
uwis ayo padha mangan nginum
sang aprabu anut miturut sakapti
lajeng dennira nyalempung
enjang kondure sang katong


Penampilan malam itu Kelompok Karawitan Timbul Budaya dari Sewon,
Bantul, pimpinan Sudiyanto

(jangan kebanyakan menyalahkan
sudahlah ayo makan dan minum
sang raja mengikuti dan menuruti sekehendaknya
lalu dalam memetik clempung
sampai pagi sang raja pulang)

2. Sapraptaning kadhatun
andhawuhken larangan winangun
nora kena ngusung bata ngusung wedhi
macul gaga lawan matun
tamping sawah dhangir kebon

(sesampainya di keraton
memerintahkan sebuah larangan
tidak boleh mengusung batu bata dan pasir
mencangkul dan membersihkan tanaman padi jenis gaga
merapikan galengan dan mendangir kebon)

3. Apasang jobin buruh
ngetrap gendheng myang ngetrap babalung
ingkang kanthi opah denlarangi sami
ing sapraja wus misuwur
dhawuhira sang akatong

Macapat Malam Rabu Pon tahap 116 pada 8 Januari 2013 di Tembi Rumah Budaya, foto: Yuladi
Pesinden dari Kelompok Karawitan Timbul Budaya

(apalagi menjadi buruh memasang lantai
mengetrap genteng dan kerangka rumah
dengan upah yang mahal
diseluruh kerajaan sudah merata
perintah raja)

4. Sayid Markaban esuk
badhe ndugekaken dennya buruh
nora nana ingkang aweh denburuhi
tyasnya kaku lajeng mangsuk
dadi prajurit ing jero

(Sayid Markaban diwaktu pagi
akan melanjutkan pekerjaannya
tidak ada yang memberi tahu bahwa hal tersebut sudah dilarang raja
maka salah tingkahlah ia, kemudian masuk
menjadi prajurit di dalam kraton.)

Para pecinta macapatan yang jumlahnya tidak terlalu banyak mendapat giliran nembang dua kali. Bahkan ada beberapa dari mereka menginginkan diiringi dengan gamelan. Alhasil, malam yang dingin menjadi hangat, sehangat semangat mereka, generasi tua dalam menghidupi seni tembang macapat.

Macapat Malam Rabu Pon tahap 116 pada 8 Januari 2013 di Tembi Rumah Budaya, foto: Yuladi
Peserta dari Sleman yang menempuh perjalanan 17 km untuk mengikuti kegiatan macapatan

Musik gamelan yang terkadang keras menghentak dan kemudian melembut, ikut membuat suasana tidak sekadar hangat, melainkan dinamis. Kedinamisan acara diperkuat dengan hadirnya rombongan tamu dari Negeri Belanda. Nadia DP Andayani, sebagai pimpinan rombongan, mengaku pernah membaca serat Centhini, tetapi belum bisa menembangkannya. Sehingga sayang kedatangannya saat ini hanya sebatas melihat dan mendengarkan saja.

Suara tembang dan suara gamelan yang memenuhi pendapa Tembi Rumah Budaya secara bergantian selama tiga jam diakhiri tepat pada jam 23.00. Para pecinta macapat meninggalkan pendapa Tembi Rumah Budaya diiringi gending penutup yang melantunkan syair: Dhuh Allah, mugi-mugi lestari …

Herjaka HS

Foto: Yuladi

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta