Visualisasi Kontemporer 'Mulur Mungkret' di Cemeti
Katia Engel berpameran seni rupa di Rumah Seni Cemeti sejak 24 Februari hingga 10 Maret 2012 dengan tajuk ‘Mulur Mungkret’. Peserta residensi Cemeti ini mengajak dua seniman lainnya untuk berkolaborasi yakni penari Fitri Setyaningsih dan desainer fashion Fukamachi Reiko. Meski ide dasarnya berangkat dari pemikiran Ki Ageng Suryomentaram tentang mulur mungkret, namun mereka menafsirkannya secara bebas. Benang merah mulur mungkret dalam karya-karya mereka bisa dikatakan adalah fleksibilitas.
Kepada Tembi, Katia menjelaskan bahwa mulur mungkret merupakan refleksi kehidupan sosial dari masyarakat Yogya. Ia menafsirkan ulang konsep ini dalam interaksi sosial masyarakat yang ia amati.
Dalam catatan katalognya, seniman yang tinggal di Berlin dan Jakarta ini menulis, “Titik awal penelitian saya mengenai mulur mungkret berangkat dari fenomena alam, proses tumbuh dan menyusut dengan pola-pola yang berbeda dan berulang. Perhatian utama saya dalam pengamatan ini adalah untuk mengambil sari dari pola-pola ini dan menerjemahkannya ke dalam bahasa rupa yang baru. Saya juga terinspirasi oleh interaksi sehari-hari di jalanan, yang membentuk kehidupan sosial Yogyakarta. Dalam konteks ini, mulur mungkret bagi saya adalah keluwesan dalam gerak, waktu dan ruang, yang tampaknya secara mendasar begitu menyatu dalam budaya Jawa.”
‘Belajar pada Aliran 2’ berupa karya video yang menayangkanlalu lintas di jalan raya di sisi selatan dan utara Plengkung Gading. Motor bersliweran --terkadang mobil dan becak-- ke arah empat penjuru angin. Kendaraan keluar masuk plengkung, baik beriringan maupun berpapasan Di layar, tayangan Katia tidak tampil secara utuh namun dibagi dalam kisi-kisi vertikal, yang dicrop menjadi satu hingga empat kisi. Dengan tampilan per kisi ini dinamika gerak dan arah yang berbeda lebih mencuat. Ditambah kamera Katia yang mengambil perpektif dari atas, depan dan belakang ikut mendinamisir visualisasinya.
Karya videonya yang lain ‘Belajar pada Aliran 1’ menayangkan segaris kecil air yang mengalir, berkelok-kelok, bahkan air yang mengalir ke atas. Air sebagai sumber kehidupan yang bergerak fleksibel.
Air juga menginspirasi Katia dalam karya fotonya. Dalam warna hitam putih, noktah air rekaan Katia disusun dalam panel-panel yang kian lama kian mengabur. Menurut Katia, ini soal durasi, bagaimana sebuah proses terjadi seiring berjalannya waktu. Itu sebabnya, kata Katia, ia tidak memilih media video. Melalui foto, menurutnya, proses waktu ‘mulur mungkret’ air menjadi relatif. Bisa dalam ukuran menit, jam,bulan atau tahun. Salah satu perhatian Katia memang soal persepsi waktu.
Sama seperti Katia, latar Fitri adalah penari. Seperti yang dijelaskan Fitri kepada Tembi, penari lulusan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta ini fokus pada interaksi (relationship) manusia, baik antar manusia maupun dengan makhluk atau benda lainnya, bahkan juga hubungan internal di dalam diri seseorang. Hubungan yang senantiasa diwarnai fleksibilitas.
Empat panel foto ‘Jangan Menginjak Bayangan’ --yang judulnya paralel dengan ‘dilarang menginjak rumput’-- berfokus pada figur bayangan di tanah. Tanah tempat berpijak namun orang harus hati-hati melangkah agar tidak menginjak bayangan. Estetikaditunjang gesture bayangan dan ragam warna tanah. Menurut Fitri, bayangan adalah teman yang paling setia. Saat sendiri pun bayangan menemani. Karyanya ini masih menyoal interaksi dengan teman dan keluarga, untuk tidak saling menyakiti.
Panel fotonya yang lain, ‘Rumput Laut Menari’, seakan “memberi kesempatan” kepada rumput laut di kepala Fitri untuk menari. Suatu bentuk sikap fleksibilitas Fitri lainnya dalam hubungannya dengan alam. Masih menyangkut hubungan, visualisasi Fitri juga menukik ke dalam dirinya, yang diwujudkan dalam karya tarinya, ‘Dhawah Sami-Sami’. Karya yang menurut Fitri merupakan refleksi diri sendiri ini ditarikan bersama Muhamad Qomarudin dalam posisi saling berhadapan secara diagonal. Di hadapan mereka masing-masing ada cermin. Bagi Fitri, dalam diri setiap orang selalu ada diri yang lain, bahkan juga sosok yang lain.
Fitri juga menulis dalam katalog pameran, “Tari tidak hanya semata-mata peristiwa tubuh. Ia adalah peristiwa media yang saya libatkan dalam kerja tari saya. Justru ini yang membuat tari punya cara pandang lain. Mulur mungkret, dibolak dibalik, duduk berdiri, panjang pendek, maju mundur, naik turun, depan belakang, atas bawah, jauh dekat, jatuh bangun.Dhawah sami-sami (jatuh sama-sama).”
Menarik pula bagaimana Fitri memvisualkan proses residensi selama di Cemeti, yang melibatkan tiga kepala. Bagaimana mereka bertemu dan bekerjasama dengan gagasan masing-masing. Tiga panel foto ‘Senyaman Batu’ menampilkan sosok batu yang terkesan keras dan tegar, beserta relasinya dengan Fitri yang mendorong batu maupun berbaring santai di atas batu tersebut. Karya ini, menurut Fitri, merupakan gambaran proses kerjasama antara mereka sebagai seniman yang “keras kepala seperti batu” dengan gagasannya masing-masing yang disikapi dengan nyaman sehingga suasana kerja mereka cair.
Kisah di balik ‘Warna Bulu Mata’ cukup menggelitik. Idenya muncul saat mereka bertiga berhadapan dalam momen terpaku tanpa kata, hanya bulu mata yang nampak berkejap-kejap, seakan masih terus berbicara. Bagi Fitri, tentu menarik jika bulu mata tidak hanya hitam tapi berwarna-warni. Walhasil fotonya menampilkan benang berwarna-warni yang diposisikan berasal dari mata merentang bersilangan.
Karya-karya Fukamachi Reiko berupa foto dan lukisan, yang utamanya menggambarkan interaksinya dengan alam. Dalam sejumlah fotonya, Katiadan Fitri masing-masing tampil bermetamorfosis dengan tanaman.
Reiko juga merespon tari Fitri dengan membuat lukisan abstrak yang nyaris menabrak atap galeri, berjudul sama, ‘Dhawah Sami-Sami’. Interaksi ini juga dilakukan Katia dengan menampilkan bayangan dalam karya videonya ‘Belajar pada Aliran 1’ yang merespon ide Fitri tentang bayangan.
Menurut Fitri, mereka memang sengaja tidak membuat karya bersama tapi membiarkan mereka masing-masing mengekspresikan dirinya. Sejak 20 Januari, selama sekitar 5 minggu, ketiganya berada di galeri Cemeti dalam proses kerja kreatif mereka. Sebelumnya, sebagai pendahuluan, mereka telah menjalin komunikasi sekitar tiga minggu setelah Katia memilih Fitri dan Reiko untuk berkolaborasi.
Satu hal lain yang tampak pada pameran kolaborasi mereka adalah adanya lintas profesi dimana para seniman ini memakai media lain, di luar media utama mereka selama ini.
Program residensi Cemeti, seperti dijelaskan Manajer Program Residensi Cemeti, Sita Sari Trikusumawardhani, berlangsung sejak 2006. Residensi ‘Landing Soon’ diselenggarakan hingga 2009, lantas setelah sempat vakum, dilanjutkan dengan residensi ‘Hot Wave’ sejak Oktober 2011. Residensi ini diadakan setiap April-Juni dan September-November, yang diikuti seniman Indonesia dan Belanda. Ada pula program residensi nonreguler yang berlangsung lebih singkat, seperti yang diikuti Katia kali ini.
barata
Artikel Lainnya :
- PIJAT GIGI, APA TUMON(06/01)
- 18 Juni 2010, Kabar Anyar - KERAJINAN BATIK WUKIRSARI(18/06)
- Diskusi Buku Dangdut karya Andrew Weintraub(03/05)
- KERUSAKAN JEMBATAN DAN GORONG-GORONG KARENA BANJIR DI JOGJA(04/01)
- Pesta Film Dokumenter di Penghujung Tahun(11/01)
- CODOT, LUWAK DAN TOKEK DI PAKUALAMAN(08/11)
- Berkunjung Ke Wanurejo, Magelang(25/06)
- 24 Desember 2010, Figur Wayang - Pemuda Rupawan(24/12)
- Priadi, Kembali Ke Jalan Hidup(16/10)
- ZEBRA CROSS GAMBAR ORANG DI YOGYAKARTA(14/07)