Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Upacara Tradisional Masyarakat Jawa

01 Feb 2005 08:16:00

Perpustakaan

Judul : Upacara Tradisional Masyarakat Jawa
Penulis : Thomas Wiyasa Bratawidjaja
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan, 2000, Jakarta
Halaman : 146 halaman
Ringkasan isi :

Nilai-nilai dan norma-norma kehidupan yang tumbuh di dalam masyarakat berguna untuk mencari keseimbangan dalam tatanan kehidupan. Nilai-nilai dan norma-norma itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat pada akhirnya menjadi adat istiadat yang diwujudkan dalam bentuk tata upacara dan masyarakat diharapkan untuk mentaatinya. Demikian pula dalam masyarakat Jawa upacara adat adalah pencerminan bahwa semua perencanaan, tindakan dan perbuatan telah diatur oleh tata nilai luhur. Tata nilai yang dipancarkan melalui tata upacara adat merupakan manifestasi tata kehidupan masyarakat Jawa yang serba hati-hati agar dalam melaksanakan pekerjaan mendapatkan keselamatan lahir batin. Masyarakat Jawa mempunyai berbagai tata upacara adat sejak sebelum lahir (janin) sampai meninggal. Setiap tata upacara adat tersebut mempunyai makna sendiri-sendiri dan sampai saat ini masih cukup banyak yang dilestarikan. Dalam pelaksanaannya tentu saja disesuaikan dengan keadaan. Di samping adat istiadat beserta tata upacaranya (temasuk sesaji) di situ juga mengandung pendidikan budi pekerti, pengetahuan mengenal watak, jenis manusia dan aturan-aturannya.

Selamatan bagi wanita hamil adalah pada bulan kedua, bulan keempat (ngupati), bulan ketujuh (tingkepan, dan upacara inilah yang sering dilaksanakan), bulan ke sembilan. Setiap upacara tersebut memakai sesaji berbeda yang mempunyai makna berbeda pula tetapi maksudnya adalah untuk keselamatan ibu dan bayinya. Di samping itu wanita hamil (dan juga suaminya) mempunyai banyak pantangan yang harus ditaati misalnya dilarang mengolok-olok orang yang cacat agar anaknya tidak ikut cacat.

Saat bayi lahir (cara merawat bayi, merawat plasenta), puputan (putusnya tali pusat si bayi), selapanan (bayi berusia 35 hari), tedhak siten /turun tanah (upacara memeperkenalkan anak pertama kali pada bumi/tanah), khitan bagi laki-laki/tetesan bagi perempuan, menstruasi pertama, pernikahan (dari memilih jodoh, lamaran sampai menikah), sampai dikubur bagi masyarakat Jawa penuh dengan segala macam upacara tradisional yang harus dijalanani. Dalam melakukan tata cara adat ini tidaklah asal menjalani tetapi dengan perhitungan yang matang misalnya pemilihan hari, bulan ,tahun dan jam pelaksanaan. Demikian pula dengan sesaji yang disediakan.

Menurut kepercayaan Jawa anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan tertentu misalnya ontang anting (anak tunggal), julung wangi (lahir bersamaan dengan terbitnya matahari) hidupnya bisa tertimpa aib atau malapetaka. Orang-orang yang melakukan sesuatu yang dianggap “ada di luar” batas-batas tertentu juga dianggap aib atau berdosa (hidupnya bisa menderita) misalnya mematahkan gilasan jamu (pipisan), merobohkan dandang (alat penanak nasi). Menurut anggapan masyarakat Jawa mereka bisa menjadi mangsa Bathara Kala. Untuk anak-anak dan orang-orang seperti itu harus diadakan ruwatan yaitu upacara untuk menghilangkan aib atau malapetaka tersebut. Upacara ruwatan dengan segala macam sesaji ini dipimpin oleh seorang dalang yang cukup tua daan berpengalaman.

Dalam buku ini dijelaskan pula tentang konsep pendidikan anak menurut masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa sangat menghargai konsep mikul dhuwur mendhem jero. Artinya seorang anak harus bisa membawa nama baik orang tua (mikul dhuwur =menjunjung tinggi), menutupi kekurangan orang tua (mendhhem jero=mengubur dalam-dalam). Seorang anak akan dididik untuk bersikap hati-hati/waspada, berbudi luhur dan mempunyai sifat sosial, tekun dan kuat menjalani prihatin, setia, jujur dan mengutamakan kebenaran. Semua itu adalah untuk kebaikan anak kelak.

Dalam buku ini diuraikan pula watak manusia berdasarkan kelahirannya. Masyarakat Jawa masih mengenal wuku (perhitungan waktu), dan wuku itu ada hubungannya dengan tingkah laku atau tabiat seseorang. Wuku dihubungkan dengan hari dan weton kelahiran seseorang bukan dihubungkan dengan tanggal dan bulannya. Misal seseorang lahir Senin Wage wukunya menurut daftar Wuku Kurantil.

Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang penuh perhitungan. Mereka mengenal “sifat-sifat” bulan Jawa dengan baik Dengan demikian jika akan melaksanakan aktifitas (misal menabur benih, pindah rumah, menikah bahkan menebang pohon) akan diperhitungkan dengan teliti dan cermat dengan memilih jam, tanggal dan bulan yang dianggap paling tepat. Keliru dalam pemilihan hal tersebut dianggap dapat membawa ketidakberuntungan misalnya rejekinya kurang bagus, rumah tangganya cekcok dan lain-lain.

Masyarakat Jawa (dulu) juga menganggap penting gelar kebangsawanan misal Raden Ayu, Bendara Pangeran Harya. Hanya orang-orang tertentu yang berhak menyandang gelar tersebut misal keturunan raja, atau masyarakat biasa yang mendapat anugerah dari raja. Selain gelar kebangsawanan ada pula sebutan-sebutan tertentu bagi seseorang karena jabatannya misal kanjeng sunan (ahi agama Islam), kanjeng kyai (benda-benda pusaka). Pemakaian gelar tersebut tidaklah sembarangan tetapi harus hati-hati menurut aturan yang sudah ada.

Masyarakat Jawa juga mengenal berbagai macam ramuan dari bahan-bahan alami untuk kesehatan, kecantikan dan pengobatan penyakit. Dalam buku ini diuraikan terutama bagi wanita hamil dan menyusui untuk menjaga stamina dan juga kesehatan.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta