Tembi Juga Menanam Padi Organik

Tembi Rumah Budaya juga terlibat dalam urusan pertanian, khusus pertanian padi. Ya, karena pada dasarnya pertanian juga merupakan kebudayaan, tak sekadar sebuah sistem produksi.

musyawarah petani organik di pendapa Tembi rumah budaya, difoto: 7 November 2012, foto: a.sartono
pertemuan rutin petani organik Tembi untuk memecahkan persoalan bersama

Tembi Organik Sejahtera (TOS) yang menjadi bagian dari divisi Tembi Rumah Budaya, bergerak dalam budi daya pertanian dengan mendasarkan diri pada sistem pertanian organik. Divisi atau unit ini berdiri pada bulan November 2007, yang diawali dengan pertemuan para petani yang memiliki sawah di sekitar kantor Tembi Rumah Budaya. Pertemuan ini diikuti oleh 38 orang petani yang bertempat tinggal di Dusun Tembi dan Slanggen, Kelurahan Timbulharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Pertemuan ini dilakukan untuk membuka wacana baru para petani yang selama ini bertani secara konvensional (anorganik), untuk memulai bertani secara organik di Tembi. Kesepakatan untuk memulai bertani organik pun tercapai.

Tembi kemudian mulai membantu mengolah tanah-tanah sawah para petani yang selama ini bisa dikatakan ”mati” karena sudah sekian lama digenjot dengan pupuk dan pembasmi hama kimia. Sistem penanaman padi pun ditata ulang. Demikian pula dengan pemilihan benih.

Sawah seluas 3,5 hektar yang dikelola oleh TOS itu kemudian menerapkan sistem atau pola tanam padi-padi-palawija. Artinya, dua kali penanaman padi dan satu kali palawija. Semua disesuaikan dengan musim dan kondisi lahannya. Sawah seluas 3,5 hektar itu dalam sekali panen mampu menghasilkan 18-20 ton gabah kering giling, atau kurang lebih 10-12 ton beras.

Sistem itu sendiri bila dihitung hasilnya, pas satu tahun. Dengan demikian, musim tanam pertama selalu jatuh pada bulan Desember yang oleh tradisi pertanian atau kalender Jawa disebut sebagai Mangsa Kanem. Pola tanam yang diterapkan oleh TOS di Tembi sejak tahun 2007 ini ternyata terbukti mampu meminimalisasi hama dan penyakit tumbuhan. Bahkan hama utama padi seperti tikus dan wereng cokelat bisa dikatakan tidak pernah datang.

bajak dengan penarik kerbau di sawah-sawah Tembi, foto: Tembi
bajak berpenarik kerbau, selain fungsional juga dapat dijadikan sebagai objek wisata

Ir. FX. Purwanto, M.Si, pembina para petani organik Tembi yang menjadi mitra utama dalam TOS, menyatakan bahwa hama tikus dan wereng cokelat sangat menggemari padi yang dipupuk secara kimia karena batang dan daunnya dirasa lebih empuk. Warna tanaman berwarna gelap sehingga dirasa nyaman untuk persembunyian (kamuflase) tikus dan wereng cokelat.

Kendala utama sistem pertanian organik adalah menghindari ketergantungan pada pupuk kimia. Hal ini menjadi godaan terberat bagi para petani yang telah terbiasa melakukan pertanian konvensional. Umumnya di tengah perjalanan atau saat pertumbuhan tanaman para petani mulai tergoda untuk kembali menggunakan pupuk kimia karena muncul kekhawatiran atau ketidakpercayaan diri pada para petani.

TOS memiliki komitmen atau visi untuk membangun pertanian yang berkelanjutan. Pertanian organik akan membuat tanah semakin subur. Dengan demikian hasil pun akan semakin meningkat, sementara biaya produksi justru semakin murah.

Hal itu berkebalikan dengan pertanian konvensional (kimia), yang semakin lama semakin mahal karena ada peningkatan dosis pemupukan kimia, obat hama (kimia), dan lain-lain yang membuat kesuburan tanah semakin menurun (level off). Pada pertanian sistem ini pula hasil produksi akan terus menurun sementara biaya produksi akan terus naik.

Sekalipun demikian, banyak petani yang masih kurang memahami tentang sistem pertanian berkelanjutan, yang ramah lingkungan, selaras dengan alam, sekaligus menyehatkan konsumen serta alam itu sendiri. TOS terus berusaha membina mereka untuk menjadi petani berkelanjutan yang tangguh dan mandiri.

serombongan petani organik Tembi di sawah mereka, foto:a.sartono
Para petani organik Tembi siap memanen hasil jerih payah mereka

a.sartono

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta