Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Seni Karawitan Jawa. Ungkapan Keindahan dalam Musik Gamelan

18 Apr 2008 10:14:00

Perpustakaan

Judul : Seni Karawitan Jawa. Ungkapan Keindahan dalam Musik Gamelan
Penulis : Dr. Purwadi, M. Hum, Drs. Afendy Widayat
Penerbit : Hanan Pustaka, 2006, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xii + 268
Ringkasan isi :

Gamelan Jawa merupakan seperangkat instrumen sebagai pernyataan musikal yang sering disebut dengan istilah karawitan. Karawitan adalah seni suara yang menggunakan laras slendro dan pelog baik suara manusia atau suara instrumen gamelan. Seni gamelan Jawa mengandung nilai-nilai historis dan filosofis bagi bangsa Indonesia. Bagi masyarakat Jawa gamelan mempunyai fungsi estetika yang berkaitan dengan nilai-nilai sosial, moral dan spiritual. Agar dapat berfungsi dengan baik gamelan perlu dirawat secara rutin, antar instrumen perlu diberi jarak agar tidak berbenturan, tali harus selalu dikontrol, perlu dilap agar kelembabannya berkurang dan tidak berdebu.

Niyaga atau pangrawit (penabuh gamelan) harus mempunyai pengetahuan yang memadai tentang seluk beluk gamelan. Perannya dalam pergelaran wayang purwa adalah membantu dalang dalam mengiringi karawitan sehingga jalan pementasannya terasa lebih hidup. Pangrawit harus memahami pengertian karawitan secara umum, memahami irama lagu-lagu yang dibawakan. Dalam karawitan termasuk karawitan untuk keperluan pementasan wayang kulit purwa instrumen gamelan secara fungsional musikal dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok instrumen ricikan balungan, kelompok instrumen garap dan kelompok instrumen struktural. Di dalam memainkan alat musik gamelan terdapat tiga jenis tempo yaitu lambat, sedang dan cepat/seseg.

Pembagian gamelan menjadi laras slendro dan pelog adalah berdasarkan perbedaan nada/laras. Ciri khasnya terletak pada cengkok (tipe khusus suatu alunan nada-nada yang ada pada masing-masing gendhing). Persamaan antara keduanya antara lain dapat mengiringi satu tarian misalnya tari Golek Lambangsari. Perbedaan keduanya pada gerak lagu, irama atau ritme. Gendhing slendro sedikit agak kalem, luwes dan menarik hati, irama mengalun lembut, penuh kewibawaan dan ketenangan. Gendhing pelog gerak lagunya bergairah.

Gamelan dibunyikan atau digunakan untuk mengiringi pergelaran wayang, mengiringi tari-tarian, mengiringi upacara sekaten, upacara kenegaraan/keagamaan, mengiringi klenengan untuk hal-hal tertentu (upacara nikah, ngundhuh mantu dan lain-lain).

Pertunjukan wayang yang berjalan semalan suntuk dibagi menjadi tiga periode yaitu pathet nem (pukul 21.00 – 24.00) melambangkan masa kanak-kanak. Gamelan dan lagu dalam pathet nem ditandai dengan kayon (gunungan ditancapkan cenderung ke kiri. Ajaran dalam pathet nem merupakan ajaran yang bersumber dari lingkungan hidup lahir dan sebagian batin. Manusia diharapkan mengingat kesatuan hidup dengan manusia, alam dan Tuhan. Pathet sanga (24.00 – 03.00) ditandai dengan gunungan tegak di tengah-tengah kelir. Pathet sanga ini melambangkan manusia yang sedang belajar mencari ilmu pengetahuan (dengan segala godaannya dan cara melawannya) untuk menetapkan pilihan hidupnya. Pathet manyura (03.00 – 06.00) ditandai dengan gunungan condong ke kanan. Melambangkan manusia yang sudah berhasil mencapai tujuan setelah berhasil mengatasi berbagai hambatan. Tancep kayon (penutup pergelaran wayang) gunungan ditancapkan di tengah-tengah kelir lagi, melambangkan proses maut, jiwa meninggalkan alam fana menuju ke kehidupan abadi. Jadi pergelaran wayang tersebut merupakan lambang keberadaan manusia secara ontologis-metafisis, yaitu dari tiada menjadi ada, melaksanakan lakon maut dan kembali menjadi tiada.

Penafsiran dan analisis nama tembang (untuk macapatan) yang menggambarkan perjalanan hidup manusia dari lahir sampai mati dapat disimak melalui nama-nama tembang macapat tersebut. Mijil (miyos, metu, lahir) menggambarkan seorang bayi yang baru lahir. Manusia harus mengingat asal-usulnya. Sinom (pupus/daun muda) melambangkan seorang anak sudah mulai berkembang seperti daun yang mulai bersemi. Maskumambang (mas: perhiasan, kumambang: kelihatan) melambangkan perkembangan seorang anak sudah akil baliq terlihat berkilauan bagaikan perhiasan. Asmarada (asmara : cinta, dana: memberi) melambangkan perkembangan manusia dewasa yang sudah mengenal cinta dan saling jatuh cinta. Dhandanggula (dhandhang: hitam, gula: legi) melambangkan pahit manisnya kehidupan rumah tangga. Kinanthi (diajak, ditemani) melambangkan ajakan untuk menapaki kehidupan rumah tangga yang harmonis. Gambuh melambangkan kehidupan rumah tangga tersebut betul-betul mencapai kebahagiaan dan kemuliaan hidup di dunia. Durma (dur: mundur, mo: momor : mundur di usia senja) melambangkan seseorang yang mulai menjauhi kesenangan duniawi dengan mengendalikan hawa nafsu. Pangkur melambangkan manusia yang meninggalkan kesenangan duniawi, meninggalkan larangan agama dan senantiasa berbuat amal. Megatruh (berasal dari kata megat dan ruh) melambangkan manusia yang telah selesai melaksanakan tugas di dunia dan kembali ke alam baka. Pocung berarti mati, manusia sudah meninggal.

Dalam seni karawitan waranggana memegang peranan penting. Waranggana adalah seniwati yang melantunkan suara untuk menambah estetis seni karawitan. Dalam pergelaran wayang purwa ia membantu dalang dengan membawakan syair-syair tembang yang disesuaikan dengan jalan cerita atau lakon wayang. Waranggana juga berperan mengantarkan suasana pergelaran yang bersifat komprehensip misal suasana gembira, sedih, perang dan lain-lain. Keberhasilan pergelaran wayang merupakan kerjasama yang harmonis antara pangrawit, dalang dan waranggana.

Buku ini sangat menarik karena penulis memaparkan istilah-istilah yang berhubungan dengan karawitan dan gamelan secara rinci dan jelas tetapi singkat. Berbagai contoh golongan tembang/lagu yaitu tembang macapat, lagu lancaran, lagu ladrang, lagu ketawang, lagu gendhing ageng, lagu langgam dan cakepan lelagon dalam kesenian.

Juga membahas hal-hal “di luar” karawitan tetapi ada hubungannya seperti suluk pedalangan wayang purwa, peranan gamelan sekaten dan geguritan gagrag anyar.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta