Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Malioboro

18 May 2008 10:16:00

Perpustakaan

Judul : Malioboro
Penulis : Prof Dr Sunyoto Usman, MA (ed)
Penerbit : PT Mitra Tata Persada & Bappeda Kota Yogyakarta
Tahun : 2006 (Cetakan Pertama)
Halaman : xxi + 127

Panjang jalan Malioboro tak lebih dari dua kilometer, tapi jangan anggap enteng.

Bagi orang-orang yang berwisata ke Yogya, ada pameo, “Belum ke Yogya kalau belum ke Malioboro”. Agak mengherankan karena representasinya bukan kraton atau alun-alun. Alasannya, menurut buku ‘Malioboro’ ini, para pengunjung berangkat dari perspektif ‘souvenir’ –mungkin oleh-oleh seperti kaos, art craft dan handycraft-- dimana Malioboro merupakan pusatnya, perspektif yang lekat pada pariwisata. Kata buku ini, “Jadilah Malioboro semata menawarkan komersialisasi di kawasan wisata belanja dan menafikan nilai kosmologi yang dulu pernah ada” (h 17).

Yang dimaksud kosmologi Malioboro adalah posisinya dalam perspektif dunia kosmologi Jawa. Bentangan garis di antara Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggung Krapyak, dan Samudera Indonesia dipercaya masyarakat Jawasebagai “sumbu magis yang mencerminkan perjalanan hidup manusia dari kelahiran sampai kematian” (h 2). Fungsi Malioboro sendiri –yang terletak dalam garis itu, menjelang Kraton—merupakan “penanda garis yang menghubungkan antara fase kehidupan manusia yang telah mencapai posisi duniawi” (h 3).

Yang dipersoalkan buku ini bukan fungsi ekonomi Malioboro. Masalahnya adalah bagaimana pembangunan Malioboro tetap mempertahankan ranah politik dan adat/budaya yang juga dicakupnya, serta menjaga keharmonisan dan kenyamanan para pengguna ruang di kawasan ini. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, menurut Sunyoto Usman dan kawan-kawannya, perkembangan ranah modernisasi di Malioboro cenderung memberikan ruang bagi pertumbuhan komersialisme sehingga mengabaikan kedua ranah lainnya, adat dan politik (h 94). Perkembangan ini juga menyebabkan benturan kepentingan antara pemilik toko dengan pedagang kaki lima, dan warga kampung dengan pedagang angkringan, yang berakar pada benturan kepentingan atas fungsi ruang (h 94).

Sejarah

Jika dirunut dari sejarahnya, pada awalnya Malioboro memang dibangun perlahan sebagai pusat kegiatan ekonomi. Cikal bakalnya dari kawasan Pecinan di kawasan ini, yang muncul sejak Sultan Hamengku Buwono I mengangkat kapiten seorang Cina, Tan Jin Sing, pada tahun 1755. Nama Jawanya, Setjodingrat, dan tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah timur Kantor Pos Besar). Sejak sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah selatan dikenal sebagai pemukiman Pecinan, yang ditandai dengan rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kelontong, emas dan pakaian.

Kawasan ini kian ramai setelah Kraton membangun Pasar Gedhe (kini Pasar Beringharjo), yang beroperasi sejak 1926. Kawasan Pecinan mulai meluas ke utara, sampai ke Stasiun Tugu (dibangun pada 1887) dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini (h 6). Karena itu, secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawadan Cina (h 93).

Budaya

Cukup menarik bahwa sebenarnya Kraton (berdiri pada 1756) tidak memasukkan Malioboro sebagai simbol penting dalam tata ruang Kraton (h 24). Bahkan ketika Malioboro sisi selatan mulai berkembang, para pengunjung dari luar kota Yogya tidak khusus mendatangi Malioboro tetapi sekadar numpang lewat untuk mengunjungi Kraton atau Loji Kebon (h 8).

Tapi pada 1970-an, Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya Senisono. Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi, lalu (alm) Linus Suryadi dan Emha Ainun Najib. Daya hidup senijalanan ini akhirnya mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup (h 11).

Warisan ‘para seniman ini di Malioboro adalah ‘budaya lesehan’, yang lalu menjadi eksotisme dan merupakan daya jual kekhasan warung-warung di Malioboro.

Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Indies Hindia Belanda, Jawadan Cina di kawasan ini mungkin masih menjadi peninggalan yang berarti, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro.

Fenomena urban: PKL dan mal

Para penulis buku ini mempersoalkan tata ruang Malioboro yang cukup kompleks akibat banyak kepentingan yang bermain di dalamnya. Pada tahun 1999, misalnya, di kawasan ini terdapat 13.631 pekerja sektor formal dan 7.149 pekerja sektor informal, selain 2.965 aparat pemerintah. Jumlahnya sekarang tentu membengkak. Pelaku yang mendapatkan rezekinya di Malioboro adalah pedagang kaki lima (PKL), pengusaha toko, juru parkir, penyedia jasa keamanan, serta suplier. Di luar itu adalah para pengunjung, yakni pejalan kaki.

Penyebab utamanya, menurut mereka, antara lain adalah makin maraknya PKL dan munculnya mal. Jumlah PKL kian banyak, yang memenuhi koridor dan tepi jalan Malioboro, termasuk di ujung jalan-jalan yang diapitnya. Jarak antarpedagang yang berdekatan dan tak beraturan membuat aktivitas berbelanja tidak menjadi rekreasi yang menyenangkan (h 85). Demikian juga lorong yang sempit. Bisa dibandingkan, lebar jalur yang tidak ditempati PKL adalah 3,6 meter, sedangkan yang ditempati PKL sisa lebar jalannya tinggal 0,6 meter (h 34). Kepentingan pejalan kakilah, sebagai pengunjung, yang dikorbankan. Dari hasil survei (yang sayang tak disebutkan tahunnya), kita juga bisa melihat perbedaan persepsi pengunjung dan PKL. Pengunjung menilai suasana Malioboro sangat ramai (crowded) tetapi PKL menganggap Malioboro semakin sepi (h 98).

Para PKL ini kian memiliki posisi tawar yang kuat setelah bergabung dalam organisasi. Sedikitnya ada enam organisasi PKL di kawasan ini. Ruang publik mengalami privatisasi. PKL mendominasi trotoar dan emper toko, yang memancing respon negatif dan pemilik toko dan Pemerintah Kota (h 96). PKL berangkat dari alasan hak penghidupan, yakni kesempatan berusaha (h 101). Malah lalu ada klaim ‘hak milik’ pedagang atas tempat menggelar dagangannya. ‘Hak’ itu bahkan bisa ditransaksikan (h 69-70).

Penyebab kedua adalah munculnya mal, Mal Ramayana, dan terutama, Mal Malioboro. Pendirian kedua mal tersebut memicu pertumbuhan keramaian di Malioboro. Terjadi penumpukan lalu lintas di beberapa titik di ruas jalan Malioboro dan Ahmad Yani, terutama pada akhir pekan. Akibatnya kawasan ini kian terbebani membanjirnya para pelaku ruang. Nuansa eksotisme yang dibawa oleh nilai-nilai kosmologi Jawa hilang. Eksotisme Malioboro telah digantikan oleh modernisme (h 17). Daya tarik Mal Malioboro memang besar. Dari hasil survei, alokasi jam kunjungan terbanyak di Malioboro adalah 38% di Mal Malioboro, 32% di kaki lima, dan 30% di toko (h 47).

Akibat selanjutnya adalah ramainya baliho nama toko. Agar tidak kalah dengan mal, toko-toko di sepanjang jalan Malioboro menempel baliho-baliho di depannya, menggantikan tulisan-tulisan kecil relief di tembok depannya (h 92).

Penataan

Beban Malioboro cukup berat. Di sana terdapat kantor-kantor pemerintahan (termasuk gedung legislatif), pusat perdagangan (down town), tempat rekreasi dan pariwisata. Sementara Jalan Malioboro menjadi salah satu jalan protokol.

Di kawasan ini banyak kepentingan yang bergantung, termasuk pelaku usaha kecil dan menengah. Juga warga dan para pejalan kaki. Karena itu masalahnya memang cukup kompleks. Akibat ruang yang terbatas maka butuh penataan yang bijak namun tegas. Para penulis buku ini menyimpulkan, “pengaturan peruntukan tata ruang Malioboro menjadi semakin sulit diimplementasikan. Ruang untuk pejalan kaki, parkir, ekspresi seni, ekspresi politik, dan lalu lintas menjadi tumpang tindih” (h 13). Mereka mengusulkan perlunya pengaturan yang lebih spesifik dan rinci terutama mengenai pengaturan para pelaku usaha seperti PKL, toko dan mal. Mekanisme kontrol harus jelas, dan aparat harus tegas menindak para pelaku ruang yang melanggar ketentuan (h 122).

Nah, mungkinkah Malioboro muncul kembali sebagai ruang publik yang nyaman?

a. barata



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta