Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Seni Awang awang. Arsitektur Jawa Lama. Mustaka, Wuwungan

18 Nov 2007 10:03:00

Perpustakaan

Judul : Seni Awang-awang. Arsitektur Jawa Lama. Mustaka, Wuwungan
Penulis : Hermanu
Penerbit : Bentara Budaya, 2004, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Halaman : 36 halaman
Ringkasan isi :

Kesenian rakyat di masa lalu tumbuh subur di seluruh Nusantara, dengan ciri khas masing-masing. Kesenian antar daerah tersebut bisa saling mempengaruhi.

Seni bangunan kuno sudah ada sejak dulu antara lain arsitektur rumah-rumah tradisional dan tempat ibadat. Pada puncak-puncak atap bangunan rumah tradisional terutama pada rumah joglo dan masjid banyak dijumpai hiasan yang membuat bangunan tersebut indah dan menawan. Hiasan tersebut disebut wuwungan rumah atau mustaka masjid. Ada banyak jenis dan macamnya tetapi bahannya terbuat dari terakota atau gerabah dan seng. Wuwungan terakota dapat dijumpai di daerah Wonosobo, Temanggung, Magelang, Kulonprogo, Sleman, Bantul, Boyolali, Grobogan, Demak, Kudus dan Pati. Wuwungan dari logam seng dapat dijumpai di daerah Kroya, Cilacap, Gombong, Kebumen, Purwarejo, Kulonprogo, Bantul, Sleman, Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan. Wuwungan tampak sangat indah bila dipasang pada atap rumah, berbeda bila hanya diletakkan begitu saja. Unsur langit sebagai latar belakang sangat menentukan keindahan tersebut. Maka penulis menyebut seni wuwungan dengan seni awang-awang, awang-awang (bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia disebut langit.

Mustaka (bahasa Jawa halus) dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan kepala. Mustaka yang dimaksud di sini adalah mustaka masjid, yang artinya bagian kepala bangunan masjid. Mustaka masjid bentuknya bermacam-macam tetapi kebanyakan berbentuk bulat meruncing ke atas atau persegi di bawah kemudian meruncing ke atas, pada puncaknya ada gambaran bulan sabit. Bentuk ini sebenarnya bentuk baru, karena sebelumnya mustaka-mustaka masjid di Jawa mencontoh bentuk mustaka Masjid Demak pada masa dulu. Mustaka Masjid Agung Yogyakarta merupakan duplikat Masjid Agung Demak, artinya bentuk mustakanya meniru Masjid Demak. Mustaka ini terbuat dari tembaga bercat hijau tua, di bagian bawah mustaka keliling berbentuk daun-daunan dan bunga-bungaan, di atasnya ada arah petunjuk mata angin atau petunjuk kiblat berbentuk segitiga , di bagian tengah dibuat semacam silinder seperti bentuk tongkat agak mengecil pada bagian bawah dan di atasnya ada tutupnya seperti payung yang baru mekar, di atasnya lagi ada dua bulatan kecil sebagai puncaknya. Bentuk-bentuk seperti ini dapat dijumpai hampir di semua masjid agung dari Banten, Purworejo, Wates, Yogyakarta, Magelang dan Wonosari dengan variasinya masing-masing. Pada masjid-masjid kecil (bangunan masa dulu) di desa-desa ada yang memasang mustaka seperti itu tetapi bahannya dari gerabah atau terakota. Saat sekarang mustaka ini tergeser oleh mustaka berbahan aluminium atau stainles steel yang lebih berbinar bila terkena sinar. Mustaka terakota ini menstilir tumbuh-tumbuhan menjadi simbol ukiran bersusun dua atau tiga.

Wuwungan berasal dari kata wuwung yaitu bagian atas dari atap rumah. Wuwungan berbahan terakota berbentuk segitiga datar tinggi sekitar 30 cm, lebar 30 cm. Wuwungan seng lebar 30 cm panjang sesuai panjang atap rumah. Wuwungan tiap-tiap daerah mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Daerah tersebut misalnya:

  1. Pajangan, Bantul. Kebanyakan berbentuk seekor naga yang distilir sehingga menjadi sebuah naga yang naif, dengan figur perempuan menunggang naga tersebut. Dipasang pada kanan dan kiri atap mengapit wuwungan berbentuk gunungan wayang kulit. Tingginya bisa sampai 30 cm, lebar 30 cm berbentuk tiga dimensi.

  2. Kulonprogo. Hiasan yang terdapat di atasnya biasanya berbentuk pipih (tidak tiga dimensi). Ada tiga jenis yaitu hiasan berbentuk naga (biasanya memakai mahkota dan di belakangnya ada stilisasi sayang terbang biasa disebut badong), berbentuk burung (ada dua burung merpati dan burung Garuda Jawa atau Manukberi, serta garuda Pancasila) atau ayam, yang ketiga merupakan wuwungan bagian tengah berbentuk seperti gunungan wayang.

  3. Sleman. Memiliki kemiripan dengan wuwungan dari Kulonprogo, hanya bentuk gunungan lebih sederhana sehingga tinggal menjadi semacam ornamen namun bentuk burung pada bagian puncak masih kelihatan.

  4. Boyolali. Berbentuk binatang dan manusia. Ciri khasnya dibuat utuh bisa dilepas atau berpasangan. Yang bisa dilepas biasanya berbentuk patung monyet, anjing, ayam, harimau dan burung merpati. Yang terusan berbentuk ukel gelung wayang, naga. Wilayah penyebarannya sampai di Srumbung, Magelang, Selo, Salatiga, tepatnya sekitar lereng Merapi dan Merbabu.

  5. Mayong, Jepara. Berbentuk ukel-ukelan yang merupakan stilisasi daun dan bunga, ditempeli pecahan piring porselin untuk pernik-perniknya. Menyebar sampai daerah Demak, Kudus, Jepara dan Grobogan.

  6. Pati. Kebanyakan berbentuk burung dan ayam, juga ditempeli pecahan porselin. Dibuat terusan dengan ukuran cukup besar dan berat.

  7. Kebumen. Berbentuk gunungan diapit badong dipasang di tengah-tengah atap.

  8. Kepuhsari, Manyaran, Wonogiri. Berbentuk figur wayang seperti Semar, Kresna, Pandhawa dan gunungan, berbentuk binatang seperti banteng dan kerbau. Bentuk dan ukuran wayang kebanyakan sesuai ukuran wayang kulit karena untuk malnya mencontoh ukuran wayang kulit.

  9. Tepus, Gunungkidul. Berbentuk mahkota diapit dua binatang misal singa, naga atau burung. Model mahkotanya seperti kronpis, logo KB dan tabanas. Berbentuk tiga dimensi dengan ketebalan tertentu.

Buku ini menjadi lebih menarik karena disertai berbagai gambar wuwungan dari daerah yang bersangkutan.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta