Judul : Kongres Perempuan Pertama. Tinjauan Ulang
Penulis : Susan Blackburn
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia + KITLV, 2007, Jakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : Xli + 2007
Ringkasan isi :

Kongres Perempuan tahun 1928 merupakan tonggak sejarah bagi pergerakan perempuan Indonesia. Sekitar 1.000 orang menghadiri resepsi pembukaan yang diadakan pada tanggal 22 Desember 1928. Walaupun merupakan kongres perempuan, ada tamu dari beberapa organisasi yang dipimpin oleh kaum laki-laki, seperti Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi dari PNI, Dr. Soekiman daro PSI, A.D. Haani dari Walfadjri. Pada kongres tersebut disepakati bahwa 22 Desember dijadikan Hari Ibu, yang mulai tahun 1950 dijadikan Hari Besar Nasional. Di samping resepsi ada tiga pertemuan terbuka berikutnya selama berlangsungnya kongres yang dihadiri 750 sampai 1.000 orang.

Dalam kongres tersebut ada 15 pembicara dan ternyata hampir semuanya berasal dari organisasi yang berbeda, seperti : Wanita Oetama, Poetri Indonesia, Aisjijah, Poetri Boedi Sejati, Wanito Sedjati, Darmo Laksmi, Roekoen Wanodijo, Jong Java, Wanita Moelyo dan Wanita Taman Siswa. Dari organisasi yang terlibat terlihat bahwa semangat berorganisasi kaum perempuan di masa itu sudah sangat tinggi. Keanekaragaman organisasi yang dalam kongres mengirim wakilnya memperlihatkan betapa beraninya gerakan perempuan pada masa itu. Walaupun kalau dilihat dari profil pembicara dan peserta masih bersifat Jawa sentris, karena dari 23 organisasi yang hadir kebanyakan dari Jawa dan hanya seorang pembicara yang datang dari Sumatera. Kebanyakan adalah perempuan muda tergolong menengah ke atas dan pernah menikmati pendidikan modern. Sejumlah organisasi di Sumatera mengirimkan telegram berisi dukungan. Kelihatannya para tokoh perempuan di luar Jawa diundang, namun tidak datang karena berbagai hal. Organisasi yang terlibat sebagian besar pada masa itu sudah mapan dan terkenal, dengan landasan gerakan agama mau pun non agama.

Menurut Ibu Soejatien (salah satu penggagas kongres ), gagasan penyelenggaraan datang dari kelompok guru-guru perempuan generasi muda, yang sebelumnya adalah anggota Jong Java, namun kemudian mendirikan cabang Poetri Indonesia di Yogyakarta. Hal ini menjadi jelas mengapa kongres perempuan pertama tersebut diselenggarakan di Yogyakarta, karena ketiganya tinggal di Yogyakarta. Kongres diadakan di sebuah pendopo milik seorang bangsawan bernama R.T. Joyodipoero, salah seorang pegawai sultan. Sebagai ketua R.A. Soekonto, wakilnya Nyi Hadjar Dewantara, sedangkan Soejatien sebagai sekretaris. Ketiganya mempunyai hubungan dengan beberapa tokoh gerakan nasional, yang dengan jelas mempengaruhi pola pikir ketiga perempuan tersebut.

Pers saat itu memberikan peliputan yang simpatik, bahkan ada yang menulis materinya secara luas. Surat kabar lokal Jawa, Sedijo Tomo, menyatakan kagum terhadap hasil kongres dan menilai bahwa diskusi yang berlangsung bermutu tinggi, tetapi juga mengingatkan agar gerakan perempuan yang jelas terpengaruh Barat jangan sampai kehilangan ciri-ciri Timurnya.

Ch. O. van der Plas, pejabat kolonial penasehat Urusan Pribumi bahkan sampai menugaskan istri pegawai negeri bawahannya, Patih Datoek Toemenggoeng, untuk hadir dengan catatan memberikan laporan lengkap. Wanita tersebut adalah Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, asal Minang, Sumatera yang juga seorang pemimpin gerakan perempuan. Ia melaporkan bahwa sekitar 600 perempuan hadir dalam pertemuan tersebut, mewakili generasi tua dan muda, berpendidikan dan tak berpendidikan. Ia juga melaporkan bahwa dalam kongres tersebut tidak ada istri pejabat, tamu atau wartawan Eropa, padahal pers Indonesia diwakili dengan baik. Organisasi perempuan dari Sunda juga tidak ada yang diundang. Ketika ditanyakan, mendapat jawaban bahwa panitya penyelenggara tidak atau belum mengenal adanya organisasi perempuan Sunda.

Walau kongres tersebut merupakan “acara orang Jawa”, namun para pesertanya memandang diri mereka sebagai orang Indonesia. Mereka berbicara bahasa Melayu, yang sejak Sumpah Pemuda menjadi dasar bahasa nasional dan telah dinyatakan sebagai salah satu unsur persatuan nasional.

Kebanyakan dari pembicara menekankan pentingya pendidikan modern bagi perempuan muda. Masalah yang diangkat dalam kongres antara lain poligami, dominasi laki-laki atas perempuan, diskriminasi terhadap perempuan, perkawinan usia anak-anak. Suatu masalah yang sampai saat ini bahkan masih terjadi dan selalu menjadi perdebatan. Kongres mendapatkan kesepakatan penuh tentang beberapa kepentingan perempuan dan perlunya untuk memajukan walaupun terdapat perbedaan sifat, umur , pendidikan dan pangkat.

Sebagian besar organisasi yang terlibat dalam kongres tersebut dengan jelas menginginkan dibentuknya suatu persekutuan yang berkelanjutan yang dapat menyatukan perkumpulan-perkumpulan perempuan Indonesia dan ini merupakan tujuan utama kongres. Kongres pada akhirnya memutuskan untuk membentuk badan permoefakatan, yang diberi nama Perikatan Perempoean Indonesia (PPI), sebagai wadah organisasi perempuan tersebut. Organisasi yang tidak ikut langsung bergabung adalah Boedi Rini, Sarekat Islam Bagian Istri, Santjaja Rini, Wanito Moeljo, Jong Java dan Natdatoel Fataat. Mereka memandang perlu untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan ketuanya.

Pada akhir kongres, sebuah anggaran dasar dan rencana aksi PPI telah tersusun dan disetujui. Anggaran dasar itu menyatakan bahwa PPI “bermaksud menjadi badan penghubung” bagi semua perkumpulan perempuan Indonesia, dan bertujuan memperbaiki nasib dan status perempuan Indonesia tanpa referensi terhadap sesuatu agama atau keyakinan politik tertentu. Anggota PPI terdiri dari organisasi-organiasi yang memiliki anggaran dasar biasa dan para anggotanya adalah perempuan-perempuan Indonesia asli. PPI akan membentuk suatu wadah dana beasiswa untuk pendidikan gadis-gadis miskin, memajukan gerakan pandu putri, propaganda melawan perkawinan anak-anak, dan meminta pegawai negeri untuk membantu mendidik masyarakat mengenai hal ini.

Agar pembaca dapat “membayangkan” suasana sekitar tahun 1928 dalam buku ini dicantumkan naskah pidato kongres perempuan tersebut seperti pada aslinya, bahkan termasuk kesalahan penulisan. Dan untuk lebih memudahkan memahami naskah tersebut kemudian ditulis sesuai ejaan saat ini, tetapi gaya bahasanya tidak diubah.

Teks : Kusalamani.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta