Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»KEMATIAN DALAM PANDANGAN HIDUP ORANG JAWA

18 Feb 2005 08:18:00

Perpustakaan

Judul Buku : Menemui Ajal: Etnografi Jawa tentang Kematian
Pengarang : Y.Tri Subagya
Penerbit : Kepel, Yogyakarta
Tahun Terbit : Januari, 2005
Tebal Buku : 200 halaman

KEMATIAN DALAM PANDANGAN HIDUP ORANG JAWA

Kematian di dalam kebudyaan apa pun hampir selalu disikapi dengan ritualisasi. Entah apa pun wujud ritualisasi itu. Ada berbagai alasan mengapa kematian disikapi dengan ritualisasi. Dalam berbagai kebudayaan kematian juga dianggap bukan sebagai bentuk akhir atau titik lenyap dari kehidupan. Peristiwa kematian juga ditangkap dengan sudut pandang dan pengertian yang berbeda-beda oleh setiap orang. Baik dengan ketakutan, kecemasan, pasrah atau keikhlasan.

Orang Jawa memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang mati. Mereka (orang yang mati) diangkat lebih tinggi dibandingkan dengan orang-orang yang masih hidup. Segala status yang disandang semas hidup ditelanjangi digantikan dengan citra kehidupan luhur. Dalam hal ini makna kematian di kalangan orang Jawa mengacu pada pengertian kembali ke asa mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Dalam batu nisan selalu diterakan kata kyai dan nyai. Sebuah kata yang mengacu pada pengertian ‘lebih’ dari pada yang bukan kyai atau nyai. Sebutan ini dikenakan kepada semua yang telah mati tidak memandang usia si mati, juga tidak memandang kedudukan atau status sosial yang pernah disandang semasa si mati masih hidup di dunia.

Kematian dalam kebudayaaj Jawa (juga dalam kebudayaan lain) hampir selalu disikapi bukan sesuatu yang selesai. Titik. Kematian selalu meninggalkan ritualisasi yang diselenggarakan oleh yang ditinggal mati. Setelah orang mati, maka ada penguburan yang disertai doa-doa, sesajian, selamatan, pembagian waris, pelunasan hutang, dan seterusnya. Oleh karena penyebab kematian, maka pengertian mati juga diberi istilah yang berbeda-beda. Ada mati wajar, mati sial, mati konyol, dan sebagainya. Masing-masing pengertian mati ini selalu berkaitan erat dengan konstruksi sosial dari masyarakat yang melingkupinya.

Dalam masyarakat Jawa kematian juga melahirkan apa yang disebut ziarah atau tilik kubur. Hal ini semakin menegaskan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Ikatan antara si mati dan yang hidup dipertautkan kembali lewat aktivitas ziarah kubur. Tradisi ini secara tersirat juga menimbulkan sebuah pengharapan bagi yang masih hidup bahwa yangtelah mati, yang telah berada di dunia sana dapat menyalurkan berkah dan pangestu kepada yang masih hidup. Hal ini dipandang dapat menjadi salah satu faktor keberhasilan bagi kehidupan orang yang telah ditinggalkan si mati. Baik keberhasilan material maupun spiritual.

Kematian adalah sebuah misteri yang tidak dapat diungkapkan dan tidak terelakkan. Fenomena ini hanya bisa dibicarakan dalam skala iman atau kepercayaan. Masyarakat Jawa dalam pengertian ini dapat dilihat juga mempercayai adanya dunia lain sesudah mati.

Sartono K.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta