Tembi

Yogyakarta-yogyamu»SELINTAS TENTANG JURUKUNCI DI YOGYAKARTA

01 Jan 2008 08:20:00

Yogyamu

SELINTAS TENTANG JURUKUNCI DI YOGYAKARTA

Dalam masyarakat Jawa tidak terkecuali di Yogyakarta petilasan atau tempat yang menjadi objek peziarahan masih dapat ditemukan di berbagai tempat. Hampir semua tempat peziarahan tersebut dijaga oleh satu atau lebih jurukunci. Dalam naungan keraton golongan jurukunci ini dibagi dalam beberapa kategori, di antaranya yang berpangkat jajar dan magang. Bagi yang berpangkat jajar kedudukan mereka sudah diresmikan sebagai jurukunci. Sedangkan bagi yang masih magang biasanya bertugas membantu segala pekerjaan jurukunci. Tempat-tempat peziarahan yang berada dalam perlindungan Keraton Kasultanan Yogyakarta biasanya memiliki jurukunci-jurukunci yang bergelar Surakso, misalnya Surakso Tirto, Surakso Puspita, dan seterusnya. Sedang bagi seseorang yang masih tergolong magang, maka orang tersebut belum beroleh nama gelaran surakso. Bagi jurukunci di bawah naungan keraton ini diwajibkan untuk sowan ke keraton dalam waktu-waktu tertentu. Mereka juga mendapatkan gaji dan jatah beras dari keraton.

Lain pula halnya dengan jurukunci-jurukunci yang berada di luar sistem administrasi atau naungan Keraton Yogyakarta, maka para jurukunci itu tidak mendapatkan nama gelaran dari keraton. Masing-masing nama mereka biasanya sesuai dengan nama asli atau nama di dalam KTP.

Apabila dicermati, maka akan tampak bahwa tempat-tempat ziarah yang berada di bawah naungan keraton tersebut terlihat lebih terawat dan bersih. Sedangkan tempat-tempat ziarah yang berada di luar naungan keraton biasanya kelihatan relatif lebih kotor dan kurang terawat.

Berdasarkan tata cara peziarahan, objek-objek peziarahan di bawah naungan keraton biasanya juga memiliki sistem birokrasi yang lebih rumit daripada objek peziarahan yang lain. Objek peziarahan di bawah naungan keraton biasanya buka resmi pada hari-hari tertentu. Orang yang datang ke tempat itu pun disarankan untuk mengikuti aturan yang diterapkan di tempat tersebut, misalnya harus berpakaian adat Jawa lengkap, membawa kembang telon, minyak wangi, kemenyan, dan sebagainya. Sedangkan tempat peziarahan di luar naungan keraton biasanya lebih longgar sifat birokrasinya.

Ada satu hal yang patut dicatat dari kehidupan para jurukunci tersebut. Mereka biasanya mendapatkan tugas tersebut secara turun-temurun. Sekalipun demikian, ada pula beberapa jurukunci yang mendapatkan jabatannya karena pelimpahan tugas atau bahkan oleh karena wangsit.

Sejauh pengamatan Tembi di lapangan, hampir semua jurukunci memangku jabatannya dengan tulus ikhlas. Hampir semua jurukunci tidak pernah mengeluhkan tugas-tugasnya sekalipun mereka hanya mendapatkan gaji dari keraton dalam jumlah rupiah yang tidak besar (untuk jurukunci di bawah naungan keraton). Bagi mereka tugas tersebut lebih ditanggapi sebagai panggilan atau bagian dari perjalanan nasib yang harus dijalani dengan legawa atau senang hati. Jabatan atau tugas mereka ditanggapi sebagai apa yang memang sudah sepantas dan seharusnya.

Sedangkan bagi jurukunci di luar naungan keraton, mereka menjalankan tugasnya dengan senang hati karena menurut mereka pekerjaan itu menenteramkan hati mereka. Imbalan yang berupa uang tips atau dalam istilah Jawanya wajib,bagi mereka bukan merupakan tujuan utama mereka. Demikian menurut pengakuan mayoritas jurukunci. Mereka lebih mengharapkan sawab ‘semacam berkah’ dari leluhur yang dimakamkan di tempat tersebut atau bahkan dari yang mbaureksa tempat tersebut.

Secara langsung maupun tidak keberadaan para jurukunci ini sebetulnya telah menjadi semacam penjaga bagi kelestarian suatu tempat peziarahan atau situs yang dalam kadar tertentu sebetulnya merupakan bagian yang sangat penting dari peninggalan sejarah masa lalu.

Berikut ini ditampilkan beberpa wajah para jurukunci yang pernah ditemui Tembi.

Foto: Sartono K & Didit PD
Teks: Sartono K




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta