Judul : Paribasan. Katerangake sacara dongeng
Penulis : Raden Mas Arjasoetirta
Penerbit : Landsdrukkerij, 1928, Weltevreden
Bahasa : Jawa, dengan huruf Jawa cetak
Jumlah halaman : 105
Ringkasan isi :

Paribasan. Katerangake sacara dongengPeribahasa untuk menggambarkan atau untuk mengungkapkan keadaan seseorang adalah merupakan salah satu kekayaan kebudayaan di Indonesia, salah satunya terdapat pada masyarakat Jawa. Banyak sekali peribahasa atau dalam bahasa Jawa paribasan yang ada pada masayarakat Jawa, tetapi pada buku ini hanya ditulis sebanyak lima puluh buah.

Peribahasa dalam buku ini tidak diterangkan secara langsung apa makna atau artinya, tetapi melalui cerita. Cerita tersebut kebanyakan merupakan peristiwa yang mungkin terjadi di sekitar kita. Bila dicermati cerita-cerita tersebut merupakan suatu nasehat agar dalam kehidupan ini seseorang harus berhati-hati baik dalam berkata, bertindak atau bertingkah laku. Banyak contoh perkataan dan tingkah laku yang kurang baik, akhirnya membawa kerugian tidak hanya pada diri sendiri tetapi juga orang lain.

Misalnya cerita tentang orang yang suka mengisap candu dan minum minuman keras. Pada mulanya ia melakukan hanya untuk sekedar coba-coba, tetapi dari coba-coba ini akhirnya menjadi ketagihan dan semua harta bendanya habis bahkan sampai korupsi dan menipu orang lain untuk menurutinya. Tidak hanya dirinya sendiri yang rusak tetapi anak-anaknya ikut menanggung akibatnya. Hal ini digambarkan melalui peribahasa antara lain maling sandi (mencuri secara tersembunyi/korupsi), rupak jagade (dunianya menjadi sempit), tidak bisa berbuat apa-apa. Demikian juga dengan orang yang suka dan ketagihan main judi. Harta bendanya habis, bahkan ditipu secara halus dengan diberi pinjaman uang ia tidak sadar, karena yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana cara mendapatkan uang untuk berjudi. Asal ada uang pasti mempunyai keinginan untuk berjudi. Hal ini sesuai dengan gambaran peribahasa iwak kalebu ing wuwu (ikan masuk dalam perangkap, wuwu = salah satu alat untuk menangkap ikan), katula-tula katali (terlunta-lunta sengsara sekali).

Gambaran tentang seseorang yang bersusah payah mencari saudaranya tetapi tidak ketemu terdapat dalam peribahasa kepaten obor (lenteranya mati). Lentera yang mati tentu saja membuat sekitar gelap gulita, seperti gambaran saudara yang tidak diketahui keberadaannya. Bila mempunyai tanggung jawab (misal menjaga keamanan) harus dilaksanakan benar-benar jangan sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Hal ini seperti dalam peribahasa aja ninggal bocah ana ing waton (jangan meninggalkan anak kecil di pinggiran tempat tidur), karena bisa saja si anak jatuh dan akibatnya kurang baik. Dalam bertindak kehati-hatian dan perhitungan harus mendapat perhatian agar apa yang dilakukan tidak sia-sia. Seperti diumpamakan nututi layangan pedhot (mengejar layang-layang yang putus), karena kita tidak tahu layang-layang tadi akan jatuh di mana. Atau dapat juga diumpamakan dengan nguyahi banyu segara (memberi garam pada lautan), adalah pekerjaan sia-sia karena laut itu sudah asin. Sopan santun juga perlu dipelajari agar tidak mendapat malu atau membuat rugi orang lain. Misal seperti perumpaan car cor kaya kurang janganan (asal menambah seperti selalu kurang sayuran), adalah gambaran orang yang seenaknya sendiri misal dalam berbicara sehingga orang lain dapat tersinggung.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta