Judul : Pada Suatu Saat di Banjar Sangging
Penulis : Umar Kayam
Penerbit : Galang Press, 2002, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : 84
Ringkasan isi :

Pada Suatu Saat di Banjar SanggingBanjar Sangging adalah bagian dari Desa Kamasan, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung yang diperkirakan sejak jaman Kerajaan Klungkung abad ke 17 telah menjadi pusat pelukis gaya tradisional Kamasan. Seni lukis tradisional Kamasan ini tetap bertahan sampai saat ini (tentu saja dengan penyesuaian) karena adanya regenerasi yang cukup baik. Ciri lukisan tradisional Kamasan adalah, pada bagian kepala (mulut, mata dan hidung) dapat dilukis menghadap ke depan, sehingga dapat kelihatan penuh. Berbeda dengan wayang kulit yang hanya kelihatan sebelah atau sesisi. Dalam proses pembuatannya juga secara tradisional dengan sebagian besar memakai bahan-bahan cat yang diramu sendiri oleh pelukisnya dari daun-daunan dan batu-batuan.

Pada jaman kejayaan kerajaan Klungkung raja dan aristokrasi kerajaan beserta pendeta adalah pemesan dan pelindung dari lukisan-lukisan tersebut. Lukisan gaya Kamasan tersebut tidak hanya sekedar hiasan tetapi juga untuk pendidikan tentang berbagai konsep baik dan buruk. Pada waktu Belanda berkuasa dan juga karena terbukanya dunia pariwisata lukisan Kamasan mulai sering dipesan oleh orang luar. Lukisan tersebut ada yang dipajang sebagai hiasan untuk dinikmati keindahannya saja dan bukan lagi sebagai lukisan yang mempunyai makna khusus. Akhirnya lukisan Kamasan menjadi suatu komoditas perdagangan dalam arti yang sesungguhnya.

Pengrajin dan pelukis Banjar Sangging mungkin tidak mewakili apa yang sering dinyatakan oleh pengamat Barat tentang seniman Bali sebagai “petani yang penari atau pemahat atau penabuh gamelan”. Maksudnya karya seni tidak dikerjakan sebagai suatu profesi yang utuh, melainkan sebagai bagian yang utuh dari tugasnya sebagai warga suatu desa pertanian. Tetapi di Banjar Sanggar, pengrajin dan pelukis nampak mengerjakan pekerjaan tersebut secara penuh/full time. Mungkin hal ini disebabkan sebagai masyarakat sudra mereka tidak memiliki tanah-tanah persawahan atau kalau memiliki hanya sedikit, maka sebagai pengrajin dan pelukislah yang mereka tekuni. Atau mungkin karena banjar tersebut telah memiliki tradisi “pertukangan”, semacam masyarakat “tukang” atau “pangrajin” sejak dulu turun-temurun.

Di Kamasan apa yang disebut pelukis tidak hanya yang menggambar atau mengecat hingga selesai berwujud lukisan, melainkan semua yang terlibat dalam proses sejak awal. Yaitu dari pemilihan dan penyiapan kain, mengatur komposisi, menyeket, memberi warna, dan finishing atau tahap akhir. Dalam hal ini orangnya bisa berbeda, sesuai dengan keahlian masing-masing. Sehingga sebuah lukisan dapat selesai karena adanya kerja sama. Memang ada yang dapat mengerjakan semuanya dengan tingkat kualitas yang sama tingginya (tetapi sangat jarang), misal Nyoman Mandra. Tingkat keahlian dan ketelitian yang dimiliki seseorang sangat mempengaruhi kualitas lukisan. Hal ini nantinya sangat berpengaruh pada “harga” sebuah lukisan.

Tema lukisan yang dipilih dalam lukisan gaya Kamasan nampak berkisar pada tema-tema pokok. Yakni Mahabharata, Ramayana, Suthasoma, Panji, dan beberapa cerita rakyat Bali seperti kisah Brayut. Walaupun begitu tiap pelukis mempunyai tema favorit tertentu. Pemilihan tema biasanya berkaitan dengan ketrampilan teknis, selera pasar dan juga idealisme pelukis, terutama pelukis-pelukis yang sudah matang. Ideologi di sini diartikan sebagai suatu konsep yang dipahami sebagai suatu sistem berpikir tentang suatu hal.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta