Sawitri (4) Benarkah Kematian Dapat Ditunda

18 Dec 2015

Yamadipati tidak sampai hati menolak permohonan Sawitri agar Setyawan dihidupkan. Hyang Yamadipati mengembalikan nyawa Setyawan agar Sawitri hidup bahagia bersamanya, panjang umur untuk menjalani tugas melangsungkan keturunan.

Hari yang mendebarkan dan sekaligus menakutkan pun tiba, yaitu tepat setahun usia perkawinan Setiawan dan Sawitri. Pagi itu Sawitri sengaja memperlambat bangun, takut menemui matahari yang sinarnya mulai menghangat. Seperti yang diramalkan para nujum istana bahwa ‘wanci bedug tengange’ tepat di tengah hari Setiawan akan mati.

Jika Sawitri sangat takut menghadapi datangnya saat kematian suaminya, tidak demikian dengan Setiawan. Ia tetap melakukan apa yang ia lakukan pada setiap harinya. Tanpa rasa cemas dan takut Setiawan berpamitan akan mencari kayu di hutan. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, Setiawan dibiarkan pergi mencari kayu di hutan sendirian, hari itu Sawitri tidak tega melepas dia sendirian. Ia ingin menemaninya pergi memasuki hutan.

Waktu pun seakan-akan memperlambat jalannya. Setelah mengumpulkan kayu dalam jumlah besar, Setiawan kehabisan tenaga. Badannya terasa lemas tak berdaya. Untunglah Sawitri berada di sampingnya, sehingga tubuh Setiawan yang terkulai lemas tidak jatuh di tanah. Ia dibaringkan di pangkuan Sawitri.

Siang itu, waktunya sudah sampai. Dibarengi dengan suara gemuruh tiupan angin yang tidak seperti biasa, Sang Hyang Yamadipati, dewa pencabut nyawa, pun datang. Ia berpakaian serba merah, wajahnya merah menyeramkan dan kulitnya pun merah. Ia membawa gulungan dadung, sejenis tali berukuran besar. Dadung tersebut digunakan untuk mencabut nyawa seseorang yang sudah tiba ajalnya.

Hyang Yamadipati melangkah mendekati Setiawan sembari memutar-mutar dadungnya. Setelah jaraknya tinggal empat langkah ujung dadung tersebut mematuk ubun-ubun Setiawan. Dalam sekejab nyawa Setiawan sudah berada di tangan Sang Hyang Yama. Sawitri melihat dan merasakan bahwa Setiawan telah mati. Tubuh dipangkuannya menjadi semakin dingin. Sawitri mencoba menenangkan diri.

Dengan sangat hati-hati ia membaringkan tubuh Setiawan di tanah, kemudian bersimpuh dan menyembah Hyang Yama. Mata Sawitri memandang tanpa takut, seperti dirinya yang tidak pernah takut pada kematian. Hyang Yama pun menatap tajam, sebelum kemudian berbalik meninggalkan tempat itu. Sawitri tidak mau kehilangan langkah, ia segera mengikuti Hyang Yama. Mengetahui bahwa dirinya dibuntuti, maka berhentilah dia dan membalikkan badannya. Dipandanginya Sawitri yang segera berlutut menyembahnya.

“Mengapa engkau mengikuti aku?” tanya Hyang Yama kepada Sawitri. 
“Ampun Hyang Yama, hamba mengikuti nyawa Setiawan.” 
“Ia sudah berbadan roh, tidak dapat lagi bersatu denganmu.” 
“Jika demikian rohku akan ku berikan, supaya kami dapat bersatu kembali dengannya.” 
“Hal itu tidak dapat dilakukan selagi engkau masih hidup, kecuali jika engkau sudah mati.” 
“Ampun Hyang Yama, aku rela mati agar dapat bersatu kembali dengan suamiku.” 
“Kematianmu belum tiba, ada saatnya.” 
“Hyang Yama, aku percaya selain bertugas sebagai dewa pencabut nyawa, ‘pukulun’ juga berkuasa menentukan saatnya. Untuk itu aku mohon saat ini juga cabutlah nyawaku dan satukanlah dengan nyawa Setiawan.” 
“Sawitri engkau masih mempunyai tugas di dunia ini, untuk itu engkau tidak boleh mati sekarang.” 
“Tetapi tanpa kakang Setiawan, tugas itu tidak dapat aku selesaikan.” 
“Engkau pasti dapat merampungkan tugas itu Sawitri, aku akan membantumu.” 
“Benarkah Hyang Yama?” 
“Sebutkan Sawitri, tugas apa yang tidak dapat kau rampungkan tanpa Setiawan?” 
“Hamba mempunyai tugas merawat dan mengobati mertuaku dari kebutaan, serta mengembalikan kerajaannya.” 
“Baiklah Sawitri, saat ini juga Begawan Jumatsena mertuamu sudah dapat melihat dan berkuasa kembali di negaranya.” Sawitri percaya penuh, pada sabda Hyang Yama. 
“Sekarang sebutkan satu tugas lagi yang tidak dapat kau lakukan tanpa Setiawan, aku akan mewujudkannya.” 
“Terima kasih Hyang Yama. Sebagai seorang wanita yang sudah menikah aku mempunyai tugas untuk melahirkan anak.” 
“Ha ha ha, itu perkara mudah Sawitri, pada saatnya nanti engkau akan melahirkan keturunan.” “Sungguhkah itu Hyang Yama?” 
“Tidak percayakah engkau wahai Sawitri?” 
“Hamba percaya Pukulun. Tetapi bagaimana hamba bisa melahirkan keturunan jika Kakang Setiawan suamiku telah mati?”

Sang Hyang Yamadipati terkesiap. Wajahnya pucat. Warna merah pada mukanya memudar. Ia tersadar, tidaklah mungkin Sawitri mempunyai anak tanpa kehadiran Setiawan. Tetapi dengan cekatan ia pun kemudian berkata;

“Sawitri, Sawitri, bukankah engkau dapat bersuami lagi sebagai pengganti Setiawan?”

Sawitri terpukul hatinya, ia menangis merebahkan diri di kaki Hyang Yama. Mengapa Hyang Yama menganggap remeh masalah ganti mengganti suami. Padahal baginya barang siapa yang telah dipersatukan sebagai suami istri, seperti halnya Lingga dan Yoni tidak dapat dipisahkan, akan bersatu selamanya dan abadi.

“Dhuh Sang Hyang Yama, dewa kematian yang berkuasa, jika nyawa Setiawan tidak dikembalikan, cabutlah nyawaku sekarang juga. Tidaklah mungkin aku mencari suami baru untuk memenuhi tugasku melahirkan keturunan. Aku telah berjanji setia kepada Kakang Setiawan dalam sakit dan sehat, dalam untung dan malang, dan dalam hidup atau pun mati.”

Hyang Yamadipati menunduk, memandangi Sawitri yang sedang meremas-remas jubahnya dengan jari-jarinya yang lentik. Dalam hati Hyang Yama berkata masih adakah wanita di dunia ini yang mempunyai kesetiaan seperti Sawitri?

Pikiran Hyang Yamadipati menerawang jauh. Ia membandingkan Sawitri dengan Dewi Mumpuni istrinya. Seandainya saja Dewi Mumpuni mempunyai cinta dan kesetiaan seperti halnya Sawitri, ooo betapa bahagianya hidup ini. Dulu ketika masih mempunyai istri, di sela-sela tugasnya sebagai dewa pencabut nyawa dan dewa penunggu neraka, Yamadipati selalu meluangkan waktu untuk pulang, karena rasa rindunya kepada Dewi Mumpuni. Tetapi saat ini setelah Dewi Mumpuni meninggalkannya, Yamadipati jarang sekali pulang di kahyangan Hargadumilah.

Alasan mengapa Dewi Mumpuni meninggalkan Yamadipati, karena dirinya tidak mencintainya. Perkawinanya dengan Yamadipati dapat terjadi karena takut kepada Batara Guru yang telah menjodohkan dirinya. Setelah hidup berumah tangga, Dewi Mumpuni mencoba untuk mencintai Yamadipati, namun perasaan cinta itu tidak pernah bersemi. Karena sebelumnya ia telah saling jatuh cinta dengan Bambang Nagatatmala putra Sang Hyang Antaboga, Dewa Penguasa bumi.

Mendengar pengakuan istrinya yang berterus terang, Yamadipati tidak marah. Walaupun ia berwajah menakutkan, ada kebesaran jiwa di hatinya. Demi kebahagiaan istrinya ia merelakan Dewi Mumpuni diperistri oleh Bambang Nagatatmala.

Sejak peristiwa itu hatinya hancur, gairah hidupnya pudar. cinta pertamanya telah kandas dan berakhir. Yamadipati jarang sekali pulang di kahyangan Hargadumilah yang telah kosong. Ia suntuk menjalani tugasnya. Kini di hadapannya ada Sawitri, bukan Mumpuni. Dirinya sungguh terpana dengan istri Setyawan ini. Rasa terpana Yamadipati tidak hanya karena kecantikan Sawitri, tetapi terlebih karena kesetiaannya yang tanpa batas.

Yamadipati meneteskan air mata, ia dahaga akan kasih seorang wanita yang cantik penuh cinta, panjang sabar dan setia seperti Sawitri. Oleh karenanya Yamadipati tidak sampai hati menolak permohonan Sawitri agar Setyawan dihidupkan. Hyang Yamadipati mengembalikan nyawa Setyawan agar Sawitri hidup bahagia bersamanya, panjang umur untuk menjalani tugas melangsungkan keturunan.

Dalam hidupnya Yamadipati tidak pernah mendapatkan kebahagiaan, tetapi ia cukup terhibur dapat memberikan kebahagiaan tidak saja kepada Sawitri yang setia kepada suaminya, tetapi juga memberi kebahagiaan kepada Dewi Mumpuni istrinya yang telah mengkhianati suaminya.

Herjaka HS

EDUKASI

Baca Juga

Artikel Terbaru

  • 19-12-15

    Nicky Manuputty Saji

    Lahir dan besar di Negeri Belanda tak membuat musisi berdarah Maluku ini lupa akan tanah kelahirannya. Meski sukses menjalani profesi sebagai... more »
  • 19-12-15

    Jumat Ini Hari Baik,

    Jumat Pon, 25 Desember 2015, kalender Jawa tanggal 13, bulan Mulud, tahun 1949 Jimawal, hari baik untuk berbagai macam keperluan. Tetapi tidak baik... more »
  • 18-12-15

    Jumat Ini Hari Baik,

    Hari Jumat Legi, 18 Desember 2015, kalender Jawa tanggal 6, bulan Mulud, tahun 1949 Jimawal, tergolong hari baik untuk berbagai macam keperluan.... more »
  • 18-12-15

    Sawitri (4) Benarkah

    Yamadipati tidak sampai hati menolak permohonan Sawitri agar Setyawan dihidupkan. Hyang Yamadipati mengembalikan nyawa Setyawan agar Sawitri hidup... more »
  • 18-12-15

    Museum Pleret Bantul

    Kegiatan yang digelar pada Minggu 13 Desember 2015 itu memang diprioritaskan untuk melibatkan langsung masyarakat dengan harapan agar masyarakat... more »
  • 17-12-15

    Mustikaning Tekad Ik

    Peribahasa ini menunjukkan bahwa tidak ada tekad atau niat yang mulia daripada tekad atau niat untuk berbuat baik. Hal berbuat baik itu bukan hanya... more »
  • 17-12-15

    Perumahan PJKA Palba

    Bangunan ini dihancurkan (dibumihanguskan) pada masa Clash II (1948), yang kemudian pada tahun 1950 didirikan bangunan baru, yang disesuaikan dengan... more »
  • 16-12-15

    Gelaran Pasar Keronc

    Acara ini istimewa, karena dapat menghadirkan suasana baru dalam keroncong, dari keroncong asli hingga kreasi. Diharapkan acara ini digelar rutin... more »
  • 16-12-15

    Mengenalkan Ular Lew

    Sioux adalah organisasi nirlaba yang bergerak dalam konservasi dan studi tentang ular. Mereka berusaha mengubah persepsi negatif masyarakat tentang... more »
  • 16-12-15

    ‘Wajah Perempuan’ Di

    Sastra Bulan Purnama edisi ke-51 akan diselenggarakan pada Rabu, 23 Desember 2015 pukul 19.30. Satu antologi puisi berjudul “Wajah Perempuan” karya... more »