Tembi

Yogyakarta-yogyamu»PENGIBARAN PANJI PANJI ABDI DALEM DI PEREMPATAN TUGU YOGYAKARTA

01 Jan 2008 05:13:00

Yogyamu

PENGIBARAN PANJI-PANJI ABDI DALEM
DI PEREMPATAN TUGU YOGYAKARTA

Tidak segera selesainya pembahasan dan penetapan Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY menyebabkan status DIY seperti terkatung-katung, tidak jelas, mengambang, dan mencemaskan. Banyak komunitas atau elemen masyarakat DIY yang menyatakan kekecewaannya akan lambannya pembahasan RUUK DIY ole pusat. Sindiran bahwa DIY seperti negara monarkhi absolut, negeri semacam ketoprak menyebabkan sebagian besar masyarakat Yogyakarta tersinggung. Ketersinggungan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, sejak awal mula berdirinya RI, Yogyakarta --yang waktu itu masih merupakan sebuah kerajaan-- menyatakan diri bergabung dan menyatu dengan NKRI. Peran dan jasa Yogyakarta dalam kerangka NKRI pun tidak main-main.

Tanggal 7-11 Oktober 2008 di empat arah perempatan Tugu Yogyakarta dipasang panji-panji atau bendera yang mewakili paguyuban para abdi dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Pemasangan itu dimaksudkan sebagai bentuk dukungan terhadap keistimewaan DIY.

Panji-panji tersebut meliputi delapan jenis. Pertama, bendera Podang Ngisep Sari dengan warna merah-kuning, yang mewakili paguyuban abdi dalem Kabupaten Gunung Kidul. Kedua, Panji Pandhan Binethot berwarna putih-hijau mewakili paguyuban abdi dalem Kabupaten Bantul. Ketiga, Panji Pareanom dengan warna hijau-kuning, mewakili paguyuban abdi dalem Kabupaten Kulon Progo. Keempat, Panji Mega Ngampak dengan warna biru-putih, mewakili paguyuban abdi dalem Kabupaten Sleman. Kelima, Panji Bangun Tulak mewakili paguyuban abdi dalem dari Kota Yogyakarta. Keenam, Panji Budi Wadu Praja mewakili paguyuban abdi dalem Propinsi DIY yang mengandi pada pemerintah ageng. Ketujuh, Panji Gula Klapa sebagai simbol dari Nagari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sedangkan yang kedelapan adalah Sang Saka Merah Putih.

Pengibaran panji-panji itu selain dimaksudkan sebagai bentuk dukungan terhadap keistimewaan Yogyakarta, juga sebagai bentuk pernyataan bahwa jangan sampai Yogyakarta menjadi objek politik kalangan tertentu. Yogyakarta jangan dijadikan komoditas politik semata yang ujung-ujungnya tidak menguntungkan bagi warga Yogyakarta sendiri.

Perlu diketahui bahwa panji-panji atau bendera paguyuban abdi dalem tersebut baru berkibar kembali pada tanggal tersebut di atas sebab panji-panji tersebut berkibar terakhir kalinya pada Maklumat 5 September 1945 yang lampau. Humas Kawula Ngayogyakarta, Widihasto Wasana Putra mengatakan bahwa aksi ini utuk menegaskan bahwa Kawula Ngayogyakarta senantisa manunggal dan sendika terhadap sikap apa pun yang diambil Ngarsa Dalem demi masa depan DIY.

Panji-panji tersebut pada gilirannya diperbanyak dan dikirabkan dalam Laku Budaya Tapa Bisu Mubeng Beteng yang dilakukan oleh segenap abdi dalem Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman serta berbagai elemen masyarakat pada hari Rabu, 10 Oktober 2008, mulai jam 20.00 WIB.

Tampaknya kecurigaan akan adanya negara monarkhi absolut terhadap DIY tidak perlu terjadi. Sebab sejak awal berdirinya NKRI, DIY telah menyatakan menyatu ke dalam NKRI. Selain itu sejak Sultan Hamengku Buwana IX, sikap dan tata cara pemerintahan DIY bisa dikatakan tidak lagi monarkhis. Kerajaan yang ada di dalamnya boleh dikatakan hanya sebagai pengampu tradisi kebudayaan, bukan pemerintahan atas DIY.

Boleh juga dipertanyakan, apakah di pemerintahan pusat (Indonesia-Jakarta) yang melandaskan dirinya dengan corong demokrasi tidak terselip secuil pun sikap, perilaku, dan pelaksanaan pemerintahan dan ketatanegaraan yang cenderung monarkhis dan bahkan absolut ?

Hendaknya kita memang bisa berpikir lebih jernih dan tenang untuk menyelesaikan segala persoalan. Lebih-lebih jika persoalan itu jelas-jelas menyangkut kepentingan masyarakat luas. Baik itu kepentingan politis, ekonomis, identitas (jati diri), dan sebagainya.

sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta