Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Bedhaya Ketawang

13 Jan 2010 01:57:00

Perpustakaan

Judul : Bedhaya Ketawang
Penulis : K.G.P.H. Hadiwidjojo
Penyunting : Astuti Hendrato, Amir Rochkyatmo
Penerbit : PN Balai Pustaka, 1981, Jakarta
Bahasa : Indonesia dan Jawa
Jumlah halaman : 58
Ringkasan isi :

Bedhaya Ketawang adalah salah satu tarian klasik yang dipergelarkan pada setiap peringatan kenaikan tahta Sri Susuhanan. Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur, makna serta sifat yang erat hubungannya dengan adat upacara (ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang sangat resmi sekali), sakral (dianggap ‘ciptaan’ Ratu Kidul dan ia selalu “hadir” dalam setiap pergelaran), religius (antara lain dari kata-kata yang diucapkan swarawati …yen mati ngendi surupe…= kalau mati ke mana tujuannya), tari percintaan/tarian perkawinan (lambang curahan cinta asmara Kanjeng Ratu Kidul kepada Sinuhun Sultan Agung, terlihat dari gerakan tari yang sudah sangat diperhalus, gendhing yang dinyanyikan swarawati serta tata rias dan tata busananya).

Aslinya pergelaran ini berdurasi kurang lebih 2 ½ jam, tetapi semenjak jaman Sinuhun Paku Buwono X dijadikan 1 ½ jam. Bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan ini harus menyucikan diri terlebih dahulu lahir mau pun batin. Bagi para penari aturan lebih ketat lagi, mereka harus dalam keadaan suci baik pada saat latihan maupun pergelaran. Demikian pula dengan swarawati dan pemain gamelan. Oleh karena itu selalu disediakan penari cadangan untuk mengantisipasi keadaan. Latihan pun hanya diselenggarakan pada hari-hari tertentu yaitu Anggarakasih (Selasa Kliwon). Persiapan untuk pergelaran Bedhaya Ketawang harus teliti karena sangat rumit. Bagi para penari ada beberapa pantangan yang harus diperhatikan dan ditaati. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari-penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunannya menari lebih terjamin.

Siapakah yang menciptakan Bedhaya Ketawang, tidak ada keterangan yang pasti. Tetapi menurut cerita tradisi Bedhaya Ketawang diciptakan oleh Kangjeng Ratu Kidul Kencanasari, ratu makhluk halus seluruh Jawa yang beristana di Samudera Indonesia. Tetapi menurut R.T. Warsadiningrat (abdidalem Niyaga) sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul hanya menambahkan dua orang penari lagi hingga menjadi sembilan orang, kemudian dipersembahkan kepada Mataram.

Iringan gamelan Bedhaya Ketawang hanya lima macam berlaras pelog, pathet lima, yaitu :

  1. gendhing - kemanak 2, laras jangga kecil atau manis penunggul

  2. kala - kendhang

  3. sangka - gong

  4. pamucuk - kethuk

  5. sauran - kenong

Gendhing yang dipakai untuk mengiringi disebut juga Ketawang Gedhe. Tarian ini dibagi menjadi tiga adegan (babak). Di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro sebentar sampai dua kali, kemudian ke pelog lagi sampai selesai. Pada saat mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat gamelan ditambah rebab, gender, gambang dan suling. Selama tarian dilakukan tidak digunakan keprak sama sekali.

Keistimewaan Bedhaya Ketawang ini terletak pada:

  1. Pilihan hari untuk pelaksanaannya yaitu hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon)

  2. Jalannya penari waktu keluar maupun masuk ke Dalem Prabasuyasa mengitari Sinuhun dengan arah menganan

  3. Pakaian dan riasan penari seperi busana dan riasan pengantin

  4. Nyanyian berupa ungkapan cinta kasih antara wanita dan pria

  5. Gamelan berlaras pelog tanpa keprak, pertanda tarian ini termasuk klasik

  6. Rakitan tari dan nama penarinya berbeda-beda yaitu disebut batak, endhel ajeg, endhel weton, apit ngarep, apit mburi, apit meneng, gulu, dhadha, boncit. Selama menari tentu saja susunannya berubah-ubah.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta