"Jembatan" Baru di Titik Nol Jogja
Titik Nol atau Perempatan Kantor Pos Besar Kota Jogja hingga saat ini tetap menjadi tempat yang dianggap ideal dan memadai untuk aneka ekspresi. Baik itu mengekspresikan kritik sosial dan politik maupun ekspresi dalam urusan berkesenian. Belum lama ini pada titik ini dibuat sebuah ranngkaian besi melintang di atas Jalan A. Yani di sisi utara perempatan kantor pos. Rangkaian besi itu dibuat seolah menyerupai pagar jembatan penyeberangan. Ketegasan akan keserupaan bangunan itu dengan pagar jembatan pengamatan dipertegas dengan dibuatnya beberapa boneka yang menyerupai manusia tengah merayapi atau menaiki pagar tersebut.
Kreativitas yang bolehlah dikatakan sebagai karya rupa seni instalasi ini jika dilihat dari kejauhan sangat mirip dengan kejadian yang sesungguhnya. Boneka-boneka yang merayapi rangkaian besi itu tampak seperti manusia sungguhan. Pola gerak dan anatominya yang relatif pas ketika melakukan ”gerak” merayap, bergelantungan dan mendaki ”jembatan” menjadikannya mirip pola gerak manusia yang sesungguhnya.
Seni instalasi yang sesungguhnya dibuat oleh sebuah perusahaan minuman itu setidaknya cukup memberikan pemandangan dan suasana yang berbeda di Titik Nol. Berbeda dari kesehariannya. Kata-kata yang dituliskan pada poster dan ditempelkan dalam rangkaian besi itu memberikan kesan lucu. Memberikan kesan bahwa banyak orang berjalan lambat-lambat. Mengesankan bahwa ”orang” yang meniti atau merayapi ”jembatan” besi itu juga melakukannya dengan lambat-lambat. Tidak ada ketergesaan. Tidak ada rasa kemrungsung. Semuanya santai-santai saja. Alon-alon waton kelakon. Tidak ngangsa tidak ngaya. Tulisan dalam poster yang ditempelkan di atas rangkaian besi ”jembatan” itu memang berbunyi ”Thimik-thimik” yang artinya perlahan-lahan (dalam berjalan).
Kata-kata yang diterakan di bentang rangkaian besi baja itu mungkin ingin mengambarkan bagaimana orang Jawa di Jogja menyikapi hidup. Bagaimana cara orang Jawa berjalan. Bagaimana sikap alon-alon waton kelaon itu bisa dimengerti sebagai sebuah kearifan lokal bahwa hidup itu hanya semacam mampir ngombe. Bahwa kelakon atau terlaksananya sebuah pekerjaan, tujuan, atau aktivitas tidak mesti harus dilakukan dengan ketergesaan yang menyiksa hati dan fisik. Bahwa pencapaian itu tidak terletak pada ketergesaan dan kemrungsung. Hal yang penting itu adalah kelakon-nya (tercapainya). Bukan pada ketergesaannya yang bisa berakibat pada kekacauan, ketidakcermatan, kengawuran, dan seterusnya.
Titik Nol Jogja dianggap menjadi tempat ideal untuk aneka ekspresi karena Titik Nol ini merupakan persimpangan jalan besar tepat di jantung Kota Jogja. Kali ini mungkin ada semacam jembatan yang ditampilkan. Kali lain mungkin patung, poster, lukisan, performing art, pertunjukan kesenian, bahkan (dan yang paling sering) adalah demonstrasi. Pada galibnya Titik Nol Jogja menjadi saksi bagi sekian banyak kreativitas dan kegiatan orang-orang Jogja, yang sedang tinggal, atau mengunjungi Jogja.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- PESONA KEBUN BUAH NAGA DI LERENG MERAPI(24/06)
- 29 Maret 2010, Suguhan - RICA-RICA BEBEK(29/03)
- CITA RASA LOKAL DAN GLOBAL(01/01)
- 6 Desember 2010, Kabar Anyar - FENOMENA MBAH MARIDJAN (06/12)
- SOTO LENTHOK, SOTO KHAS BANTUL(01/01)
- GOYANG DARI HASOE(25/06)
- 15 Oktober 2010, Kabar Anyar - GELAR PAHLAWAN UNTUK IJ KASIMO(15/10)
- Denmas Bekel(14/01)
- SOTO REJEKI DAN BABAT GORENG(27/09)
- Ritual Adat Ujungan. Desa Gumelem Wetan Kecamatan Susukan Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah (16/02)