BANGUNAN BARAK PENGUNGSIAN YANG MERANA

Istilah Barak Pengungsian mungkin populer di wilayah-wilayah rawan bencana. Setidaknya hal ini akrab di telinga masyarakat Jogja, lebih-lebih masyarakat Kabupaten Bantul, Sleman, dan Kota Jogja karena ketiga wilayah tersebut relatif sering ditimpa bencana alam. Bantul pernah hancur oleh gempa dahsyat 27 Mei 2006. Sleman kocar-kacir karena letusan Gunung Merapi yang berlangsung secara periodik dan letusan terbesar terakhir Gunung Merapi adalah bulan Oktober 2010.

Barak Pengungsian dapat saja dibangun menjadi bangunan permanen atau semi permanen. Dapat juga hanya berupa jajaran tenda-tenda atau bivak. Oleh karena sifatnya sebagai hunian sementara (darurat) perawatan terhadap bangunan berupa barak pengungsian hampir selalu seadanya, sambil lalu, dan ”kalau sempat”.

Bangunan darurat tersebut umumnya dibangun di atas lahan ”kosong” atau lahan milik pemerintah. Hal demikian dimaksudkan agar kelak di kemdian hari keberadaan bangunan barak pengungsian atau bekas barak pengungsian tersebut tidak menimbulkan sengketa.

Dari sekian bangunan yang disebut barak pengungsian memang ada yang dibangun secara permanen. Salah satunya adalah barak pengungsian yang dibangun di Purwobinangun, Pakem, Sleman. Barak ini dibangun relatif bagus. Lebih mirip gedung perumahan biasa dengan ukuran ruang dan bangunan yang relatif luas. Bangunan ini dibangun di sisi utara jalan Pakem-Turi. Tidak jauh dari lokasi dibangun/didirikannya barak pengungsian Oktober 2011 yang menempati sebuah SD sekaligus lapangan di Purwobinangun.

Barak pengungsian yang dibangun pada kisaran tahun 1980-an ini kini justru kelihatan mangkrak. Kerusakan terjadi di beberapa titik bangunan. Beberapa sisi temboknya telah mengalami keretakan. Demikian pun engsel pintu dan jendelanya kurang berfungsi dengan optimal. Beberapa gentengnya telah pecah dan retak. Kecuali itu secara keseluruhan bangunan tersebut menampilkan visualisasi yang kusam dan muram. Keadaan semacam ini diperparah dengan kotornya bangunan barak pengungsian tersebut beserta kseseluruhan pekarangannya. Demikian juga lantainya.

Memang tidaklah mudah merawat bangunan. Membangun dan ngopeni ’memelihara’ adalah dua hal yang berbeda. Membangun membutuhkan dana dan tenaga serta alokasi waktu tertentu. Ngopeni lebih membutuhkan stamina, semangat tanpa putus, ketekunan, kerajinan, ketulusan, dana, dan alokasi waktu yang panjang hingga tidak terhingga. Jadi ngopeni terasa berat karena waktu, tenaga, dan dananya bisa menjadi tidak terbatas.

Tampak bahwa bangunan barak pengungsian yang dibangun permanen di Purwobinangun ini seperti kehilangan fungsi atau daya gunanya. Mungkin karena memang digunakan hanya pada saat-saat darurat, maka ketika keadaan aman-aman saja maka bangunan semacam ini lantas dilupakan atau diabaikan. Namun ketika keadaan kembali darurat sosoknya kembali diingat dan dibutuhkan. Barulah pada saat demikian sosoknya kemudian diperbaiki, dirawat. Mungkin demikianlah perlakuan yang terjadi atas sosok bangunan barak pengungsian ini.

Barak pengungsian yang dibangun permanen di Purwobinangun ini mungkin hanya merupakan salah dari barak pengungsian lain yang juga dibangun permanen di seputaran wilayah-wilayah rawan bencana alam. Jika bangunan-bangunan semacam ini memang kurang tersentuh oleh perawatan bukan tidak mungkin sosoknya akan menjadi tidak berguna dan ketika dibutuhkan justru menambah kerepotan, anggaran, dan kekhawatiran. Berikut Tembi menyajikan hasil bidikan salah satu bangunan barak pengungsian yang kelihatan merana di wilayah Purwobinangun, Pakem, Sleman.

a.sartono

BANGUNAN BARAK PENGUNGSIAN YANG MERANA BANGUNAN BARAK PENGUNGSIAN YANG MERANA BANGUNAN BARAK PENGUNGSIAN YANG MERANA




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta