Aneka Sendang dan Mitosnya di Yogyakarta

Karena mitos itu, maka orang pun tidak berani berbuat sembarangan di lokasi sumber air tersebut. Bahkan juga kemudian muncul kepercayaan bahwa air dari sendang tersebut di samping dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan lain.

Sendang Banyu Tumumpang di Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, di daerah bukit kapur, foto: a.sartono
Sendang Banyu Tumumpang di Bantul, airnya dimanfaatkan
untuk keperluan penduduk setempat

Ada banyak sumber atau mata air di Yogyakarta, baik itu yang berdebit besar maupun kecil. Mata air yang sering disebut dengan istilah belik, sendang, telaga, ataupun tuk itu tidak hanya terdapat di sekitar aliran sungai.

Di pelosok-pelosok bukit, hutan, atau pegunungan, bahkan di daerah-daerah berkapur yang notabene sering dianggap sebagai daerah minim air, juga ditemukan tuk alias belik.

Belum semua mata air tersebut termanfaatkan dengan baik. Bahkan banyak pula yang kandungan atau limpahan airnya mengalir begitu saja dan akhirnya menyatu dengan aliran sungai besar.

Sumber-sumber air itu tidak dimanfaatkan secara optimal mungkin disebabkan karena antara lain, debit airnya kecil sehingga rugi bila dieksploitasi karena tidak mampu memenuhi pelanggan dalam jumlah besar sementara biaya eksploitasinya besar.

Sendang Bogem di wilayah Pandak, Bantul, Yogyakarta, foto: a.sartono
Sendang Bogem airnya dipercaya punya tuah

Dari sekian sumber air itu ternyata banyak pula di antaranya yang memiliki latar belakang cerita berbau mitos atau legenda yang dipercayai oleh penduduk setempat. Dari sekian mitos dan legenda itu pada intinya berisi petunjuk atau pelajaran tersembunyi agar manusia menghargai air.

Di samping menghargai air, dalam skala luas mitos dan legenda di berbagai sumber air itu juga mengandungi pelajaran agar manusia menghargai dan menjaga lingkungan hidupnya. Pun berbagai pantangan atau lakuan yang dilarang dikerjakan di lokasi sendang atau sumber air.

Contoh dari mitos tersebut misalnya banyak sumber air yang dinyatakan dibuat atau diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Cara menciptakannya pun terbilang tidak masuk akal, yakni Sunan Kalijaga menancapkan tongkat ke tanah, dan ketika tongkat tersebut dicabut maka keluarlah air. Lama-kelamaan debit air tersebut menjadi besar dan membentuk sendang atau telaga kecil.

Karena mitos itu, maka orang pun tidak berani berbuat sembarangan di lokasi sumber air tersebut. Bahkan juga kemudian muncul kepercayaan bahwa air dari sendang tersebut di samping dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari juga dapat digunakan untuk berbagai keperluan lain. Misalnya untuk sarana penyembuhan, menyuburkan tanaman, melariskan dagangan, melancarkan usaha (bisnis), mendapatkan jodoh, dan lain-lain.

Sendang Penjalin di wilayah Minggir, Sleman, foto: a.sartono
Sendang Penjalin di Sleman keberadaannya “diamankan” dengan rumah atau cungkup

Banyak juga sendang yang kemudian menjadi pusat dari kegiatan merti sendang atau upacara tertentu yang ditujukan untuk bersyukur kepada Sang Khalik, memohon berkah karunia-Nya, serta merawat dan menjaga sendang itu sendiri bersama lingkungannya.

Berkaitan dengan hal itu tidak aneh jika muncul berbagai pantangan yang intinya tidak boleh merusakkan lokasi sendang atau mata air. Tidak boleh menebang pohon sembarangan di sekitar sendang. Tidak boleh berburu binatang di sekitar sendang. Tidak boleh mandi dan mencuci di pusat pemunculan air, dan sebagainya.

Namun, seiring dengan perkembangan zaman, apa yang disebut mitos, legenda dan sebagainya itu sering dianggap tidak ada gunanya. Ketinggalan zaman. Kuno, klenik, tidak masuk akal, dan sebagainya.

Sendang Senuko di wilayah Godean, Sleman, foto: a.sartono
Sendang Senuko sering dijadikan tempat tirakat

Ke Yogya yuk ..!

A. Sartono



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta