Pangeran Prangwedono, Kolonel Kepala Legiun Mangkunegaran

Pasukan Pangeran Prangwedono terdiri dari 1.150 orang prajurit yang kemudian diresmikan sebagai suatu legiun yang meniru Legiun Batavia Daendels. Sejak itu pula Legiun Mangkunegaran mengabdi pada pemerintah Eropa. Segala pasang surut pemerintahan Eropa di Nusantara (utamanya Jawa) melibatkan pasukan Mangkunegaran ini hingga ia wafat pada Januari 1835.

Sang Kolonel, Pangeran Prangwedono
Sang Kolonel, Pangeran Prangwedono

Menjelang abad ke-19 merupakan masa-masa yang dipenuhi banyak ketegangan pada hampir semua kerajaan di Nusantara, lebih-lebih Kerajaan Yogyakarta, dan Surakarta. Pada masa itu terjadi tekanan yang demikian kuat terhadap kerajaan-kerajaan tersebut oleh kaum kolonialis Belanda, dan juga Inggris.

Belanda melalui Marsekal Herman Willem Daendels (1762-1818) melakukan perubahan besar-besaran atas tata aturan yang ada di Jawa (khususnya Yogyakarta dan Surakarta). Ia meminta bahwa semua utusan Belanda yang menghadap raja harus diperlakukan dengan hormat dan duduk sejajar dengan raja. Daendels juga “mengancam” Keraton Yogya yang dipandang anti-Eropa karena menunjukkan ketidaksetiaannya kepada pemerintah Belanda. Ancaman Daendels ini dinyatakan bahwa ia akan datang ke Yogya dengan pasukan berkuda yang baru dibentuk dan disertai dengan artileri medan.

Yogya menanggapi ancaman Daendels ini dengan mengadakan persiapan militer pula. Parade dan latihan militer dilakukan lebih sering daripada sebelumnya. Parade besar militer Yogya ini dilakukan di Pesanggrahan Rejowinangun yang terletak di sisi timur Yogya (nama Dusun atau Kampung Rejowinangun sampai sekarang masih ada dengan keletakan di sisi selatan JEC/Gedong Kuning). Disebut-sebut bahwa kekuatan prajurit yang dikerahkan untuk itu mencapai 10.000 orang. Prajurit-prajurit yang disiapkan untuk parade disebutkan berhias luar biasa semarak. Parade ini terjadi pada bulan Juni 1808.

Belanda yang lama bercokol di Nusantara tampaknya memang cukup tahu dan ahli menggunakan pasukan-pasukan lokal yang dibayar dan dianugerahi bintang-bintang jasa agar mereka menjadi setia. Ada begitu banyak suku di Nusantara yang dimanfaatkan Belanda untuk menjadi tentara atau pasukan pribumi-Belanda. Selain dari Jawa, ada pula dari Maluku (Ambon), Bugis, Madura, Bali, dan sebagainya.

Berkait dengan akan berkunjungnya Daendels ke Yogya, pasukan dari Kadipaten Mangukenagaran di bawah Pangeran Prangwedono (Mangkuengoro II) diperintahkan untuk memperkuat garis pertahanan di wilayah Klaten dan Yogyakarta. Tugas itu diberikan kepada Pangeran Prangwedono setelah ia dianugerahi Bintang Jasa Kerajaan Belanda yang baru.

Pasukan Pangeran Prangwedono terdiri dari 1.150 orang prajurit yang kemudian diresmikan sebagai suatu legiun yang meniru Legiun Batavia Daendels. Sejak itu pula Legiun Mangkunegaran mengabdi pada pemerintah Eropa. Segala pasang surut pemerintahan Eropa di Nusantara (utamanya Jawa) melibatkan pasukan Mangkunegaran ini hingga ia wafat pada Januari 1835. Sejak itu pula pakaian resminya selalu berupa seragam perwira Eropa, rambutnya dipotong cepak seperti tentara Eropa.

Berikut ini foto dari Pangeran Prangwedono (pasca 1821, Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati Mangkunegoro II) menjabat kepala wangsa Mangkunegaran dari 25 Januari 1796 hingga wafat pada 26 Januari 1835. Foto ini memperlihatkan ia mengenakan seragam militer gaya Belanda sebagai Kolonel Kepala Legiun Mangkunegaran.

Pada dada sebelah kiri tersemat dua bintang jasa: di sisi kiri Militaire Willems Orde (Kelas Tiga), yang dianugerahkan kepadanya pada 30 Januari 1832 atas jasa-jasanya kepada Belanda selama Perang Jawa/Perang Diponegoro (1825-1830). Bintang jasa di sisi kanan adalah bintang Orde van de Nederlandsche Leeuw, suatu bintang Kerajaan Belanda yang dianugerahkan langsung oleh Raja Willem I (bertakhta 1813-1840), pada 1833. Hanya penutup kepala (blangkon) yang masih menandai kejawaannya.

a.sartono

Sumber: Peter carey, 2011, Kuasa ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan lama di Jawa 1785-1855, Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) bekerja sama dengan KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal en Volkenkunde), halaman 206-214.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta