Salman Aristo, Dari Ritual Ke Profesi

Salman Aristo, Dari Ritual Ke Profesi

Masa lalu seringkali menjadi dasar pijakan bagi orang-orang untuk melangkah ke depan. Seperti yang dilalui oleh Haryo Pramoe dengan kebiasaannya keluar-masuk rumah makan di masa kecilnya, begitu pula Salman Aristo dengan ritual keluarganya diakhir pekan, nonton film di bioskop.

Salman Aristo, penulis scenario film yang mencatatkan prestasinya di dunia perfileman Indonesia terutama di era 2000-an pada mulanya juga tidak pernah menyangka akan terjun ke dunia film. Dunia yang pada masa lalunya hanya sekedar bagian dari ritual acara keluarga setiap akhir pekan. Sejak usia lima tahun, Aris kecil bersama keluarganya seringkali menutup acara ritual “jalan-jalan” dengan nonton film di bioskop. Kebiasaan ini menumbuhkan kecintaannya pada film, meski masih sebatas penonton. Namun kebiasaan ini berlanjut ketika ia duduk di bangku SMP di sekitar tahun 1988. Di masa ini ketiadaan film nasional sempat membuatnya menjadi pencinta film-film luar (terutama Hollywood). Memang tidak bisa dipungkiri karena memang pada kenyataannya saat itu perfilman nasional sedang lesu-lesunya.

Perjalanannya yang mendekatkan dirinya pada pria pengagum Bung Hatta, kelahiran 13 April 1976 ini adalah perkenalannya dengan kelompok Seni, Teater dan Film. Lewat media ini dirinya tahu bahwa kita bisa membuat film sendiri. Sebagai penyuka buku, membaca dan menulis mengarahkan dirinya untuk membuat scenario.

Buku, Film dan Musik adalah 3 hal yang ia cintai. Hobby nge-band yang ia geluti sejak SMP menumbuhkan cita-cita menjadi pemusik. Bahkan cita-citanya untuk menjadi musisi masih melekat kuat sampai ia kuliah di jurusan Jurnalistik, Universitas Padjadjaran Bandung. Sampai lulus kuliah tahun 1999 dan bekerja di sebuah portal, rubric berita dan musik di Bandung, cita-cita itu masih ia pegang sampai akhirnya ia harus memilih jalan di usia 25 ditahun 2001. Meneruskan cita-cita sebagai musisi atau pindah haluan. Seorang sahabatnya menyarankan untuk membuat cerita film panjang. Maka jadilah scenario 90 halaman dengan judul Tak Pernah Kembali Sama. Seperti tanpa hasil, ia putuskan kembali ke kota kelahiran, Jakarta.

Perjumpaannya dengan Rudy Soedjarwo yang mengkritik secara keseluruhan scenario yang ia buat sama sekali tidak membuatnya patah arang. Awal 2002 adalah titik awal pembelajaran penuh dalam penulisan scenario. Ratusan scenario ia serap di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail. Dari sinilah ia belajar bangaimana membuat scenario film. Dirinya memang termasuk otodidak, tidak belajar khusus dalam membuat scenario film.

Salman Aristo, Dari Ritual Ke Profesi

Usahanya tidak sia-sia. Tahun 2005 kesempatan untuk “pecah telur” terlaksana. Bersama Hanung Bramantyo sebagai sutradara, mereka merilis film cerita bioskop pertama bagi Salman Aristo, “Brownies”. Sebuah perjuangan manis karena film tersebut langsung masuk sebagai nominasi penulisan scenario dalam ajang Festival Film Indonesia.

Pintu gerbang mulai terbuka lebar, ditengah penggarapan film pertamanya masuk beberapa tawaran menulis. Hal ini yang makin membuat dirinya yakin akan pilihannya di dunia film sebagai penulis cerita film dan merambah ke posisi produser setelah film Garuda Di Dadaku. Film Garuda Di Dadaku sebetulnya sudah pernah ia ajukan kebeberapa produser, tapi ditolak. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Shanty Harmayn yang mau memproduseri film yang penuh dengan obsesi seorang Salman Aristo terhadap dunia persepakbolaan Indonesia. Sebuah kegeraman dan harapan seorang pecinta sepakbola yang ingin menyampaikan pikirannya melalui media film.

Semakin dalam menggeluti dunia film membuat istri dari Ginatri S. Noer yang juga sama-sama berprofesi sebagai penulis scenario film ternyata membuatnya “gerah” dengan dunia perfileman Indonesia yang isinya terlalu sedikit film-film bermutu. Tanpa bermaksud sombong jika mengacu pada film-film yang ditulisnya memang sukses di pasaran. Dirinya selalu menekankan pentingnya membuat film yang bertanggungjawab baik secara teknis maupun isi.

Kepeduliannya terhadap perkembangan dunia film di Indonesia ia tuangkan dalam karya yang dapat ia pertanggungjawabkan. Selain itu apa yang ia miliki dalam hal pengetahuan dengan ringan ia bagikan kepada penulis-penulis yang ingin belajar membuat scenario film di berbagai workshop. Di sini talentanya mendidik terlihat. Pria yang memang berasal dari keluarga guru ini sangat disiplin dalam mendidik penulis baru yang ingin belajar. Semua tulisan, menurutnya harus bisa dipertanggungjawabkan isinya. Tidak asal jadi. Ia melihat ada semacam “kesalahan” yang ditanamkan pada diri kita sejak kecil dimana ketika SD murid dibiasakan untuk mengarang, bukan menulis, keduanya jelas berbeda karena menulis adalah proses menata pikiran sedangkan mengarang cenderung bebas. Maka tak heran jika ide bagus seringkali tidak terwujud sebagus idenya karena tidak tertata runutan ceritanya.

Salman Aristo, Dari Ritual Ke Profesi

Temen nan yuk ..!

ypkris

dari berbagai sumber

Karya

(FILMOGRAFI)

  1. Brownies (2005)
  2. Cinta Silver (2005)
  3. Alexandria (2007)
  4. Jomblo (2007)
  5. Ayat - ayat Cinta (2007)
  6. Karma (2008)
  7. Laskar Pelangi (2008)
  8. Kambing Jantan The Movie (2009)
  9. Queen Bee (2009)
  10. JK (2009)
  11. Garuda Di Dadaku (2009)
  12. Ari Untuk Amanda (2010)
  13. Sang Penari (2011)
  14. Garuda Di Dadaku 2 (2011)
  15. Negeri 5 Menara (2012)



Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta