Ismail Basbeth
"Membuat Film Itu Mudah"

Ismail Basbeth "Membuat Film Itu Mudah"

Mau mencoba dan berusaha mewujudkan, adalah modal utamanya dalam membuat karya-karya film yang baik. Lahir di Wonosobo, kota pegunungan di sebelah utara Jogjakarta, pria berdarah arab ini belakangan sedang sibuk mempertontonkan karya film pendeknya, tak hanya di Indonesia, bahkan sampai ke mancanegara.

Film pendeknya berjudul ‘Shelter’ dengan tehnik ‘one shoot’ mendapat kesempatan untuk tayang perdana di Busan International Film Festival, Korea Selatan. Tak hanya itu, ia juga medapat beasiswa di Asian Film Academy (AFA) di Busan juga memenangkan BFC (Busan Film Commision) & SHOCS Scholarsip Fund karena dinilai memiliki potensi dan sangat antusias mengikuti program tersebut. Dan di tahun ini, ia terpilih dalam program Berlinale Talent Campus yang di selenggarakan Berlinale International Film Festival, Jerman.

Sutradara yang sering disebut-sebut berasal dari Jogjakarta ini memang banyak menghabiskan waktunya di Jogjakarta, berkarya dan banyak terlibat berbagai diskusi film disana. Namun siapa sangka kalau ia tidak pernah belajar film secara akademik. Sempat berkecimpung dengan musik tradisional di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung selama setahun, Ismail Basbeth kemudian pindah ke Jogjakarta dan melanjutkan pendidikannya di Universitas Muhammadiyah Jogjakarta mengambil ilmu komunikasi. Dari sinilah ia kemudian mengembangkan diri dengan mengenal dunia film.

Sampai sekarang pria kelahiran 12 September 1985 ini sudah memproduksi dan menyutradarai beberapa film, dokumenter maupun fiksi seperti Hide and Sleep (2008), Harry Van Yogya (2010), Shelter (2011), Ritual (2012) dan Who The Fuck Is Ismail Basbeth (2012) yang kemarin diputar bergantian di Jogjakarta, Jakarta dan Bandung. Baginya sebagai seorang sutradara memutar film-filmnya adalah cara terbaik untuk memperkenalkan diri kepada publik. “Membuat film itu tidak perlu ragu atau sibuk menghabiskan waktu memikirkan apa yang mau dibuat. Bagiku, membuat karya seperti saat kamu mau kekamar mandi buang air kecil ya sudah lakukan, ketika sudah terpikir mau buat film, langsung bikin,” paparnya saat ditemui Tembi di Kineforum (14/9) kemarin.

Ismail Basbeth "Membuat Film Itu Mudah"

Ismail juga menambahkan, ia memang dikenal senang ngobrol bahkan dicap cowo bawel dimanapun ia berada. Tapi anehnya, sebagian besar filmnya tidak banyak dialog. “Aku buat film tanpa dialog biar ada tantangannya. Karena walaupun aku suka ngobrol, ternyata nggak bisa menulis, apalagi menulis skrip yang panjang, aku sudah pernah coba, tapi hasilnya ya tetap nggak bisa. Dialog bagiku nggak penting, yang penting itu fun bikinnya dan impresinya sampe bahkan tanpa kata-kata,” tuturnya kepada Tembi. Bahkan dengan bangga, Ismail mengatakan hampir semua film yang digarapnya dibuat dengan budget yang sangat kecil, film Shelter misalnya dibuat dengan nilai 2.500.000 rupiah, atau film Ritual yang hanya menghabiskan dana sebesar 1 juta rupiah saja.

Lalu siapa referensi Ismail dalam mempelajari film dan film-film seperti apa yang ia sukai, pria bernama lengkap Ismail Umar Ahmad ini mengaku tak memiliki film atau sutradara khusus yang menjadi referensi karyanya, cukup bertanya dengan beberapa teman dekatnya yang sering menjadi teman tukar pikirannya. “Eh kamu ada film bagus apa yang baru didownload, aku minta dong, se-simple itu. Aku suka film horor, bahkan aku pernah terjebak waktu mas Joko Anwar minta aku main di filmnya untuk jadi pocong, aku juga suka film drama bahkan pas nonton aku nangis-nangis sama pacarku, hehehe. Jadi baiknya memang menonton semua film tanpa dipilih-pilih,” katanya.

Film adalah jejak, dan ia percaya film itu tentang mengumpulkan energi. Pesannya, buat film ya buat saja, ketika orang membaca dengan persepsi masing-masing, baik itu kritik atau pun bukan terima saja, karena kita tidak pernah tau bagaimana kemampuan kita kalau tidak membuat dan mempertontonkannya kepada publik.

Ismail Basbeth "Membuat Film Itu Mudah"

Temen nan yuk ..!

Natalia S.

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta