Bahasa Indonesia yang Baku (hantam)
Minggu depan kita meeting untuk me-review semua progress target sales kita tahun lalu. Tolong diinform ke semua marketing untuk prepare semua report mereka. Jangan lupa dimention juga bahwa owner akan join the meeting.
Bagi kita yang bekerja dalam lingkungan usaha (biasanya perkantoran) mungkin sudah terbiasa mendengar orang-orang yang berbicara dalam dua bahasa sekaligus, biasanya bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Bahkan kata rapat dalam lingkungan bisnis di perkotaan hampir tidak pernah lagi saya dengar. Entah latah atau kebiasaan, tanpa disadari istilah meeting sudah resmi menggantikan kata rapat dalam bahasa Indonesia.
Sebagai orang yang pekerjaannya sering berada dalam lingkungan usaha dan lebih banyak berada dalam atmosfir perkantoran, seringkali saya malah terasa janggal jika mengajak rekan untuk rapat. Saya seperti berada dalam lingkungan yang memaksa saya untuk menggunakan istilah yang sudah biasa digunakan yaitu meeting.
Membahas penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi verbal ini mengingatkan saya akan satu kewajiban di masa lalu. Sebelum reformasi tahun 1998, mata pelajaran bahasa Indonesia menjadi syarat mutlak yang nilai dalam raport tidak boleh di bawah nilai standar yaitu angka 6. Mutlak hanya dalam angka nilai saja tanpa memperhatikan bahasa yang digunakan dalam komunikasi dengan sesama temannya di lingkungan sekolah sekalipun. Jadi kesimpulannya tidak ada konsistensi antara penggunaan bahasa Indonesia dalam pelajaran di sekolah dengan penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi baik verbal maupun non verbal di luar mata pelajaran. Jujur saja, dalam komunikasi verbal jika menggunakan bahasa Indonesia dengan tata bahasa serta ejaan yang dibakukan pasti akan terdengar kaku bahkan aneh.
Saat almarhum Soeharto masih menjabat sebagai presiden, penggunaan akhiran kata -kan yang diucapkan oleh beliau berbunyi -ken sebenarnya menunjukkan adanya ambigu bagi rakyatnya. Di satu sisi (si sekolah) siswa diharuskan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar namun di sisi lain rakyatnya mendengar dengan jelas penggunaan bahasa Indonesia yang salah.
Bahasa Indonesia yang terbuka untuk mengadopsi kata dari berbagai bahasa, bahasa daerah maupun bahasa asing. Di masa pemerintahan Soeharto itu pula keterbukaan itu lagi-lagi sempat menjadi keharusan dan mewajibkan untuk menjadikan istilah asing yang diindonesiakan. Kewajiban ini sempat saya rasakan sebagai suatu bentuk kehilangan kreatifitas untuk menciptakan kata yang terasa lebih Indonesia karena seperti main hantam supaya jadi bahasa Indonesia. Coba saja penggunaan kata Real Estate menjadi Real Estat, kata Tour menjadi Tur, dan beberapa kata lagi yang di Indonesiakan hanya dengan menghilangkan satu atau dua huruf. Sepertinya tidak banyak berbeda dengan Negara tetangga yang menyebut ban mobil dengan kata tayar (dari bahasa Inggris Tire) atau Aikon untuk menyebut penyejuk udara (kependekan dari kata Air Conditioner). Kalau dipikir-pikir sama parahnya antara kita dan mereka. Malah kita lebih kenal istilah Ase (Ac) sebagai alat penyejuk udara ruang, padahal belum tentu untuk penyejuk saja, bisa juga sebagai penghangat tergantung kebutuhan (sesuai namanya alat pengkondisi udara)
Melihat dan memperhatikan sejarah bagaimana bahasa Indonesia diperlakukan, rasanya jadi tidak aneh jika sekarang ini kita begitu sering berkomunikasi menggunakan kata-kata dengan bahasa yang campur aduk. Dalam komunikasi verbal informal, esensi bahasa sebagai alat komunikasi yang disepakati menjadi lebih penting daripada aturan baku dan kaku yang jangan-jangan malah terdengar asing di telinga kita yang jarang menggunakan bahasa Indonesia seperti yang diajarkan sejak masih di sekolah dasar dimasa lalu.
Ypkris
Foto: Kompasiana.com