Sate Klatak Pak Bari
batang tusuknya terbuat dari jeruji sepeda. Efek pemakaian batang besi ini lebih baik ketimbang pemakaian batang kayu. Dengan memakai jeruji, posisi daging bisa ditempatkan di tengah anglo, jadi mendapatkan panas optimal, sehingga matangnya sempurna.
Sate klatak siap dinikmati
Jika ingin menikmati sate yang tidak “konvensional”, cobalah sate klatak. Sate ini bisa didapatkan di Jalan Imogiri Timur, Pasar Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul.
Sate klatak adalah sate kambing yang hanya dibumbui garam. Ada pula yang ditambahkan bawang putih. Meski bumbunya minimalis tapi rasanya ‘joss’ karena rasa daging kambingnya lebih mencuat di lidah, tidak banyak ditutupi rasa lain. Anehnya, meski bumbunya minimalis, ‘prengus’ daging kambing yang mengganggu tidak terasa. Yang lebih menonjol adalah rasa gurih bercampur asin.
Di Pasar Jejeran, sate klatak Pak Bari layak dicari. Soalnya, sate klataknya membuat ketagihan. Rasa gurih satenya menonjol. Daging kambingnya empuk ‘krenyes-krenyes’. Namun aroma rasanya cukup “keras”, tidak lembut maupun ringan. Rasanya seakan lama menetap di lidah dan langit-langit mulut.
Pak Bari (35 tahun) –panggilan akrab dari Sabari— memang bukan orang kemarin sore. Berjualan sate klatak sejak 1992, ia sudah menggeluti kuliner ini selama 20 tahun. Ia mewarisi resep sate klatak dari pak Wakidi, ayahnya. Sedangkan pak Wakidi mendapatkannya dari ayahnya, mbah Ambyah. Kakek pak Bari kelahiran tahun 1923 ini dikenal sebagai pelopor sate klatak di daerah tersebut. Para pedagang sate klatak di Pasar Jejeran adalah keturunannya.
Meski lokasinya berada di dalam pasar tapi kondisi tempat berjualan Pak Bari cukup bersih dan nyaman. Sejak 2009, bangunan tempat ia berjualan termasuk proyek pasar percontohan. Cahayanya cukup terang yang berasal dari lampu neon, bukan lagi lampu sentir. Ia menempati los tahu dan tempe, ditambah los pedagang emas. Jadi cukup luas. Lantainya keramik. Pengunjung bisa memilih duduk di kursi atau duduk lesehan di tikar. Sebuah pesawat televisi ukuran 24 inchi ikut menemani.
Ditusuk jeruji sepeda, kematangan sate klatak lebih merata dan optimal
Jam buka warung satenya dari pukul 18.30 sampai pukul 01.00. Alasan memilih jam buka seperti ini bisa ditebak. Karena sejak pagi sampai sore, tempat berjualannya diisi pedagang pasar. Dalam sehari, kata pak Bari, rata-rata ia membutuhkan 20-25 kg daging kambing. Jumlah ini diperolehnya dari 2 ekor kambing berusia 8-9 bulan. Dua ekor kambing dengan berat 10-an kg, menurutnya, lebih baik ketimbang 4 ekor kambing dengan berat 5 kg. Alasannya, jika dipotong-potong, dagingnya bisa lebih tebal, yang tentu memengaruhi tingkat kepuasan menikmati.
Keunikan lain dari sate klatak adalah batang tusuknya yang terbuat dari jeruji sepeda. Efek pemakaian batang besi ini, menurut pak Bari, lebih baik ketimbang pemakaian batang kayu. Dengan memakai jeruji, posisi daging bisa ditempatkan di tengah anglo, jadi mendapatkan panas optimal, sehingga matangnya sempurna. Sedangkan jika memakai batang kayu, sate harus diletakkan di pinggir anglo karena batang kayu akan hangus terbakar jika diletakkan di tengah anglo. Perbedaan ini akan memengaruhi rasa daging.
Proses pembuatan sate klatak, menurut pak Bari, sederhana. Setelah dipotong kecil-kecil, daging kambing dilumuri garam. Lantas potongan daging ditusukkan ke sebuah jeruji sepeda, untuk kemudian dibakar di atas anglo berisi arang.
Satu porsi sate klatak berisi 2 tusuk sate. Pada setiap jeruji sepanjang 30 sentimeteran ini terdapat 6-7 potong daging. Sepiring kuah gule ikut menemani. Tapi “menggado” sate klatak tanpa nasi dan kuah gule rasanya lebih mantap. Harga satu porsi sate klatak Rp 12 ribu. Pak Bari juga menyediakan menu lain, yakni gule, tongseng, serta kicik tulang dan daging. Oya, jangan lupa memesan minuman jeruknya yang nikmat.
Pak Bari tertawa sumringah
Kenapa dinamakan sate klatak? Klatak, kata pak Bari, adalah melinjo yang sudah diambil kulit luarnya. Jadi, klatak adalah melinjo tanpa kulit luar. Lantas, apa hubungan antara melinjo dan sate? Ini semacam analogi. “Ada melinjo dengan kulit, dan ada melinjo tanpa kulit (klatak). Begitu juga ada sate dengan bumbu, dan ada sate tanpa bumbu,” jelasnya.
Yang dimaksudkannya sebagai sate tanpa bumbu adalah sate klatak, yang sebelumnya dikenal dengan nama ‘sate uyah’ (sate garam). Menurut pria kelahiran Wonokromo ini, nama sate klatak mulai diperkenalkan pada tahun 1992, yang diklaim pak Bari sebagai temuannya. Pemilihan nama ini, menurutnya, tak terlepas dari masa kanak-kanaknya dimana ia hobi mengumpulkan melinjo.
Lepas dari asal-muasal istilah sate klatak, sate jeruji pak Bari ini memang layak dipuji dan dinikmati.
Lokasi warung sate klatak Pak Bari berada di dalam pasar
Makan yuk ..!
Barata
Artikel Lainnya :
- DAFTAR BUKU PERPUSTAKAAN RUMAH BUDAYA Tembi(28/01)
- PANGERAN SUMENDI DAN LEGENDA TERJADINYA DUSUN SENDEN, PAKEM, SLEMAN(29/09)
- PEDAGANG BUKU BEKAS DI DEKAT KANTOR POS(01/01)
- PRAMUKA DAN KESEHATAN(01/02)
- 19 Oktober 2010, Ensiklopedi - DOLANAN MACANAN(19/10)
- 21 Juli 2010, Kabar Anyar - AJARAN BUDI PEKERTI SEMAKIN TERMARJINALKAN(21/07)
- Pak Warsana dan Topeng Panjinya(13/10)
- KAMPUS BIRU MENJADI PASAR TIBAN(01/01)
- Urip Iku Mung Sawang-Sinawang(14/02)
- SAMBEL WELUT PAK SABAR(19/09)