- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Makanyuk»PUDARNYA POPULARITAS BAHAN BAKU MAKANAN LOKAL
26 May 2008 07:41:00Makan yuk ..!
PUDARNYA POPULARITAS BAHAN BAKU MAKANAN LOKAL
Pada zaman sekarang kita tidak merasa asing lagi dengan jenis-jenis makanan yang berbahan baku tepung gandum atau tepung terigu. Makanan berbahan dasar tepung ini dapat kita kenali misalnya dari berbagai jenis roti, kue-kue, biskuit, gorengan, klethikan, dan sebagainya. Kita bisa mengenali pula berbagai makanan yang sekelas dengan mi. Mulai dari mie instant, mi basah, kwe tiauw, macaroni, spaghetti, dan lain-lain.
Restoran, warung makan, pabrik, banyak yang memproduksi jenis makanan yang berbahan gandum ini. Padahal kalau kita ingat, kita tidak mempunyai bahan bakunya. Bahan baku berupa gandum hampir seluruhnya memang kita impor dari mancanegara. Ironis memang. Kita sudah terlanjur akrab dengan jenis makanan-makanan tersebut di atas sementara kita sendiri tidak pernah punya bahan bakunya. Kita harus atau terpaksa membelinya. Itu artinya kita menjadi tergantung kepada negara lain. Kita terpaksa mengeluarkan uang untuk bangsa lain.
Sebenarnya secara turun-temurun kita telah mengenal berbagai jenis umbi-umbian yang berasal dari tanah negeri kita sendiri. Kita mengenal garut atau lerut, ganyong, gembili, gembolo, kimpul, talas, suweg, gadung, singkong, ubi, uwi, dan sebagainya. Semua jenis umbi-umbian itu dapat kita makan setelah diolah terlebih dahulu. Masing-masing umbi-umbian itu bahkan memberikan cita rasa yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Ada jenis umbi-umbian yang bercita rasa agak manis, gurih, atau perpaduan dari semua rasa itu. Ada yang bercita rasa tawar tetapi bila sudah dimakan terasa menyejukkan perut (adem). Ada yang tekstur daging umbinya lembut, agak kasar, atau kasar. Ada yang sedikit kenyal, kenyal, kenyal agak keras, dan mempur atau gempi dalam istilah Jawa.
Semua umbi-umbian tersebut sebenarnya dapat juga diolah menjadi berbagai jenis makanan olahan. Mulai dari direbus atau dikukus biasa sampai gorengan, kue-kue, cake, roti, kerupuk, keripik, dan sebagainya. Hanya saja, pengolahan jenis umbi-umbian lokal ini belum ada yang dikerjakan dalam skala besar. Barangkali hanya singkong sajalah yang sudah diolah dalam skala besar (pabrik) sehingga muncullah produk-produk makanan yang berasal dari tepung tapioka. Akan tetapi, untuk produk yang berasal dari umbi jenis lain hal itu belum terwujud. Barangkali dengan sentuhan kreativitas yang inovatif umbi-umbian yang berasal dari tanah air kita ini dapat diolah menjadi makanan yang populer, mudah dihidangkan, tahan lama, dan kaya dengan cita rasa serta dapat dikemas dalam kemasan yang lebih cantik.
Bolehlah kita berandai-andai, jika pada suatu ketika negara pengekspor tepung terigu itu tidak lagi mau mengekspor terigunya ke negara kita, akankah kita kelimpungan karena tidak bisa lagi makan cake, roti, mi, spaghetti, kwe tiauw, macaroni, biscuit, gorengan, dan sejenisnya ? Jika kita kelimpungan akibat itu semua, berarti pola makan kita memang sudah berubah. Tidak lagi memakan produk makanan lokal namun memakan produk makanan internasional yang notabene kita tidak mempunyai dan mengusahakan bahan bakunya.
Sampai sekarang jika kita cermat kita masih bisa menemukan makanan yang bahan utamanya berasal dari umbi-umbian lokal. Ada yang sudah dalam bentuk olahan maupun masih asli. Asli artinya umbi tersebut hanya diolah dengan cara direbus, dikukus, atau digoreng. Makanan jenis ini dapat kita temukan di pasar-pasar tradisional di Yogyakarta. Salah satunya adalah di Pasar Ngasem. Di Pasar Ngasem jenis umbi-umbian ini dijual di bagian tengah pasar. Orang yang menjualnya pun ternyata bukan orang kota Yogyakarta melainkan berasal dari Bantul. Umbi-umbian yang dijual di Pasar Ngasem ini ada yang sudah dalam keadaan matang (siap santap), namun ada juga yang dijual dalam keadaan masih mentah.
Kadang ada juga mbok-mbok bakul yang menawarkannya dengan cara digendong berkeliling kampung (namun sekarang sudah agak jarang ditemukan). Makanan dari umbi-umbian itu dijamin bercitarasa enak dan cukup sensasional bagi orang yang terbiasa dengan produk makanan modern. Cara menjualnya yang hanya diletakkan di atas tampah atau tambir (nyiru) dalam keadaan apa adanya (tanpa dikemas setelah direbus) justru mencirikan sosok ketradisionalannya. Selain itu umbi-umbian tersebut tidak tercampur oleh bahan kimia seperti obat atau pengembang roti, pengawet, pewarna, dan sebagainya. Dengan begitu kita boleh percaya bahwa umbi-umbian tersebut lebih alamiah dan lebih sehat daripada jenis makanan modern ala internasional yang ditaburi banyak unsur kimiawi itu. Bagi Anda yang terbiasa makan makaan londo, boleh juga sekali-sekali mencoba mencicipi makanan dari umbi-umbian ini. Rasakan sensasi citarasa aslinya yang tanpa bumbu apa pun. Kenyam dan resapi. Kalau Anda menjadi ketagihan, kesalahan tentu bukan ada pada Tembi !
sartono
Artikel Lainnya :
- Bisma (5) Sentanu Jatuh Cinta(26/01)
- 29 September 2010, Perpustakaan - BIJDRAGEN 7(29/09)
- KYAI TUMUT DAN TERJADINYA DUSUN TUMUT, MOYUDAN, SLEMAN(14/04)
- Ciri dan Watak Manusia(28/01)
- 22 Februari 2011, Bothekan - UNDAKING PAWARTA SUDANING KIRIMAN (22/02)
- Sabar Iku Kuncining Swarga(17/07)
- Memilih Hari dan Tanggal untuk Berpergian(19/01)
- KERANGKA GAJAH KRATON NYI BODRO MENAMBAH KOLEKSI MUSEUM BIOLOGI UGM YOGYAKARTA(21/05)
- Cerita, Kereta dan Musik(27/11)
- DOLANAN JIRAK PENTHIL(26/07)