TRADISI MENYUMBANG
Bagi masyarakat Jawa, bulan Rejeb termasuk salah satu bulan yang bagus untuk melaksanakan hajatan, di antaranya adalah menikahkan anak. Jika istilahnya sekarang yang ngetren adalah resepsi. Maka tidak aneh di bulan Rejeb ini, banyak warga masyarakat Jawa yang mempunyai hajat, menikahkan putra-putrinya yang telah dewasa yang ingin berkeluarga. Memang masih ada yang melaksanakan sesuai adat, artinya tradisi Jawa masih lengkap diterapkan di antaranya ada upacara nembung, pasok tukon, siraman, midadareni, ijab kobul, panggih, dan pahargyan (resepsi). Tetapi banyak juga yang hanya menerapkan ringkas saja, seperti: nembung, pasok tukon, lalu dilanjutkan ijab kobul, dan pahargyan. Bahkan banyak pula jika pengantinnya sudah kena kecelakaan dulu, artinya hamil duluan, hanya melaksanakan ijab kobul dan resepsi sederhana atau hanya syukuran saja. Semua itu tergantung dengan kepribadian masing-masing dan yang jelas melihat tebal tipisnya persediaan uang untuk hajatan. Semakin banyak uang yang dikeluarkan semain lengkap dan besar-besaran.
Dengan banyaknya orang punya hajatan tentu saja banyak undangan yang tersebar di masyarakat. Tidak aneh jika di bulan Rejeb seperti ini, bisa saja satu keluarga mendapat undangan lebih dari satu. Bahkan bisa mencapai lima undangan sebulannya. Banyaknya undangan berarti banyak uang yang dikeluarkan untuk menyumbang. Memang tradisi menyumbang itu sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dulu. Hingga saat ini tradisi itu tetap terus berjalan. Walaupun telah mengalami perubahan. Jika zaman dahulu, menyumbang itu tidak harus berujud uang, tetapi bisa berujud barang kebutuhan sehari-hari, kayata: beras, kelapa, beras ketan, jagung, kayu, kentang, gula (pasir dan jawa), teh, ayam, kambing, dan sebagainya. Tergantung yang dimiliki oleh warga yang hendak menyumbang. Tetapi dengan perubahan zaman, ketika semua barang telah dinilai dengan uang, maka zaman sekarang menyumbang telah diganti dengan uang. Jadi lebih ringkas.
Ketika semua telah dinilai dengan uang, segala barang dihargai dengan uang. Ditambah lagi berkembangnya budaya kapitalis dan individiualis yang merata merasuk ke tengah-tengah budaya Jawa, uang sudah tidak bisa lepas dari masyarakat. Pada masalah punya hajatan saja, sekarang sudah banyak diserahkan ke orang lain dengan model jual-beli. Makanan sudah diserahkan ke katering, demikian pula pelayanan, persewaan pecah-belah, meja kursi, dekorasi, tarub, busana, tempat resepsi, MC, dan lain sebagainya. Maka jika uangnya banyak bisa pesan apa saja dan lebih lengkap. Tradisi rewang (membantu memasak bagi ibu-ibu) dan membantu orang yang punya hajat sudah semakin berkurang, hanya tinggal untuk pantas-pantas saja, seperti jagongan duduk-duduk mengobrol untuk kebersamaan saja. Sementara kaitan dengan kerepotan dan kesusahan yang punya hajat biasanya sudah tidak dihiraukan, itu menjadi urusan pemilik hajat. Dan yang lebih celaka lagi, ada orang punya hajat untuk dibisniskan. Artinya, ketika ia punya hajat, sudah dihitung detail, nanti menghabiskan anggaran berapa dan mendapat sumbangan berapa. Bahkan di undangan sudah digambari celengan, yang berarti harus menyumbang berujud uang. Kalau bisa biaya punya hajatan bisa kembali dan syukur-syukur bisa untung. Kalau sudah seperti itu kehidupan bermasyarakat sudah semakin celaka.
Padahal nenek moyang kita dulu, memberi contoh dan mengajarkan bahwa melakukan tradisi menyumbang itu untuk hidup bersama-sama dan hanya bertujuan untuk meringankan kerepotan pemilik hajat. Tradisi meyumbang di zaman dulu itu umumnya atas dasar ikhlas dan sukarela karena memang untuk meringankan pemilik hajat. Seperti arti kata mantu sendiri, yaitu bermakna sing dieman-eman metu (segala yang disayangi/dimiliki harus dikeluarkan/diberikan), ya anak, ya biaya, ya tenaga, ya pemikiran. Maka punya hajat zaman dulu itu harus ikhlas mengeluarkan segala yang dimiliki tanpa memiliki keinginan bisa balik modal dan jauh dari keinginan jual-beli, untung dan rugi. Karena memang sudah diniatkan. Berbeda dengan zaman sekarang, banyak orang menyumbang dengan saling berlomba, kalau perlu hutang. Dengan tujuan suatu saat nanti mendapat kembalian dari yang pernah disumbang. Jadi umumnya orang menyumbang sekarang ini karena mengharapkan kembalian di masa mendatang. Jika tidak punya uang diniati berhutang untuk menjaga gengsi. Seharusnya menyumbang itu didasarkan apa yang dimiliki dan seikhlasnya. Itu yang membuat orang sekarang banyak hutang, salah satunya ya hanya untuk menyumbang agar kelak mendapat kembalian.
Teks oleh : Suwandi
Ilustrasi oleh : Sartono
Artikel Lainnya :
- Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro(22/12)
- GADO-GADO DAN JUICE SAWO(08/08)
- Aswatama(24/02)
- 4 September 2010, Jaringan Museum - BARAHMUS DIY PRIHATIN ATAS HILANGNYA KOLEKSI EMAS MUSEUM SONOBUDOYO(04/09)
- GAPURA GAYA BENTENG DI JEMBATAN SAYIDAN YOGYAKARTA(01/01)
- 5 Oktober 2010, Bothekan - UCUL SAKA KEKUDANGAN(05/10)
- Pameran Tunggal Lukisan Sohieb Toyaroja Bunga Dan Wanita(13/06)
- HUNIAN DI BANTARAN SUNGAI DI WILAYAH YOGYAKARTA(01/01)
- JETHUNGAN-1 (DOLANAN ANAK TRADISIONAL-13)(21/07)
- DOLANAN GULA GANTHI(26/04)