Tembi

Yogyakarta-yogyamu»HUNIAN DI BANTARAN SUNGAI DI WILAYAH YOGYAKARTA

01 Jan 2008 06:57:00

Yogyamu

HUNIAN DI BANTARAN SUNGAI DI WILAYAH YOGYAKARTA

Telah diketahui secara umum bahwa daerah aliran sungai khususnya pada bagian lembah dikenal sebagai daerah yang subur. Daerah-daerah semacam ini menjadi daerah tujuan hunian (kecuali untuk Amerika Tengah yang pusat pertumbuhan kota kunonya justru berada di daerah pegunungan). Tidak mustahil daerah-daerah aliran sungai menjadi incaran manusia untuk dijadikan sebagai lokasi tempat tinggalnya. Sejak zaman dulu pula daerah-daerah aliran sungai menjadi pusat-pusat pertumbuhan pemukiman dan kebudayaan. Lembah Sungai Indus, Lembah Sungai Eufrat dan Tigris, Lembah Sungai Mekong, dan sebagainya menjadi pusat-pusat pertumbuhan pemukiman dan kebudayaan. Daerah lembah yang merupakan endapan lumpur sungai ini menyediakan tanah yang luas dan subur sehingga mampu menyediakan pangan bagi penghuni/penduduk dalam jumlah yang relatif banyak. Tersedianya bahan pangan dan waktu menyebabkan penduduk di daerah tersebut berkesempatan pula memikirkan peningkatan produksi pangan, meningkatkan mutu hidup, memikirkan masalah-masalah sosial, agama, dan sebagainya. Kota-kota di wilayah aliran Sungai Eufrat dan Tigris, yakni kota Kish, Urbaid, dan Urak (wilayah Irak sekarang) pada masa lalu merupakan kota yang menjadi pusat urban. Sekalipun demikian, hunian di bantaran sungai agaknya dihindari oleh masyarakat pada zaman dulu karena dipandang rawan bencana (banjir atau longsor).

Pada zaman selanjutnya pertimbangan kesuburan tanah itu tidak lagi semata-mata menjadi pertimbangan utama untuk berhuni. Lebih-lebih pada masyarakat modern yang nota bene mata pencahariannya tidak lagi semata-mata tergantung pada sektor pertanian. Lokasi keletakan tanah yang berdekatan dengan pusat-pusat keramaian/perekonommian hampir selalu diburu. Oleh karena itu pula bantaran sungai atau tebing-tebing sungai pun diburu orang untuk tempat berhuni. Harga-harga tanah di daerah bantaran sungai ini secara umum dikenal relatif lebih murah daripada tanah-tanah di lokasi lain. Kemurahan harga tanah di bantaran sungai ini barangkali diakibatkan oleh status kepemilikan tanahnya yang sering juga kurang jelas sehingga sering dianggap tanah tak bertuan atau tanah milik negara yang dalam anggapan umum sering diartikan sebagai tanah milik umum. Mereka juga tidak lagi risau dengan ancaman banjir dan longsornya bantaran sungai karena dalam anggapan mereka semua itu bisa ditanggulangi dengan talud dan tembok-tembok yang dibangun di sepanjang tepian sungai. Sayangnya tidak setiap bantaran sungai yang digunakan sebagai tempat hunian selalu mempunyai pengaman yang bernama talud, tembok, atau apa pun. Kadang-kadang sebuah rumah didirikan begitu saja di bibir sungai.

Anggapan tersebut sering memicu masyarakat kota (dan kaum urban) yang tidak punya lahan untuk menyerbu bantaran-bantaran sungai ini. Bahkan sering ada kesan saling mendahului untuk menduduki bantaran sungai ini. Persoalan timbul ketika bantaran sungai menjadi padat pemukiman. Tidak saja persoalan kebersihan dan kesehatan lingkungan yang ditimbulkan, tetapi juga status tanah itu sendiri. Oleh karena itu pula penanganan tanah di bantaran sungai ini sudah sepantasnya mendapatkan perhatian yang cukup. Keterlambatan penanganan ini sering menimbulkan persoalan tanah menjadi berlarut-larut dan semakin ruwet.

Pemukiman di bantaran sungai apabila tidak titata sedemikian rupa jelas akan menimbulkan berbagai persoalan. Baik itu persoalan keindahan, kesehatan lingkungan, maupun keamanannya. Ada cukup banyak pemukiman di bantaran sungai di wilayah Yogyakarta, contohnya adalah pemukiman di bantaran Sungai Code dan Sungai Winanga. Pemukiman di bantaran Sungai Code, yakni di wilayah Gandalayu pernah ditata oleh almarhum Rama YB. Mangunwijaya. Konsep penataan yang dilakukan Rama Mangun ini dinilai cukup berhasil. Sayangnya, untuk kelanjutan penataan berikutnya terasa 'kehabisan napas' atau kurang bergairah seperti ketika mendiang Rama Mangun masih hidup.

Kelompok-kelompok pecinta Sungai Code barangkali patut didukung sebagai kelompok yang peduli lingkungan Code atau lingkungan dalam pengertian yang lebih luas. Kelompok-kelompok semacam ini setidaknya bisa menjadi teladan bagi masyarakat/kelompok lain untuk turut peduli dan mencintai lingkungannya sendiri. Setelah kelompok pecinta Code barangkali akan bertumbuhan kelompok-kelompok pecinta sungai yang lain yang pada gilirannya bisa menjaga lingkungan sungai beserta habitat yang ada di dalam dan sekitarnya untuk terus hidup dan berkembang menjadi lebih baik. Kelompok-kelompok ini bisa pula mempelopori kesadaran masyarakat penghuni bantaran sungai agar semakin sadar lingkungan. Di samping tentu, sadar pada segalanya.

Berikut ini Tembi menyajikan beberapa contoh pemukiman di bantaran sungai yang berada di wilayah Yogyakarta. Silakan simak, barangkali Anda punya ide untuk ikut mengembangkannya menjadi pemukiman yang semakin enak dipandang, sehat, aman, dan nyaman dihuni.

Teks: Sartono Kusumaningrat
Foto: Didit Priya Daladi




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta