Judul : Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro
Penulis : Rustopo
Penerbit : Ombak, 2008, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xxiii + 352
Ringkasan isi :

Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan HardjonagoroKetika berbicara tentang identitas kejawaan, bukan sesuatu yang mengherankan jika sebagian besar orang Jawa menyatakan bahwa Bayat atau Tembayat di wilayah Kabupaten Klaten merupakan nama yang asing dan tidak istimewa dibanding Yogyakarta atau Surakarta. Berbeda dengan Go Tik Swan Hardjonagoro yang secara sadar telah memilih untuk mengasosiasikan kesejatian Jawa dengan Bayat dalam proses dirinya menjadi Jawa. Sebagai seseorang yang dilahirkan sebagai Tionghoa dan dibesarkan sebagai Jawa, Go Tik Swan menyadari betul adanya keharusan untuk mencari dan membangun jati diri Jawa pada dirinya untuk bekal hidup di tengah-tengah komunitas dan masyarakatnya, tanpa harus mengingkari ketionghoaannya. Bagi Hardjonagoro, Jawa sebagai kebudayaan dan sekaligus jati diri adalah sebuah kebutuhan. Hal ini secara jelas terungkap dalam proses kreatif berkesenian, mentalitas dan tindakan budaya dalam kehidupan sehari-hari yang selalu ingin menampilkan Jawa sebagai sebuah totalitas. Prinsip totalitas ini ternyata juga mempengaruhi cara Hardjonagoro mengidentifikasi dirinya sebagai individu. Menjadi Jawa sejati tidak menghalanginya untuk sekaligus menjadi Indonesia yang utuh, dan tidak menutupi eksistensi ketionghoaannya. Go Tik Swan Hardjonagoro adalah keturunan Tionghoa yang sejak masa kanak-kanak sudah menjadi Jawa, yaitu senantiasa berdialog dengan dan melebur ke dalam nilai, simbol, dan idiom-idiom Jawa. Sepanjang hidupnya dilakoni untuk pencarian dan pemantapan jati dirinya sebagai Jawa yang ditakdirkan melekat sejak dilahirkan.

Go Tik Swan lahir pada Selasa Kliwon, 11 Mei 1931 di Surakarta, anak pertama pasangan Go Dhiam Ik dan Tjan Ging Nio. Pada masa sekolah, ketika pemakaian nama Jawa belum lazim, ia sudah menambahkan nama “Hardjono” di depan namanya, sehingga namanya menjadi Hardjono Go Tik Swan (Hardjono GTS). Dari daratan Cina bagian mana asal-usul nenek moyangnya , sudah tidak ada ceritanya. Tampaknya nenek moyangnya termasuk orang-orang Tionghoa yang datang awal di Jawa, dan sudah menurunkan puluhan generasi, di antaranya hasil perkawinan campur dengan orang Jawa.

Pada masa kecilnya Go Tik Swan, ikut kakek neneknya Tjan Khay Sing yang sangat memanjakannya. Go Tik Swan dibebaskan untuk bermain apa saja yang menjadi kesukaannya. Sejak kecil pula ia sudah tertarik dengan tembang-tembang Jawa (terutama macapat) yang dilantunkan para pembatik (kakek neneknya adalah pengusaha batik, yang nantinya usaha ini ia yang mewarisi), suluk dan antawacana (dialog) wayang yang juga ditirukan oleh para pembatik tersebut. Tidak jauh dari rumah kakeknya ada klenteng (Coyudan), bilamana ada pertunjukan wayang Go Tik Swan hampir tidak pernah absen untuk menonton. Salah satu tetangga dekat Tjan Khay Sing adalah G.P.H. Prabuwinata, (putra Pakubuwana IX) seorang seniman kraton yang ahli di bidang karawitan, tari dan pedalangan. Di sanalah Go Tik Swan berlatih gamelan dan menari. Ia terkenal sebagai penari putra alus. Kesukaan ini membuat ayah dan ibunya marah, tetapi Go Tik Swan tidak mempedulikan. Sebagai seorang penari Jawa, Go Tik Swan mau menari dengan siapa saja dan di mana saja.

Go Tik Swan mulai masuk pendidikan dasar pada usia 7 tahun (1938) di Neutrale Europese Lagere School (NELS) di Surakarta. Kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan seterusnya ke Voorbereiden Hoger Onderwys (VHO), keduanya di Semarang. Setelah lulus orang tuanya mengirim ke Jakarta untuk kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tetapi Go Tik Swan justru mendaftar di Fakultas Sastra, Jurusan Sastra dan Bahasa Jawa (1953). Ketika orang tuanya mengetahui dan Go Tik Swan tetap bersikeras, segala biaya dan fasilitas dari orang tuanya ditarik. Selama kuliah ia aktif pada kegiatan kemahasiswaan, menjadi anggota Senat Mahasiswa Fakultas Sastra dan ketua seksi kebudayaan Dewan Mahasiswa UI. Ia sering muncul dalam pertunjukan tari. Ketika membawakan tarian Gambir Anom di Istana Negara Jakarta (1955), Presiden Sukarno menemui langsung dan memuji tarinya. Sejak saat itu hubungan secara pribadi dengan Bung Karno sangat dekat. Atas permintaan Bung Karno pula, Go Tik Swan membuat ‘batik Indonesia”. Batik Indonesia atau batik-batik lain ciptaannya umumnya berupa kain panjang. Polanya dikembangkan dari pola-pola (Solo-Yogya) yang lama, tetapi pewarnaannya tidak terbatas pada warna coklat soga, biru nila, hitam dan putih, tetapi juga digabungkan dengan warna-warna lain misal merah darah, merah jambu, kuning dan hijau. Motif-motifnya merupakan pengembangan dari motif lama tetapi tetap memiliki makna, seperti Parang Bima Kurda, Sawunggaling, Kukila Peksa Wani, Rengga Puspita dan Pisan Bali. Go Tik Swan juga mengembangkan batik yang tetap dalam nuansa batik klasik kraton, seperti Tumurun Sri Narendra, Parang Mega Kusuma, Slobog, Truntum. Batik Kembang Bangah (bunga yang berbau busuk) diciptakan Go Tik Swan sebagai ungkapan protes terhadap pemerintah yang tidak memihak rakyat tetapi memihak kaum kapitalis. Motif ini sering kali disinggung ketika ceramah atau menulis tentang batik.

Go Tik Swan juga mengabdi di Museum Radyapustaka, Surakarta. Pada masa kepemimpinanannya museum ini menghadapi berbagai masalah. Seperti gugatan dari ahli waris Wirjadiningrat (1971) terhadap tanah dan bangunan yang digunakan. Setelah melalui sidang berkali-kali diputuskan Yayasan Radyapustaka harus memberi ganti rugi. Tahun 1976 subsidi pemerintah dihentikan. Meskipun menghadapi berbagai masalah Go Tik Swan terus berupaya agar museum tetap hidup dan berfungsi. Kegiatan-kegiatan yang cukup penting diantaranya: bekerja sama dengan Cornell University dalam pembuatan micro film buku-buku koleksi museum, pameran antar museum internasional di luar negeri, menerbitkan buku Abdulkamit Herucakra Kalifatullah Rasulullah di Jawa 1787-1855 dan Urip-urip tulisan Soewito Santosa dalam rangka memperingati seabad Museum Radyapustaka (1990). Go Tik Swan menyerahkan kepemimpinan Radyapustaka kepada Suhadi (K.R.H.T. Darmadipura) ketika merasa tidak dapat bekerja secara aktif lagi.

K.G.P.H. Hadiwijaya dan Go Tik Swan pada tahun 1959 mendirikan paguyuban pecinta keris yang disebut Bawarasa Tosan Aji (BTA). Kegiatan utama BTA adalah mengadakan perbincangan atau sarasehan tentang tosan aji yang dilakukan satu bulan sekali. Bahasa yang digunakan bahasa Jawa baik ngoko maupun krama. Materi yang dibahas antara lain ilmu tosan aji (krisologi), lingkungan atau pusat-pusat pembuatan dan penyebarannya, jenis, kegunaan dan kedudukannya, kecuali masalah jual beli. BTA memang tidak melarang anggotanya melakukan jual beli tetapi hendaknya secara wajar. Selain sarasehan juga pameran-pameran dan ceramah-ceramah.

Kedekatan kakek dan neneknya di Solo dengan keluarga Pakubuwana sangat mempengaruhi Go Tik Swan. Pengabdiannya terhadap kraton Kasunanan sangat tinggi. Dialah yang memprakarsai berdirinya Art Gallery Karaton Surakarta. Pada tanggal 11 September 1972, Go Tik Swan oleh Pakubuwana XII diangkat menjadi Bupati Anom dengan gelar Raden Tumenggung (R.T.) Hardjonagoro. Pada tahun 1984 derajatnya ditingkatkan menjadi Bupati dengan gelar Kangjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Hardjonagoro. Pangkat berikutnya adalah Bupati Riyo Nginggil dengan gelar Kangjeng Raden Hariyo Tumenggung (K.R.H.T.) Hardjonagoro pada tahun 1994. Gelar Pangeran diperoleh pada tahun 1998 yaitu Kangjeng Pangeran Tumenggung (K.P.T.) dan yang kedua sebagai Kangjeng Pangeran Aryo (K.P.A.) pada tahun 2001. Gelar dan pangkat yang diberikan oleh keraton menunjukkan bahwa derajat pengabdiannya sangat tinggi. Hampir dalam setiap upacara kraton Hardjonagoro selalu berperan penting, misal upacara Jumenengan, Kirab Pusaka, Garebeg Mulud. Hardjonagoro hampir selalu berperan sebagai pengatur laku. Demikian juga apabila keraton menerima tamu penting, ia selalu menjadi juru bicara atau pemandu. Yang juga penting adalah peranannya ketika membangun kembali keraton yang hancur akibat terbakar. Ketika Pakubuwana XII wafat, Go Tik Swan mengakhiri pengabdiannya. Tetapi oleh Pakubuwana XIII tetap dianggap sebagai salah satu sesepuh keraton dan pada tahun 2005 diberi gelar tertinggi sebagai Panembahan Hardjonagoro.

Sejak bersama-sama dengan K.G.P.H. Hadiwijaya mengelola Museum Radyapustaka, Go Tik Swan merasa sangat prihatin dengan potongan-potongan batu (andesit) patung purbakala yang berserakan di mana-mana. Hal ini mendorongnya untuk melakukan perburuan (di sela-sela usaha batik yang dikelola). Setiap kali mendengar di suatu tempat ada batu kuno ia akan datang dan membawanya pulang. Potongan-potongan tersebut dipelajari dan dibentuk kembali sehingga menghasilkan bentuk sebuah patung. Diantaranya patung Syiwa, Nandi, Kuwera, Durga, Makara, Avalokiteswara dan lain-lain. Patung-patung yang dikumpulkan hampir semua istimewa baik dari segi bentuk, estetika, nilai historis maupun makna simbolis yang dikandungya. Perburuan tersebut terpaksa dihentikan pada tahun 1965 karena alasan politis dan keamanan. Hardjonagoro dalam mengoleksi patung tersebut tidak mempunyai maksud untuk memiliki tetapi untuk memelihara dan mengamankan. Pada 11 Agustus 1985 diserahterimakan patung-patung klasik sejumlah 40 patung kepada Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan dan Direktur Perlindungan dan Pembinaaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala.

Kratonan 101 atau sekarang Yos Sudarso 176 adalah tempat tinggal dan pusat kegiatan Go Tik Swan Hardjonagoro sejak 1950-an. Selain rumah utama sebagai tempat tinggal Go Tik Swan, ada bangunan lain yaitu satu unit bangunan untuk perpustakaan, satu unit bangunan untuk gamelan, satu unit bangunan untuk pertemuan, satu bangsal untuk display/pameran batik, satu bangunan los untuk membatik, satu unit bangunan kayu dua lantai, satu unit bangunan untuk besalen keris, satu unit bangunan untuk ternak burung dan satu unit bangunan untuk gudang atau penyimpanan barang-barang antik.

Kompleks bangunan tersebut semula kediaman Kliwon Suroloyo, ulama Suronoto (pejabat keagamaan) Keraton Surakarta pada masa Pakubuwana II (1726-1749). Kompleks ini ketika dijual oleh ahli warisnya, dibeli oleh Tjan Khay Sing, untuk tempat tinggal sekaligus perusahaan batiknya. Kemudian diwariskan kepada anaknya Tjan Ging Nio (ibu Go Tik Swan). Dari ibunya ini Go Tik Swan mewarisinya. Tempat ini sempat terbengkelai karena tidak lagi digunakan untuk memproduksi batik sejak zaman perang kemerdekaan (1945-1950-an). Go Tik Swan lah yang membenahinya ketika ia mendapat tugas dari Bung Karno agar membuat Batik Indonesia. Kratonan 101 ini tidak pernah sepi dari kegiatan apalagi ketika usaha pembatikan Hardjonagoro mencapai puncak kejayaan (1960-an).

Teks : Kusalamani



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta