Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Carok. Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura

08 Sep 2010 02:17:00

Perpustakaan

Judul : Carok. Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura
Penulis : Dr. A. Latief Wiyata
Penerbit : LKiS, 2006, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xx + 288
Ringkasan isi :

Pada umumnya, orang luar Madura cenderung mengartikan setiap bentuk kekerasan (baik yang berakhir dengan kematian atau tidak) yang dilakukan oleh orang Madura sebagai carok. Padahal, dalam kenyataannya tidak.Carok adalah institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat Madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan faktor-faktor budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi, agama dan pendidikan. Apa saja yang mengusik harga diri orang Madura atau setiap tindakan yang dapat menimbulkan rasa malo hampir selalu berakhir dengan carok. Orang Madura yang merasa malo kemudian melakukan carok disebut sebagai pelaku carok. Tapi ketika carok benar-benar terjadi yang disebut pelaku adalah kedua belah pihak baik yang menyerang maupun yang diserang. Carok hanya melibatkan laki-laki, perempuan tidak pernah terlibat, sehingga bila ada penganiayaan yang melibatkan perempuan hanya disebut perkelahian atau pembunuhan biasa (atokar atau mate’e oreng). Carok, oleh orang Madura, dianggap semata-mata urusan laki-laki, bukan urusan perempuan. Ungkapan yang berbunyi oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan) semakin mempertegas anggapan tersebut. Sehingga carok bisa diartikan sebagai suatu tindakan atau upaya pembunuhan (karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam (pada umumnya celurit) yang dilakukan seorang laki-laki terhadap laki-laki lain yang dianggap telah melakukan pelecehan terhadap harga diri (baik secara individu, sebagai suami maupun secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga), terutama berkaitan dengan masalah kehormatan istri sehingga membuat malo/ malu. Ada dua cara dalam melakukan carok yaitu ngonggai, artinya menantang dan berhadap-hadapan secara langsung dan yang kedua nyelep, artinya mencari kelengahan lawan ketika lawan lengah barulah diserang. Alat atau senjata tajam yang digunakan terdiri dari berbagai jenis, mulai dari yang berbentuk panjang (pedang, tombak, pisau dan sejenisnya), sampai yang berbentuk melengkung (celurit, sekken, calok dan sejenisnya). Dalam prakteknya senjata tajam jenis celurit khususnya are’ takabuwan, yang sering digunakan karena sangat efektif membunuh musuh.

Tindakan atau upaya pembunuhan untuk menebus perasaan malo ini, selain mendapat dorongan dan dukungan keluarga, juga selalu mendapat dukungan dan persetujuan sosial. Carok merupakan media kultural bagi pelaku yang berhasil mengalahkan musuhnya untuk memperoleh predikat sebagai oreng jago atau jika pelaku carok telah berpengalaman membunuh, maka predikat sebagai oreng jago semakin tegas; sehingga keberhasilan dalam carok selalu mendatangkan perasaan puas, lega dan bahkan bangga. Masyarakat juga tidak pernah menyebut dengan istilah “pembunuh” bagi yang berhasil membunuh lawan, juga tidak mengecam atau mengutuk. Dalam konteks legalitas, carok merupakan manifestasi keberanian pelakunya melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam hukum formal (KUHP). Dengan adanya upaya nabang (merekayasa pengadilan dengan menyerahkan sejumlah uang), carok menjadi komoditas yang menyebabkan penerapan sanksi hukum terhadap pelakunya cenderung tidak konsisten.

Sebagai suatu tindakan kekerasan dengan resiko besar (berupa kematian), maka setiap orang yang akan melakukan carok harus melakukan persiapan-persiapan. Persiapan-persiapan yang harus dilakukan pada dasarnya tidak berbeda antara carok yang dilaksanakan secara berhadap-hadapan (termasuk ngonggai), dengan cara nyelep. Pada dasarnya ada tiga prasyarat yang harus dipenuhi yaitu kadigdajan (kapasitas diri), tamping sereng dan banda (dana). Kadigdajan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kesiapan dirinya secara fisik maupun mental. Prasyarat secara fisik dapat berupa penguasaan teknik-teknik bela diri, terutama jika carok dilakukan secara berhadap-hadapan. Prasyarat secara mental pengertiannya lebih mengacu pada kapasitas seseorang, apakah termasuk orang yang punya nyali, angko (pemberani) atau bukan. Prasyarat yang kedua yaitu tamping sereng, artinya seseorang yang akan melakukan carok tidak hanya semata-mata mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga harus mempunyai kekuatan yang diperoleh secara non fisik (supranatural). Berarti ia perlu apagar, yaitu membentengi dirinya agar menjadi lebih tahan atau bahkan kebal terhadapap serangan lawan, yang diperoleh dari kyai atau dukun. Prasyarat yang ketiga yaitu banda (dana). Biaya atau dana dalam kenyataan memang merupakan persyaratan yang harus selalu tersedia. Biaya tersebut antara lain untuk biaya mencari apagar, pembelian senjata tajam, selamatan bagi pelaku yang meninggal, biaya nabang, biaya hidup untuk keluarga selama ditinggalkan karena masuk penjara. Biaya tersebut bisa diperoleh dari penjualan harta benda yang dimiliki, tabungan, sumbangan sanak keluarga atau dari remo carok (mencari dana / uang dengan mengundang teman-teman dalam satu grup remo).

Apabila ditelusuri pada alur kehidupan orang (laki-laki) Madura, tampaknya secara sosial budaya sejak kecil (sekitar 5 sampai dengan 15 tahun), mereka telah dipersiapkan agar menjadi orang angko, dan sifat penakut tidak dikehendaki. Konstruksi budaya itu berlangsung juga dalam kehidupan laki-laki dewasa. Seorang laki-laki yang dianggap penakut akan selalu disindir. Selama ia tidak berani melakukan carok sindiran akan terus berlangsung.

Carok sebagai tindakan kekerasan sebenarnya dapat dihindari apabila ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan juga masyarakat yang bersangkutan. Misalnya pada masyarakat perlu ditegaskan bahwa carok bukanlah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah atau untuk menambah kewibawaan. Bila ada peristiwa carok aparat penegak hukum harus bertindak tegas misal menolak upaya nabang.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta