Dan Wartawanpun Membaca Puisi

Dan Wartawanpun Membaca Puisi

Bulan biru, jauh di langit menyinari panggung terbuka Amphy Theater, Tembi Rumah Budaya. Dalam suasana bulan penuh seperti itu, disertai udara dingin, 17 Wartawan dari beberapa media mengisi acara Sastra Bulan Purnama, yang sudah memasuki edisi 12. Artinya Sastra Bulan Purnama sudah 1 tahun diselenggarakan. Sebut saja, pada edisi ‘ulang tahun pertama’ Sastra Bulan Purnama, yang biasanya disingkat ‘SBP’, meminta wartawan untuk sejenak melakukan refleksi dan tidak menulis berita, melainkan menulis puisi.

Surasa Khocil Birawa, yang sehari-harinya sebagai wartawan harian ‘KR’ mengawali membaca satu puisi karyanya yang berjudul ‘Lamis’. Mungkin karena sudah terbiasa dengan panggung, Khocil membaca dengan penuh ekspresif.

Setelah Khocil, wartawan senior, dan sekarang lebih banyak menjadi tentor para wartawan di LP3Y, Slamet Riyadi Sabrawi, sekaligus seorang penyair membacakan dua puisinya yang ditulis ketika dia opname di RS. Harapan Kita, karena melakukan operasi jantung. Pengalaman riil dari Slamet Riyadi Sabrawi yang ditulis dalam bentuk puisi memberi renungan bagi orang lain.

Sastra Bulan Purnama, yang mengambil tajuk ‘Wartawan Membaca Puisi’ menampilkan wartawan senior, wartawan muda, dan terbilang yunior. Oka Kusumayudha, seorang wartawan senior membacakan tiga puisinya.

Dan Wartawanpun Membaca Puisi

“Beberapa puluh tahun yang lalu, sekitar tahun 1960-an, saya pernah membaca puisi, tetapi orang yang mendengar tidak melihat saya, karena saya membaca puisi di radio RRI Denpasar” kata Oka Kusumayudha mengawali sebelum membaca puisinya. Tiga puisi yang dibaca Oka, masing-masing berjudul ‘Bintaran Tengah’, ‘Pelangi Di Atas Yogya” dan ‘Pulang”.

Masuduki Attamami, yang sekarang menjadi wartawan senior Kantor Berita ‘Antara’, membacakan beberapa puisinya yang pendek2. Masduki, pada tahun 1980-an, atau akhir tahun 1979-an rajin menulis puisi, namun setelah tenggelam di dunia wartawan, tidak lagi memiliki kesempatan menulis puisi.

Untuk memberi selingan, setelah 5 wartawan membaca puisi pada termin pertama, ditampilkan seorang penggurit, Joko Budiharto namanya, yang sehari-hari menjadi wartawan harian ‘KR’. Joko membawa serta pemain siter dan seorang sinden, sehingga geguritan yang dia bacakan dengan diiringi tembang dari suara seorang sinden, terasa memberi ‘warna lain’ dalam Sastra Bulan Purnama’ edisi 12 ini.

Rupanya, wartawan yang terbiasa menulis berita langsung, sepenuhnya tidak bisa ditinggalkan, setidaknya seperti apa yang diakui dan dilakukan oleh Octo Lampito, wartawan senior dan menjabat sebagai Pemimpin Redaksi harian ‘KR’, dia menulis dan membacakan puisinya yang berkisah mengenai korupsi. Nuanasa puitik dan nuansa news menjadi satu sehingga puisinya menjadi terasa menarik.

Dan Wartawanpun Membaca Puisi

Hal yang sama juga dilakukan oleh Sihono, Pemimpin Redaksi Minggguan ‘Minggu Pagi’ dia menuliskan kegelisahannya sebagai wartawan dan mencoba mengkritisi keadaan melalui puisi. Suatu hal yang susah untuk dilakukan melalui tulisan news. Karena menulis berita sangat berbeda dengan menulis puisi.

Wartawan senior ‘Kompas’, Th. Pujo Widijanto, rupanya memiliki kemampuan membaca puisi yang cukup bagus. Pujo seperti sudah ‘terbiasa’ tampil dipanggung, sehingga satu puisi karyanya yang berjudul ‘Syair 17’ dibacakan dengan penuh ekspresif, bahkan Pujo nembang laiknya seorang dalang yang sedang mengawali pertunjukan wayang kulit.

Lain lagi dengan Bambang Sulaksono, wartawan RRI Yogya, dia membaca puisi laiknya siaran di radio RRI, karena itu dalam membaca disertai ilustrasi music. Bambang membacakan satu puisinya yang berjudul ‘Paradoks Negeriku’.

Tentu saja, ada beberapa wartawan muda yang ikut tampil dalam Sastra Bulan Purnama. Mungkin karena jauh lebih muda, sehingga energinya masih kuat. Mereka, para wartawan muda itu seperti Maya Herawati, Tri Wahyu Utami, Budi Cahyana dan Arief Juniato, semuanya dari Harian Jogja, dan lebih dikenal sebagai ‘Harjo’. Wartawan muda ini, membaca puisinya dengan cukup bagus dan terasa sekali menjiwai puisi karyanya. Bahkan, Maya Herawati, yang membaca puisi karyanya berjudul ‘Kupisuhi Matahari’ ketika mengucapkan kata terakhir dari puisinya sambil berlari ke tempat duduk, agaknya tanda dari mengeskpresikan dari kata yang dibacakan itu.

Titi Yulianti, seorang penyair dan sekaligus wartawan, tidak ketinggalan membacakan beberapa puisi karyanya yang pendek-pendek.

Seorang Wartawan dan pemain teater, Subani, membacakan satu puisinya dengan gaya agak teaterikal, yang rupanya upaya untuk ‘menghidupkan’ puisi. Satu puisi yang lain dari karya Subani dibacakan oleh anaknya.

Dan Wartawanpun Membaca Puisi

Satu selingan lagi, ditampilkan pemain gitar akustik Pedro, menggubah puisi menjadi lagu. Dua puisi karya Masroon Bara dan dua puisi karya Ons Untoro dialunkan oleh Pedro. Selesai 4 lagu puisi, Masroom Bara secara spontanitas, sambil tiduran dilantai membacakan satu puisi yang dilagukan Pedro berjudul ‘Aku Ingin Tidur Disampingmu, Ibu”.

Mengakhiri pembacaan puisi, sekaligus sebagai closing, seorang wartawan dan penyair senior membacakan puisi-puisi karyanya. Teguh Ranusastra Asmara, nama wartawan dan penyair senior ini. Pada usianya yang sudah menginjak 65 tahun, Teguh masih aktif dilapangan berbaur dengan wartawan muda lainnya, dan Teguh tidak berhenti menulis puisi. Sebagai penyair sekaligus Wartawan, Teguh kelihatan ‘selalu hadir’ dalam acara sastra yang ada di Yogyakarta, dan hebatnya selalu ambil bagian.

Ons Untoro
Foto2 Sartono Kusumaningrat




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta