Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Perkembangan Peradaban Priyayi

22 Sep 2010 02:19:00

Perpustakaan

Judul : Perkembangan Peradaban Priyayi
Penulis : Sartono Kartodirdjo, A. Sudewa, Suhardjo Hatmosuprobo
Penerbit : Gadjah Mada University Press, 1993, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : vii + 234
Ringkasan isi :

Priyayi menurut etimologi berasal dari kata para yayi (para adik), artinya adik raja. Ada banyak pendapat tentang golongan priyayi di Jawa menurut para ahli. Menurut Van Niel, golongan priyayi sebagai kelompok sosial di sekitar tahun 1900 adalah golongan elit, yaitu siapa saja yang berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur dan menuntun masyarakat. Administratur, pegawai pemerintah dan orang-orang yang berpendidikan dan berkedudukan lebih baik adalah juga priyayi. Elit ini tidak harus berasal dari raja-raja masa lalu, jadi keturunan tidak penting. Berbeda dengan Van Niel, Palmier mengemukakan bahwa asal keturunan menjadi unsur kepriyayian yang menentukan. Oleh karena itu ada dua macam priyayi yaitu priyayi luhur (priyayi yang sebenarnya, dapat dilihat dari jabatan ayahnya, asal keturunan ibunya dan asal keturunan istrinya) dan priyayi kecil (priyayi karena jabatan pada administrasi pemerintahan).

Kuntjaraningrat, mengatakan bahwa pegawai negeri-pegawai negeri sebelum Perang Dunia II dinamakan priyayi. Pada waktu itu dibedakan priyayi pangrehpraja (pejabat-pejabat pemerintah daerah, yaitu orang-orang yang terpenting dan paling tinggi gengsinya di antara priyayi lainnya disebabkan sifat kebangsawanan mereka) dan priyayi bukan pangreh praja (golongan orang-orang terpelajar yang berasal dari daerah pedesaan atau daerah golongan tiyang alit di kota yang berhasil mencapai kedudukan pegawai negeri melalui pendidikan). Di daerah kerajaan Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) yang dinamakan priyayi adalah mereka yang bekerja di kantor-kantor pemerintah dan yang bekerja di istana yang biasanya disebut abdi dalem. Keluarga dan kerabat raja juga disebut priyayi. Untuk membedakan dengan priyayi yang bukan keluarga/kerabat raja mereka disebut priyayi luhur. Priyayi yang lain cukup disebut priyayi atau priyayi cilik.

Golongan priyayi sebagai kelompok sosial memiliki ciri-ciri tertentu yang dengan jelas menunjukkan perbedaannya dengan kelompok sosial lainnya, terutama kelompok sosial dari masyarakat kebanyakan. Ciri-ciri yang membedakan itu seperti bahasa dan adat sopan santun, bentuk rumah kediaman, pakaian, gelar pada nama dan sebagainya. Dari bentuk rumah (dan keluarga besarnya serta pembantupembantunya/abdi), pakaian dan gelar serta namanya sepintas lalu dapat diidentifikasi kepriyayian seseorang. Keadaan sosial ekonomi yang lebih baik daripada rakyat kebanyakan, dan didukung posisi politiknya menunjang golongan priyayi untuk membiayai dan mempertahankan pola hidupnya sesuai gaya dan status kepriyayiannya. Sebagai aristrokrasi kuno di lingkungan masyarakat Jawa yang secara turun temurun telah berkuasa di daerah tersebut, maka meraka mempunyai otoritas tradisional yang membawa kewibawaan dan status tinggi di mata rakyat. Di beberapa daerah, penguasa kolonial memberi dukungan kepada kekuasaan tradisional kaum pangrehpraja ini. Meskipun untuk kepentingan perkembangan ekonomi, perdagangan dan perkebunan, Belanda memasukkan teknologi baru, dan sebagai konsekuensinya menyelenggarakan pendidikan baru, tetapi proses modernisasi birokrasi tidak ditentukan. Belanda lebih bersikap pragmatis sesuai dengan kepentingan kekuatan ekonomi. Kesempatan pertama untuk mendapatkan pendidikan tersebut adalah dari golongan priyayi luhur, sehingga mereka menjadi pelopor perubahan. Rakyat kecil pada akhirnya juga berkesempatan untuk menempuh pendidikan, sehingga dapat merubah status mereka menjadi priyayi baru.

Dengan semakin dalamnya penetrasi kekuasaan lain masuk ke masyarakat Indonesia, maka semakin luas pula proses modernisasi, yang terwujud sebagai perkembangan sistem pengajaran Barat, industrialisasi dan komersialisasi pertanian dan perkebunan, perluasan infra struktur, perubahan birokrasi dan lain-lain. Dengan meningkatnya mobilitas rakyat serta perubahan struktural sistem birokrasi serta perluasannya, muncul sekolah-sekolah sebagai pusat pendidikan; kesemuanya mengurangi konsentrasi kerabat pada lokasi tertentu, sedang individu mempunyai kemungkinan lebih leluasa memencar, antara lain karena lokasi pekerjaannya tersebar, bahkan sering dipindah. Dampak dari proses itu adalah sistem keluarga besar mulai ditinggalkan, sedang pola kehidupan berfokus pada keluarga inti. Pengarahan pada keluarga mulai diganti dengan pengarahan kepada status atau kedudukan dalam masyarakat atau pada pekerjaan atau fungsi yang dijalankan. Kompleks rumah-rumah tipe loji baru tampil di bagian baru kota-kota. Pada umumnya penghuninya adalah priyayi modern yang menjabat sebagai pegawai pemerintah kolonial. Mereka hidup sebagai pendatang dengan keluarga inti (dan pembantu-pembantunya) dengan kehidupan ‘privacy’ yang lebih terjamin. Wajah kota kecil tidak hanya berubah secara fisik, tetapi juga secara sosial. Golongan priyayi modern sebagai orang baru merupakan kelas tersendiri dilihat dari segi pendapatan dan gaya hidupnya. Faktor yang sangat mempengaruhi gaya hidup adalah disiplin kerja yang dituntut oleh profesi atau pekerja dalam jadwal kedinasan. Jam kerja menyita bagian dari hari yang paling produktif (waktu pagi sampai jam dua siang). Jadi jam kantor sebagai waktu pelayanan dan pelaksanaan tugas kedinasan, waktu terselenggaranya sekolah-sekolah, interaksi dan komunikasi dalam fungsi birokrasi dan administrasi dan lain-lain. Kehidupan keluarga mulai lebih intensif, artinya dalam ruang terbatas, lebih banyak hubungan dan interaksi antar anggota keluarga, lebih banyak keakraban dan menghilangkan jarak antara orang tua dan yang muda. Kebiasaan bergaul, sopan santun, tata susila, kesemuanya lebih dihayati dan dibudidayakan dalam keluarga.

Ketika ideologi kemajuan semakin berkembang, lagi pula kesempatan belajar semakin luas, maka arus kemajuan semakin deras, sehingga sistem tradisional semakin mengalami pembongkaran. Di kota-kota besar pergolakan dan perubahan semakin kuat. Di lingkungan itu pula ideologi nasionalisme mempunyai tempat berpijak. Kalau priyayi kecil semakin cenderung ke arah pergerakan nasional serta ideologinya, priyayi luhur/ gedhe ternyata justru semakin konservatif, menyandarkan diri pada penguasa kolonial dan cemas menghadapi kemajuan emansipasi dan nasionalisme Indonesia.

Tampaklah dengan jelas, bahwa pada awal gerakan emansipasi para priyayi luhur ada di garis depan, kemudian pada fase emansipasi mencapai tingkat politik, mereka menjadi konservatif. Hal ini disebabkan golongan ini tetap menginginkan status qua, sehingga perubahan yang terjadi dianggap sebagai ancaman terhadap kedudukan mereka. Ancaman terbesar sebenarnya datang dari kalangan aristokrasi atau priyayi itu sendiri, yaitu dari kelompok kaum intelektual yang berpendidikan tinggi serta mendapat latihan profesional-teknis tinggi. Mereka pada umumnya putra priyayi luhur yang mendapat kesempatan belajar di perguruan tinggi, tetapi menolak mengikuti jejak nenek moyangnya. Merekalah yang menjadi pendukung ideologi baru yaitu nasionalisme. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari kalangan priyayi ada semacam regenerasi atau revitalisasi, sehingga kepemimpinan politik dan sosio cultural dapat diteruskan dari generasi tua ke generasi baru. Ada kemampuan adaptasi priyayi untuk menyesuaikan diri kepada perubahan struktural-fungsional masyarakat sebagai dampak serta bagian proses modernisasi.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta