Judul : Doorstoot Naar Djokja. Pertikaian Pemimpin Sipil – Militer
Penulis : Julius Pour
Penerbit : Kompas, 2009, Jakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : x + 437
Ringkasan isi :
Persetujuan Renville adalah salah satu perjanjian yang ditandatangani antara Belanda yang pernah menjajah Indonesia dan Indonesia. Perjanjian tersebut adalah salah satu perjanjian untuk menyelesaikan konflik antara keduanya. Sesudah Persetujuan Renville ditandatangani bulan Januari 1948, Pemerintah Kerajaan Belanda mendirikan negara bagian di wilayah bekas Hindia Belanda yang telah mereka kuasai kembali. Misalnya Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah itu Belanda membentuk BFO (Bijeenkost Federal Overleg, Pertemuan untuk Permusyawaratan Federal) beranggotakan perwakilan dari negara-negara federal, bulan Mei 1948. Dengan demikian wilayah Republik semakin sempit. Sesudah terbentuk untuk menghilangkan kesan sikap kolonialnya, jabatan Letnan Gubernur Jenderal dihapus, diganti dengan Hooge Vertegenwoordiger van de Kroom (Wakil Agoeng Mahkota), berkedudukan di Batavia untuk mengurus kepentingan Kerajaan Belanda di bekas wilayah jajahannya. Sejalan dengan kebijaksanaan baru tersebut, Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Van Mook, digantikan oleh Dr. LJM Beel (bekas Perdana Menteri Belanda) yang menjadi Wakil Agoeng Mahkota. Ternyata Belanda ingkar janji, persetujuan Renville dilanggar, dengan melakukan agresi militer II 19 Desember 1948, karena sesungguhnya Belanda tetap ingin menjajah dan menguasai semua wilayah Hindia Belanda. Sebagai sasaran utama dan pertama penyerbuan adalah Ibu Kota Republik, yang saat itu berkedudukan di Djogjakarta. Baru kemudian menyusul daerah-daerah Republik lainnya.
Magoewa adalah nama landasan udara, sekitar delapan kilometer di sebelah timur Djokjakarta. Belanda bertekad merebut Magoewa, karena landasan tersebut selama ini selalu dipakai pemerintah Republik Indonesia untuk menembus blokade Belanda, mendatangkan obat-obatan dan juga lalulintas masuknya diplomat asing. Sesuai perintah Jenderal Simon Hendrik Spoor, Panglima KNIL (Koninlijke Nederlands Indisch Leger), Magoewa harus secepatnya direbut untuk dijadikan pijakan pasukannya dalam mendobrak pertahanan Djokjakarta. Dalam brifing tersebut Spoor didampingi Mayor Jenderal Engels, Panglima Divisi C yang lebih populer dalam sebutan Divisi 7 December, dan Kapten Eekhout, Komandan Kompi Pasukan Para. Sebagai pasukan khusus andalan KL (Koninlijke Leger = Tentara Kerajaan), KST (Korps Speciale Troepen) memiliki pasukan dengan kualifikasi para dan komando. Pasukan payung memakai baret merah, sedangkan pasukan komando memakai baret hijau. Jenderal Spoor menamai operasi ini dengan nama Operatie Kraai (kraai arti harafiahnya gagak), sebuah operasi militer gabungan dengan mengerahkan kekuatan pasukan darat, laut dan udara, untuk menaklukkan Djogjakarta. Persiapan Jenderal Spoor untuk merebut Magoewa dengan sekali pukul sangat mengesankan. Kesuksesan serbuan tersebut bertumpu sepenuhnya pada pukulan pertama, serangan udara secara mendadak. Untuk mengelabui pihak luar dengan sengaja Belanda memakai istilah aksi polisionil. Dalam pengertian aksi ini untuk menjaga keamanan berikut ketertiban di dalam negeri, memberantas para ekstrimis pengacau keamanan dalam wilayah kekuasaan Hindia Belanda.
Dalam rencana Operasi Kraai, setelah serangan udara ke Magoewa berlangsung, akan disusul penerjunan pasukan payung baret merah KST yang diterbangkan dari lapangan udara Andir, Bandoeng. Setelah landasan berhasil direbut, dilanjutkan pembuatan jembatan udara, yang akan dipakai pasukan komando baret hijau KST mendarat di Magoewa, sebelum, menyerbu masuk kota Djokjakkarta. Pasukan baret hijau ini akan menyerbu dengan serentak, menerobos melalui dua buah jalan. Dengan strategi tersebut Jenderal Spoor yakin, bahwa pertahanan pasukan Republik pasti kocar-kacir. Sehingga misi utama mereka menyergap sekaligus menaklukkan Ibu Kota Republik, sudah akan bisa dituntaskan sebelum senja datang. Dengan sikap sangat optimis Jenderal Spoor menegaskan, dalam jangka waktu dua minggu, tiga sasaran Operasi Kraai sudah pasti bisa diselesaikan, yaitu:
-
Menangkap pimpinan sipil dan militer Republik yang ada di Djogjakarta
-
Menguasai pusat politik dan militer
-
Omsingelen en uitschakelen, melakukan aksi pengepungan sekaligus menghancurkan konsentrasi perlawanan bersenjata
Sekitar tiga jam 45 menit sebelum Dr. LJM Beel membacakan pernyataan di Radio Batavia (antara lain berbunyi: …kami merasa tidak terikat lagi oleh persetujuan gencatan senjata dengan Republik Indonesia), tepat pukul 05.15, tanggal 19 Desember 1948 Landasan Udara Magoewa sudah dihujani bom oleh tiga pesawat pengebom taktis B-25 Mitchell. Serangan pengecut yang dengan jelas mendahului dikeluarkannya pernyataan perang. Jenderal Spoor selalu menegaskan bahwa kunci sukses Operasi Kraai terletak pada strategische verassing, pendadakan strategis.
Menghadapi serangan pendadakan ke Magoewa, prajurit Angkatan Oedara Republik tidak mau menyerah, meskipun pertempuran berlangsung tidak seimbang. Mereka hanya memakai senapan ringan, tanpa memiliki persenjataan penangkis serangan udara, sekaligus juga masih “miskin” pengalaman tempur. Dalam perlawanan yang gigih namun singkat tersebut, Kadet Oedara Kasmiran, Sersan Major Oedara Tanoemihardjo, Kopral Oedara Tohir dan 30 prajurit lainnya langsung gugur disapu tembakan pasukan Belanda.
Apabila dicermati dari sikap Belanda selama ini, serangan tersebut sesungguhnya bisa disebut bukan pendadakan. Perundingan bilateral antara Indonesia-Belanda (sebagai kelanjutan Perjanjian Renville), yang berakhir di Kaliurang 27 November 1948 telah mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan Belanda mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal yaitu pembubaran TNI dan leburnya status pemerintah Republik Indonesia. Dengan kata lain, Belanda menuntut bubarnya Republik. Dalam pidato radio sesudah gagalnya perundingan tersebut Wakil Presiden Mohammad Hatta secara terbuka mengingatkan: …kita akan segera menghadapi saat-saat genting, seperti halnya ketika kita harus menghadapi agresi militer Belanda I 21 Juli 1947… Dengan demikian agresi Belanda pada saat itu bagi rakyat, pemerintahan dan juga pimpinan TNI sama sekali bukan pendadakan, berbeda dengan agresi militer I. Hanya saja, bahwa pertempuran akan meletus kembali, tidak pernah ada yang bisa memastikan, kapan dan di mana tentara Belanda akan melakukan serangan. Sebagai jawaban atas kemungkinan meletusnya kembali pertempuran, sejak akhir bulan November 1948, pimpinan TNI berusaha meningkatkan kewaspadaan serta memperbaiki struktur organisasi pertahanan Republik. Maka mulai saat itu rentang komando militer disederhanakan, dengan menetapkan Letnan Jenderal Soedirman sebagai Panglima Besar merangkap Kepala Staf Angkatan Perang. Menghadapi kemungkinan meletusnya kembali perang, Panglima Besar kemudian menyempurnakan Perintah Siasat No. 1. Penyempurnaan tersebut dikemukakan secara langsung dalam rapat bersama antara Panglima, Gubernur serta Residen yang dipanggil ke MBKD (Markas Besar Komando Djawa) pada tanggal 11 November 1948. Tiga hal utama yang harus dilakukan oleh pasukan Republik seandainya pertempuran meletus, yaitu :
-
Kota-kota besar dan jaringan jalan raya tidak perlu dipertahankan karena kekuatan musuh dipastikan lebih besar
-
Perlu rencana pengungsian secara total, berikut penyebaran kantong-kantong perlawanan gerilya, karena diperkirakan perang akan berlangsung dalam waktu yang lama dan daerah yang luas
-
Rencana aksi perlawanan pasukan Republik yang dipilih dalam menghadapi serangan Belanda adalah perang gerilya.
Selain itu Kolonel AH. Nasution selaku PTTD (Panglima Tentara dan Teritorium Djawa) telah mengeluarkan warning order (perintah persiapan) kepada seluruh jajarannya. Perintah tersebut antara lain, Panglima Brigade X, Divisi III Diponegoro Letnan Kolonel Soeharto, ditugaskan mempertahankan Djogjakarta, Ibu Kota Republik. KMK (Komando Militer Kota) Djogjakarta harus mempersiapkan pos darurat di dalam Keraton untuk Presiden, sebelum nantinya Presiden dan Wakil Presiden diungsikan ke pos pertahanan di Desa Samigaluh, daerah perbukitan di wilayah Kulon Progo, arah barat Djogjakarta. Kepada Angkatan Oedara diperintahkan untuk mempersiapkan landasan darurat di Gading, Gunung Kidul dengan pertimbangan Magoewa (satu-satunya jalur lalulintas udara Republik) pasti akan diserang dan dikuasai Belanda. Rencana yang lain adalah mempersiapkan sebuah tempat yang rahasia bagi Panglima Besar di Jawa Timur agar tetap bisa memimpin pertempuran. Kemudian pasukan yang dulunya berasal dari daerah Federal yang sebelum persetujuan Renville telah diduduki Belanda, harus melakukan wingate, menyusup kembali ke daerah asal.
Pada waktu Belanda menyerbu Yogyakarta, Wakil Presiden Mohammad Hatta sedang berada di Kaliurang bersama delegasi KTN (Komisi Tiga Negara). Ketika Hatta tiba di Istana Presiden Yogyakarta, sidang darurat sudah dimulai. Sidang tersebut menghasilkan tiga rumusan yaitu:
-
Presiden, Wakil Presiden dan para Menteri memutuskan tidak akan meninggalkan Djogjakarta, dengan pertimbangan tidak ada jaminan pengawalan yang memadai. Selain itu seandainya tertawan masih dapat berhubungan dengan KTN, lembaga pemantau gencatan senjata yang dibentuk dengan mandat resmi dari Dewan Keamanan PBB. Juga tidak akan mungkin tawanan politik dieksekusi, sebab tidak tertangkap dalam keadaan melarikan diri atau dalam pertempuran.
-
Sidang menyetujui, Wakil Presiden yang merangkap jabatan Perdana Menteri serta Menteri Pertahanan, akan menganjurkan lewat radio, semua anggota tentara dan rakyat agar melakukan perang gerilya
-
Presiden dan Wakil Presiden akan segera mengirim kawat kepada Menteri Kemakmuran Sjafroeddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittingi, untuk membentuk pemerintahan darurat, menyusun kabinet baru sekaligus mengambil alih pemerintahan
Mandat tersebut dikirim Presiden dalam bentuk radiogram. Sedangkan Hatta mengirim radiogram kepada Dr. Soedarsono (duta besar Republik Indonesia) dan Mr. Alex Maramis (menteri keuangan), di kantor perwakilan Republik di New Delhi, India. Isinya, jika Sjafruddin Prawiranegara gagal membentuk pemerintah darurat, mereka mendapat mandat untuk membentuk exile government / pemerintah darurat Republik Indonesia di India.
Meski masih dalam kondisi sakit parah, sebagai Panglima Besar merangkap Kepala Staf Angkatan Perang, Soedirman merasa memikul tanggung jawab paling besar jika meletus konflik militer dengan Belanda. Minggu pagi 19 Desember 1948, setelah para pengawalnya melaporkan bahwa tentara Belanda telah mendarat di Magoewa, Soedirman langsung meminta sepucuk pena dan selembar kertas. Panglima Besar menulis sendiri Perintah Kilat No. 1, tertanggal 19 Desember 1948, pukul 08.00. “Angkatan Perang Belanda telah menyerang Djogjakarta dan lapangan terbang Magoewo. Pemerintah Belanda ternyata telah membatalkan secara sepihak persetujuan gencatan sanjata. Untuk menghadapi serangan tersebut, seluruh anggota Angkatan Perang harus segera menjalankan rencana yang sudah ditetapkan…Perintah kilat tersebut langsung dipancarluaskan berulang kali oleh stasiun RRI Djogjakarta.
Sidang kabinet sedang berlangsung sewaktu rombongan Panglima Besar datang. Dan ternyata selama sidang tidak seorang pun pimpinan militer dilibatkan. Soedirman juga hanya dibiarkan menunggu di ruang tamu. Mangil (pengawal pribadi Soekarno) satu-satunya saksi mata ketika berlangsung pertemuan empat mata, antara Soekarno dan Soedirman seusai sidang. Soekarno menganjurkan agar Soedirman bersembunyi di kota dan menuntaskan pengobatan dahulu, tetapi Soedirman menolak mentah-mentah. Kalau sampai seorang Panglima Besar tertawan musuh, maka efek psikologisnya bagi para prajurit sangat besar. Sebaliknya Soedirman mengajak Soekarno untuk berangkat ke luar kota, melanjutkan perjuangan seperti yang dahulu pernah diucapkan sendiri. Soekarno menolak dan tetap bertahan di istana untuk melanjutkan perjuangan secara diplomasi. Akhirnya Soedirman meninggalkan istana dengan perasaan kecewa.
Pukul 11.30 Jenderal Soedirman didampingi Kapten Soepardjo Roestam dan Mayor dr. Soewondo serta dikawal Kapten Tjokropranolo, meninggalkan rumah dinas Panglima Besar di Bintaran. Sebelum berangkat mereka membakar habis semua dokumen yang tersimpan. Rombongan menuju ke Ndalem Kadipaten di lingkungan keraton tempat Ny. Soedirman mengungsi. Pukul 14.00, tentara Belanda dilaporkan sudah sampai di sebelah utara pasar Beringharjo, sehingga Soedirman memutuskan untuk segera bergerilya. Jalur yang dilewati adalah Gading, Pojok Beteng Kidul menuju Kretek. Menjelang magrib mereka sampai di dusun Kretek. Pada Minggu malam sekitar pukul 24.00, rombongan berhasil menyeberangi Sungai Opak memakai rakit atas bantuan Panewu Kretek. Rombongan menuju Desa Grogol untuk bermalam di kantor kelurahan setempat. Sejak saat itulah dimulai gerilya dan penggembaraan Panglima Besar dengan menggunakan tandu bersama anak buahnya yang setia. Sementara itu Kapten Soepardjo Roestam, Sersan Mayor Oetojo Kolopaking bersama Pembantu Letnan Heroe Kesser, diperintahkan terus melanjutkan perjalanan mendahului rombongan berjalan kaki ke Wonosari untuk menyiapkan tempat persembunyian serta mencari hubungan dengan staf Gubernur Militer setempat, Kolonel Gatot Soebroto.
Begitu kota Yogyakarta berhasil direbut tentara Belanda, beberapa pemimpin pemerintah segera menjadi tahanan rumah. Dalam pembuangannya mereka dibagi dalam beberapa kelompok sesuai klasifikasinya. Kelompok Soekarno, Agoes Salim dan Soetan Sjahrir diasingkan ke Brastagi. Kelompok Mohammad Hatta dan Soerjadarma ke Bangka sedangkan kelompok Mohammad Roem dan Ali Sastroamidjojo menyusul ke Bangka, 31 Desember 1948. Belanda juga segera melakukan operasi pembersihan. Siapa saja yang dicurigai langsung ditangkap dan dimasukkan ke penjara Wirogunan, seperti Ki Hajar Dewantara dan Dr. Setiabudi (nama aslinya Douwes Dekker, semula warga negara Belanda). Tentara Kerajaan Belanda memang berhasil menangkap beberapa pemimpin pemerintahan tetapi mereka gagal menangkap Panglima Besar dan Wakil KSAP.
Sesuai rencana Jenderal Spoor, setelah Djogjakarta diserbu, kota-kota lain juga ikut diserbu, salah satunya Solo. Solo, Ibu kota karesidenan Soerakarta, dalam perspektif strategi militer Belanda dianggap penting untuk segera bisa dikuasai. Selain hanya berjarak 60 km dari Djogjakarta, kota terbesar kedua di wilayah Republik ini menyimpan potensi besar dalam memberikan perlawanan. Kenyataannya Belanda memang mendapat perlawanan yang sengit. Begitu mendapat kabar Djogjakarta diserbu tentara Belanda, Letnan Kolonel Ignatius Slamet Rijadi, Komandan Wehrkreise I, segera bertindak dengan mengkoordinasikan anak buahnya untuk melakukan perlawanan. Jembatan-jembatan yang dianggap strategis dan diperkirakan akan dijadikan jalan oleh tentara Belanda dalam rangka memasuki kota Solo, terlebih dahulu mereka hancurkan. Senin sore 20 Desember 1948 berbagai bangunan penting berhasil dibumihanguskan seperti kantor gubernur, pasar Gedhe, asrama TP, Gedoeng Gadjah, kantor pos dan depo persediaan bahan bakar di daerah Ngemplak. Bangunan yang disisakan hanyalah rumah sakit, bangunan keagamaan dan keraton Susuhunan serta Pura Mangkunegaran. Setelah melakukan bumi hangus terhadap bangunan-bangunan penting pasukan segera mundur ke luar kota. Dengan melakukan taktik menghindar serta tidak bersedia melayani serbuan Belanda dalam pertempuran konvensional, pasukan Slamet Rijadi relatif masih tetap utuh. Kedua taktik ini berhasil menghambat gerak pasukan Belanda, sehingga mereka baru dapat memasuki kota Solo Selasa 21 Desember 1948, terlambat dua hari dari jadwal.
Aksi pendadakan yang direncanakan Jenderal Spoor ternyata bukan saja berubah menjadi berantakan, tetapi juga menjadi bumerang dan tidak bisa meraih hasil. Tiga orang delegasi Republik Mr. Soedjono, Prof. Soepomo dan Joesoef Ronodipoero, pada Minggu dini hari, tepat pada hari penyerangan, telah selesai merumuskan laporan untuk dikirimkan kepada Duta Besar Dr. Soedarsono dan Menteri Keuangan Mr. Alex Maramis di New Delhi, sekitar pernyataan Belanda yang tidak lagi mengakui perjanjian Renville. Laporan berhasil dikirim Minggu siang lewat bantuan Konsulat India di Batavia. Minggu sore, All India Radio memberitakan serangan tersebut berdasar release Kedutaan Besar Republik di New Delhi. Berita tersebut langsung dikutip radio berbagai negara. Dunia terkejut dan memberi reaksi keras. Laporan mengenai serangan tersebut, berkat adanya beda waktu sekitar lima jam antara Batavia dan Paris, telah sampai lebih dahulu di Dewan Keamanan PBB sebelum hari pertama pertempuran selesai. Senin pagi, Dewan Keamanan langsung mendesak pemerintah Belanda untuk menjamin keamanan delegasi KTN dan stafnya yang masih berada di Kaliurang, daerah lereng Merapi sebelah utara kota Djogjakarta. Dengan pengamanan sangat ketat kemudian mereka dijemput dan diterbangkan ke Batavia. Reses untuk liburan natal dan tahun baru bagi Dewan Keamanan segera dibatalkan. Dewan Keamanan bersidang secara maraton, dan pada tanggal 24 Desember merumuskan resolusi, mendesak kerajaan Belanda untuk menghentikan agresi dan membebaskan pemimpin Republik yang ditawan. Delegasi Belanda di Dewan Keamanan memahami dan bersedia melaksanakan keputusan tersebut, tetapi pendapat pimpinan politik dan otoritas militer Belanda di Batavia berbeda. Wakil Agung Mahkota Dr. Louis Beel bersama Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor dengan berbagai cara berusaha menghambat pelaksanaannya. Sesudah melihat pihak Belanda tidak menunjukkan tanda-tanda bersedia melaksanakan resolusi tersebut, sehari kemudian 25 Desember 1948 Dewan Keamanan mengulang kembali resolusi disertai ancaman berupa sanksi internasional. Sekaligus memberi mandat kepada KTN untuk secepatnya kembali mengaktifkan Military Executive Board, para perwira militer pemantau gencatan senjata, yang masih berada di Batavia.
Serangan Belanda tersebut ternyata menimbulkan reaksi dari NIT. Hari Minggu itu juga Kabinet NIT mengadakan sidang darurat. Hasilnya mereka memprotes dan mengutuk tindakan Belanda, karena melanggar perjanjian Revnville. Atas dasar itu maka Kabinet NIT secara serentak meletakkan jabatan. Keputusan ini diikuti Kabinet Negara Pasundan di bawah pimpinan Adil Poeradiredja. Secara politis hal ini sangat memukul Belanda. Karena BFO, sekutu utama Belanda untuk merancang hari depan bekas wilayah Hindia Belanda, bukan saja tidak mendukung tetapi justru mengecam. Akibatnya Jenderal Spoor menganggap keduanya sebagai pengkhianat.
Jenderal Spoor merasa yakin jika Ibu Kota musuh berhasil ditaklukkan dan pimpinannya tertawan, maka garis komando lawan pasti berantakan. Sehingga mereka akan segera antri untuk menyerah. Ternyata harapan ini tidak pernah menjadi kenyataan. Jenderal Soedirman dan tentara Republik dengan dukungan rakyat tetap gigih melakukan perlawanan. Salah satunya yang terkenal adalah SO (Serangan Oemoem) di Djogja pimpinan Letnan Kolonel Soeharto yang dilaksanakan 1 Maret 1949. Serangan ini terkoordinasi dengan cermat dan merupakan kejutan. Secara serentak memanfaatkan isyarat tanda berakhirnya jam malam dari bunyi sirene di Pasar Beringharjo, gerilyawan TNI menyerbu Djogjakarta dari empat arah. Serbuan mereka dibarengi hujan tembakan pasukan gerilya yang telah menyusup ke dalam kota. Setelah melakukan penyerangan selama kurang lebih 6 jam, pasukan mengundurkan diri. Serangan tersebut segera diketahui dunia internasional, karena sebelumnya Soeharto sudah mengirimkan beritanya lewat radio. Begitu serangan terjadi, dari pemancar di Plajen, Wonosari, Gunungkidul disiarkan ke Bukkittinggi Sumatra, terus ke Atjeh dari sana terus ke Rangoon sampai New Delhi. Oleh karena itu ketika Selasa sore Dinas Penerangan Tentara Kerajaan di Batavia menyiarkan releasenya tidak begitu mendapat perhatian.
Berbagai negara mengutuk keras agresi tersebut. Ceylon (Srilangka) sejak terakhir bulan Desember 1948 melarang pesawat terbang Belanda mendarat. Aksi boikot ini diikuti India, Pakistan, Birma, Mesir dan Arab Saudi. Kapal-kapal laut Belanda juga dilarang melewati Terusan Suez. Akibatnya jarak tempuh Belanda menjadi lebih jauh. Bahkan Konferensi Asia yang diselengggarakan di New Delhi, India bulan Januari 1949 berhasil mendorong Dewan Keamanan untuk bertindak lebih tegas. Khusus mengenai peran KTN, KTN akan diangkat kembali dengan memakai nama baru UNCI (United Nations Commission for Indonesia, Komisi PBB untuk Indonesia) dengan diberi lebih banyak wewenang dan diberi ijin untuk membuat keputusan berdasarkan persetujuan dua anggota saja tidak harus tiga-tiganya.
Agresi Militer di Djogjakarta telah menyebabkan kehidupan masyarakat kacau balau. Perekonomian mengalami stagnasi, bahkan kemunduran. Ribuan rakyat mengungsi ke pedalaman dengan bekal seadanya, untuk meyambung hidup. Walaupun begitu, warga sipil yang masih tinggal di Djogjakarta menolak bekerja sama dengan Belanda. Dari sekitar 10.000 pegawai negeri sipil tidak lebih 150 orang yang bersedia kembali bekerja. Itupun atas perintah Sultan Djogjakarta, agar masyarakat tidak mengalami penderitaan lebih berat. Sehingga yang bersedia bekerja terbatas pegawai perusahaan air minum, jawatan kebersihan kota dan petugas rumah sakit. Para pejabat Belanda tentu saja paham, meski secara militer Djogjakarta telah berhasil dikuasai, tanpa dukungan warga masyarakat tentu tidak ada artinya. Kunci sukses untuk itu terletak pada sosok Raja Djogjakarta, Sri Sultan Hamengkoe Boewono IX. Untuk itu Belanda telah merancang skenario yaitu mengangkat Sultan sebagai wali negara. Bukan sekedar wali untuk wilayah kekuasaan warisan leluhurnya saja, tetapi meliputi wilayah yang lebih luas yaitu Djogjakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi dengan tegas Sultan menolak.
Sementara itu setelah terjadi SO, yang sangat memalukan bagi Belanda, Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor segera melakukan pembalasan. Tanggal 10 Maret pasukan Baret Merah KST diterjunkan ke Wonosari, Gunung Kidul. Setelah itu pasukan infantri dengan dukungan kavaleri segera naik menyerbu dan menyebar ke Gunung Kidul. Tugas untuk menemukan Jenderal Soedirman berikut radio pemancar milik Republik ini berada dalam komando Letnan Kolonel Cieraad, Komandan Batalyon Infantri 5, Resimen V KNIL. Tetapi mereka gagal, pemancar radio tidak ditemukan sedangkan Jenderal Soedirman menghilang tanpa jejak.
Meski dalam kondisi sakit parah, perjalanan Soedirman bersama kelompok kecil pengawalnya sangat mengagumkan. Setelah meninggalkan Djogjakarta Minggu sore 19 Desember 1948, mereka langsung menerobos perbukitan tandus di pinggir Lautan Hindia. Mereka harus berlomba dengan waktu serta menghindar dari pengintaian intelejen tentara Belanda. Berkali-kali Belanda berusaha menangkap tetapi selalu gagal, karena Soedirman tidak pernah berhenti terlalu lama di suatu tempat, sehingga intelejen Belanda sulit memastikan di mana keberadaan Soedirman. Misalnya, tanggal 24 Desember 1948, rombongan Jenderal Soedirman sampai di Kediri, Jawa Timur. Setelah menerima laporan dan mengadakan briefing dengan Panglima Divisi I, Kolonel Soengkono, sore itu juga rombongan meninggalkan Kediri. Rombongan menuju ke arah barat, menyeberangi Sungai Brantas paginya sampai Desa Soekaramai. Tanggal 25 Desember pukul 08.00, Kediri diserang dari udara dan darat oleh pasukan Marinir Belanda, setelah ada laporan dari intelegen mereka.
Setelah mengetahui sendiri hasil SO 1 Maret 1949, dan juga hasil pembicaraan komisi penghubung BFO dengan peminpin-pemimpin Republik yang diasingkan Belanda di Bangka, sikap BFO semakin tegas dan nyata. Setelah melalui perdebatan yang alot dalam rapat BFO yang berlangsung sampai dini hari 4 Maret 1948, Perdana Menteri NIT mengajukan tiga resolusi yaitu:
-
Membebaskan semua pemimpin Republik tanpa syarat
-
Mengembalikan kekuasaan pemerintah Republik ke Djogjakarta, agar mereka bisa menjalankan kembali kekuasaannya secara sah dan tanpa syarat, sesuai resolusi Dewan Keamanan tanggal 28 Januari 1949
-
Mengundang UNCI turut serta dalam KMB (Konferensi Meja Bundar)
Resolusi tersebut langsung disetujui semua anggota BFO, padahal jelas bertentangan dengan keputusan Pemerintah Kerajaan, yang hanya ingin mengundang Soekarno dan rekan-rekannya sebagai pribadi bukan pemimpin negara. Tekanan kepada Beel datang lagi, ketika Dewan Keamanan mengeluarkan perintah kepada UNCI untuk menjalin komunikasi dengan tahanan politik di Bangka. Sehingga secara tersirat KMB, untuk menyelesaikan pertikaian sekaligus rencana penyerahan kedaulatan, tidak mungkin akan dilaksanakan sebelum pemimpin Republik dibebaskan dan dikembalikan ke Djogjakarta.
Di Belanda sendiri terjadi perbedaan pendapat antara mereka yang setuju dengan gagasan untuk meninggalkan Hindia Belanda secepatnya seperti Tjarda van Starkenborg Duta Besar di Paris, Van Roijen Ketua Delegasi di Dewan Keamanan dan Koets Direktur Kabinet Beel di Batavia. Melawan kelompok yang ingin membentuk pemerintahan peralihan sebelum meninggalkan wilayah jajahannya. Di Kabinet Drees sendiri, Menteri Seberang Lautan Sassen juga mengundurkan diri karena merasa kebijakannya dijegal oleh Beel.
Tanggal 29 Maret 1949, Menteri Luar Negeri Belanda Stikker memberikan instruksi kepada Van Roijen, bahwa Belanda bersedia menyelenggarakan KMB dan juga bersedia datang dalam sebuah preliminary conference. Sebuah keputusan yang menyakitkan Beel.
Dialog antara Pemerintah Kerajaan Belanda dengan Republik dibuka kembali di Batavia tanggal 14 April 1949. Belanda diwakili oleh Dr. JH Van Roijen (ketua delegasi Belanda di PBB), Republik diwakili oleh Mohamad Roem sedangkan UNCI oleh diplomat asal AS, Merle Cochran. Akhirnya tercapai kesepakatan yang dikenal dengan Pernjataan Roem-Roijen, tanggal 7 Mei 1949. Isinya Belanda bersedia menghentikan operasi militer dan mengembalikan pemimpin Republik ke Djogjakarta, sedangkan pihak Republik bersedia untuk menghentikan kegiatan gerilya pasukan. Persetujuan Roem-Roijen ternyata menempatkan TNI pada simpang jalan. Di tengah suasana seperti itu TNI semakin dikejutkan dengan pidato Mohamad Roem yang tidak lagi memakai istilah TNI melainkan kesatoean bersendjata dan istilah para pengikoet Repoeblik jang bersendjata. Jenderal Soedirman merasa tersinggung dan segera mengirim telegram bernada protes kepada pimpinan PDRI di Sumatra. “Angkatan Perang Republik Indonesia masih berdiri tegak di Jawa dan Sumatra”. Soedirman sengaja mengirim ke PDRI karena menganggap pada kenyataannya pemerintah sudah dialihkan, sedangkan mereka yang berada di Pulau Bangka dianggap tidak mempunyai hak suara karena berstatus sebagai tahanan politik. Pimpinan militer Republik, yang tidak pernah merasa diajak bicara, sedangkan hampir setiap waktu mereka terus-menerus bertempur, sangat kecewa dengan lahirnya kompromi tersebut. Pada sisi lain, PDRI yang telah diberi mandat juga kecewa karena tidak dilibatkan.
Soedirman merasa curiga dengan para pemimpin sipil yang dianggap gampang menyerah serta cenderung mengambil sikap kompromi. Dalam pemikiran Soedirman untuk mempertahankan kemerdekaan tidak pernah ada sikap tawar menawar. TNI tidak kenal kata menyerah. Sejak awal Jenderal Soedirman memang konsekuen menentang perundingan, karena pada akhirnya Belanda mengingkari hasil perundingan tersebut. Perlawanan Jenderal Soedirman beserta anak buahnya, justru berhasil dalam usaha membangkitkan persepsi mengenai perjuangan nasional. Rakyat di pedesaan terpencil mulai ikut merasakan bahwa perang kemerdekaan harus bisa dimenangkan. Pada masa kepemimpinan sipil telah berhasil “dilumpuhkan” oleh serbuan tentara Belanda, maka bobot pimpinan militer Republik justru meningkat.
Tetapi yang paling kecewa adalah Louis Beel. Tanggal 9 Mei 1949 dua hari setelah persetujuan ditandatangani, ia mengirim surat kepada Ratu Juliana agar dibebastugaskan. Beel terpaksa minta berhenti karena ia tetap pada pendiriannya bahwa:
-
Republik tidak perlu dikembalikan ke Djogjakarta
-
KMB tetap diteruskan tanpa Republik
-
Tentara Belanda tidak perlu ditarik dari Djogjakarta
Ratu Juliana mengabulkan permohonan tersebut dan surat balasan diterima Beel 20 Mei 1949. Beel semakin terpukul ketika tak lama kemudian Jenderal Simon Spoor sahabat karibnya dalam mempertahankan wilayah Hindia Belanda meninggal dunia. Spoor dimakamkan di kuburan militer Menteng Poelo, Batavia di tengah-tengah anak buahnya.
Upacara resmi pengembalian Karesidenan Djogjakarta ke tangan Republik berawal di Kedaton, Pleret, sebuah desa kuno terletak kurang lebih tujuh kilometer arah tenggara kota Djogjakarta. Kembalinya Djogjakarta ke tangan Republik secara keseluruhan berlangsung aman. Kondisi ini bisa dihasilkan sebagai dampak perjalanan keliling Sultan dibantu Pakoe Alam VIII, menjelaskan proses serah terima yang akan berlangsung. Pasukan Republik juga tidak terpancing untuk memulai insiden, hal yang semula sangat diragukan UNCI, mengingat para gerilyawan bukan anggota militer profesional yang terlatih dan terdidik. Tetapi di beberapa daerah masih sempat terjadi pertempuran, karena tidak mengetahui kalau sudah terjadi gencatan senjata.
Setelah Djogjakarta dianggap benar-benar aman Sultan Hamengkoe Boewono IX selaku koordinator keamanan, melaporkan bahwa Djogjakarta siap menerima kedatangan para pemimpin Republik. Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta tiba kembali di Djogjakarta. PDRI yang semula menentang perundingan dengan Belanda akhirnya bisa memahami setelah diberi penjelasan oleh tim Republik dan bersedia ke Djogjakarta. Sjafroeddin tiba di Djogjakarta 8 Juli 1949, untuk menyerahkan kembali mandat yang pernah diterimanya. Untuk menghindari kesan terjadinya perpecahan pendirian di pucuk pimpinan Republik, Jenderal Soedirman harus bisa diajak kembali ke Djogjakarta. Tugas ini dipercayakan kepada Letnan Kolonel Soeharto. Pertemuan Soedirman – Soeharto berlangsung di rumah kepala Dusun Kredjo, Desa Gadjahan, Kecamatan Pondjong, Gunungkidul. Pada saat itu ada tiga hal yang masih mengganjal dalam pikiran Jenderal Soedirman, yaitu:
-
Jika Soedirman sudah masuk Djogjakarta apakah Belanda tidak akan melancarkan agresi kembali
-
Penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda lewat perundingan jangan sampai menghina TNI
-
Bagaimana secara teknis TNI harus menjalankan gencatan senjata, karena TNI tidak bertempur dalam garis pertahanan, melainkan perang secara gerilya
Setelah mendapatkan penjelasan panjang lebar serta jaminan pribadi dari Soeharto, Jenderal Soedirman memutuskan bersedia turun gunung. Jenderal Soedirman kembali masuk kota Djogjakarta tanggal 10 Juli 1949. Tetapi sebagai akibat penyakit TBC yang sudah lama diderita (bahkan paru-parunya tinggal satu), diperburuk oleh perjalanan selama memimpin perang gerilya, ditambah kekecewaan perasaan terhadap pimpinan sipil pemerintahan Republik, kesehatannya terus menurun. Jenderal Soedirman akhirnya meninggal bulan Januari 1950.
Bila ada pertanyaan jalan perang atau diplomasi yang paling berjasa. Jawabnya adalah, jalan diplomasi yang dilambangkan Soekarno dan Mohammad Hatta jelas menemui kegagalan pada tanggal 19 Desember 1948. Sejak saat itu perjuangan diserahkan kepada kekuatan senjata, yang dilambangkan dengan Jenderal Soedirman. Jalan kekerasan juga masih belum berhasil mengusir Belanda. Maka ditempuh kembali jalan diplomasi. Tetapi diplomasi tidak akan berdaya apa-apa tanpa didukung perang gerilya. Kombinasi antara diplomasi dan kekuatan senjata/perang, itulah yang telah mendatangkan hasil, seperti yang dikatakan oleh Kolonel Simatupang.
Teks : Kusalamani
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Bijdragen(15/09)
- Carok. Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura(08/09)
- Bijdragen(01/09)
- Refleksi Budaya Jawa dalam Pemerintahan dan Pembangunan(25/08)
- BIJDRAGEN(18/08)
- Pribadi dan Masyarakat di Jawa(11/08)
- BIJDRAGEN(04/08)
- Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta(28/07)
- BIJDRAGEN(21/07)
- Jawa. Bandit-bandit Pedesaan. Studi Historis 1850 - 1942(14/07)