Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Pribadi dan Masyarakat di Jawa

11 Aug 2010 11:17:00

Perpustakaan

Judul : Pribadi dan Masyarakat di Jawa
Penulis : Niels Mulder
Penerbit : Pustaka Sinar Harapan, 1996, Jakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : 192
Ringkasan isi :

Kejawen atau kejawaan adalah suatu cap deskriptif bagi unsur-unsur kebudayaan Jawa yang dianggap sebagai pada hakikatnya Jawa dan yang mendefinisikan sebagi suatu kategori khas. Unsur-unsur ini biasanya diperkirakan berasal dari masa Hindu Budha dalam sejarah Jawa dan bergabung dalam suatu filsafat yaitu suatu sistem khusus dari dasar-dasar perilaku kehidupan. Kejawaan atau kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjuk kepada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara pemikiran Javanisme. Secara kosmologi kehidupan di dunia merupakan bagian dari kesatuan eksistensi yang meliputi segalanya. Dalam kesatuan itu semua gejala mempunyai tempat dan berada dalam hubungan-hubungan yang saling melengkapi dan terkoordinasi satu sama lain. Kesatuan eksistensi itu mendapatkan titik puncaknya pada pusat yang meliputi segalanya, pada “Yang Maha Tunggal” (Hyang Suksma) yaitu “Hidup” (Urip) dari mana semua eksistensi berasal dan kepada siapa kembali. Dalam pandangan kejawen praktek keagamaan formal harus dianggap sebagai suatu persiapan untuk bertemu dengan ketuhanan dalam diri, untuk menyadari bahwa ia pada hakekatnya adalah sebagian dari suatu susunan besar.

Dalam arti yang paling umum “rasa” berarti “cita rasa” dan “perasaan”, namun juga berarti hakekat, sifat dasar suatu benda atau kenyataan benda yang sebenarnya. Rasa merupakan sarana pribadi untuk menuju ke wawasan yang sebenarnya, yang merupakan hakekat seseorang dan bagian seseorang dalam Hakekat. Dalam pemikiran Jawa, rasa seringkali dipertentangkan dengan rasio, nalar atau akal yang berarti akal sehat dan merupakan sarana untuk memahami dunia yang menggejala dan kejadian sehari-hari. Namun akal itu tidak melahirkan hakekat dari gejala-gejala ini, yang hanya dapat diraih oleh rasa batin naluriah seseorang. Dalam pandangan kejawen pengetahuan yang sebenarnya dalah bersifat gaib dan subyektif sekaligus, merupakan suatu wawasan pribadi atas sesuatu yang sebenarnya dan mengenai susunannya yang tidak dapat dirumuskan secara obyektif. Oleh karena itu ajaran-ajaran Jawa penuh dengan simbolisme dan ilmu rahasia (ngelmu) yang memacu angan-angan dan renungan.

Kesatuan eksistensi pada dasarnya adalah rahasia, namun juga merupakan suatu tatanan yang teratur di mana kehidupan di dunia dipandang semata-mata sebagai suatu eksponen, suatu bayangan (wewayangan) dari kebenaran yang lebih tinggi. Kesatuan itu tunduk pada hukum kosmis. Hukum itu yaitu ukum pinesthi menyatakan bahwa semua eksistensi harus melewati jalan yang sudah ditetapkan dan bahwa kehidupan merupakan suatu proyek yang tak dapat dielakkan di mana setiap orang harus ikut serta dalam pembatasan-pembatasan pada nasib, tujuan, dan kemauan yang sudah ditetapkannya. Dengan demikian orang mempunyai kewajiban moral untuk menghormati kehidupan. Mereka harus menerima kehidupan sebagaimana adanya sambil menumbuhkan kedamaian jiwa dan ketenangan emosi. Menerima (nrima) berarti tahu tempatnya sendiri berarti percaya pada nasib sendiri dan berterima kasih kepada “Tuhan” karena ada kepuasan dalam memenuhi apa yang menjadi bagiannya dengan kesadaran bahwa semua sudah ditetapkan.

Gangguan terhadap tatanan yang baik pada dasarnya adalah dosa, sedangkan perbuatan yang ditujukan untuk memperbaiki tatanan atau kelanjutan yang menguntungkan bagi tatanan adalah benar dengan sendirinya. Ritual pokok untuk melanjutkan, mempertahankan dan memperbaiki tatanan adalah slametan, yaitu sajian makan bersama yang bersifat sosio-religius di mana tetangga dan saudara ikut serta di dalamnya. Tujuan slametan adalah untuk mencapai keadaan selamat/slamet yaitu “suatu keadaan di mana peristiwa-peristiwa akan bergerak dengan lancar mengikuti jalan yang sudah ditetapkan dan tak akan terjadi kemalangan-kemalangan kepada sembarang orang. Slametan diadakan pada setiap kesempatan kalau terjadi krisis kehidupan dan pada peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang berulang untuk menjamin kesinambungan secara tenang. Semua peserta slametan mempunyai status ritual yang sama, setiap orang memberi sumbangan yang sama kepada kekuatan spiritual dari peristiwa itu. Oleh karena itu slametan berfungsi untuk menunjukkan masyarakat yang rukun, yang merupakan prasyarat untuk memohon agar berhasil berkat dari Tuhan, roh halus dan nenek moyang. Slametan berfungsi untuk menunjukkan keinginan agar dilindungi terhadap bahaya dalam dunia yang kacau. Manusia memainkan suatu peran aktif dalam mempertahankan tatatan ini dan dapat mempengaruhi jalannya, seperti hubungan-hubungan sosial yang teratur baik merupakan sarana dan kondisi untuk memajukan keselamatan itu.

Tatanan masyarakat sering kali dianggap sebagai suatu mikrokosmos dari tatanan Hidup. Model dasar dari tatanan itu terkandung dalam tatanan yang hidup dalam keluarga. Adalah menjadi tugas yang wajar bagi setiap orang dewasa untuk mencari kesinambungan hidup dalam Hidup, untuk kawin dan mempunyai anak. Orang-orang tua mwakili hidup, karena dilahirkan sebelum anak-anak mereka. Maka mereka berada dalam kedudukan moral yang lebih unggul dan mempunyai kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya dari sebelum lahir sampai mereka menikah. Kemudian anak-anak mengambil alih tugas untuk meneruskan garis kehidupan. Betapapun pentingya untuk menghormati tatanan masyarakat dan tunduk kepada orang tua atau atasan, atau betapapun pentingnya untuk tunduk kepada Hidup dan menerima (nrima) jalan yang ditetapkan bagi seseorang, hakekat dari kejawen yang dipikirkan adalah kebatinan, yaitu partumbuhan batin seseorang. Batin inilah yang merupakan mikrokosmos dari Hidup yang mencakup segalanya.

Orang Jawa cenderung untuk mempunyai kesadaran tinggi terhadap keberadaan orang lain. Cita-cita kehidupan bermasyarakat adalah untuk mengalami masyarakat yang serasi, yaitu rukun. Kerukunan tidak datang sebagai suatu pemberian atau sesuatu yang datang dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari kemauan aktif untuk saling menghormati dan saling menyesuaikan diri. Kemauan ini didasarkan pada pengakuan bahwa orang tidak bisa hidup sendirian. Secara kemasyarakatan dipertahankannya hubungan-hubungan yang tertib dinyatakan dalam desakan untuk hidup sesuai dengan kaidah-kaidah setempat dan ikut memikul berbagai jenis kewajiban. Saling menghormati berarti saling menerima dan berfungsi untuk mempertahankan tatanan yang baik, sambil mencapai, secara individual, kelangsungan yang tak terganggu (tentrem). Untuk dapat menikmatinya orang harus belajar menguasai emosi-emosinya sambil mengikuti aliran masyarakat (ngeli), menanamkan ketahanan (sabar), rendah hati (andhap asor), dan kemampuan untuk menerima kemalangan dengan anggun dengan harapan akan mengalami hari esok yang lebih baik (nrima). Kalau sumber-sumber batin bergabung dengan tujuan dan kegiatan sosial, orang dapat menjadi hebat sebagai seorang pemimpin, dalam bahasa kejawen orang akan bersinar memperindah dunia (mamayu hayuning buwana).

Walaupun tidak drastis, tatanan-tatanan dalam masyarakat Jawa mengalami berbagai perubahan, baik dalam lembaga-lembaga inti keluarga maupun masyarakat setempat di mana seseorang tinggal. Para orang tua sering kali menerobos hirarki dan “jarak’ yang ada dengan anak-anaknya agar lebih akrab. Ikatan-ikatan dalam masyarakat juga tampak mengendor, tidak hanya disebabkan oleh keterlibatan yang lebih besar kepada dunia luar tetapi juga karena sistem terdahulu mengenai kewajiban terhadap satu sama lain dipandang merepotkan. Dalam proses itu hubungan-hubungan yang sebelumnya bersifat wajib cenderung untuk menjadi lebih praktis dan dipilih-pilih. Banyak orang merasa lebih bebas untuk mengungkapkan pandangannya secara terbuka dan menangani urusannya sesuka hati mereka, dibandingkan dengan gaya yang lebih tenang di masa lampau. Seringkali mereka merasa puas atas usaha mereka untuk mengejar standar kehidupan yang lebih tinggi yang berlawanan dengan idam-idaman lama mengenai kesederhanaan dan sikap hidup yang tak berlebih-lebihan.

Tatanan baru yang berubah adalah tatanan kerja, bukan tatanan moral yang didasarkan atas tempat secara kosmis, tetapi suatu tatanan di mana orang berjuang lebih banyak untuk mempertahankan hidup daripada untuk kepuasan. Dalam tatanan baru itu status kharismatik telah digantikan oleh kemewahan dan kepuasan, ngelmu oleh ijazah, kegaiban oleh teologi, tekanan sosial oleh ungkapan pribadi, Jawa oleh Indonesia, sumber daya batin oleh ketrampilan lahir, dan etika mengenai tempat dalam masyarakat oleh individualisme. Tatanan menjadi gampang berubah, dan kemauan pribadi, emosi dan kepentingan pribadi semakin dekat dengan permukaan kehidupan sosial.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta