Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Jawa. Bandit bandit Pedesaan. Studi Historis 1850 1942

14 Jul 2010 11:12:00

Perpustakaan

Judul : Jawa. Bandit-bandit Pedesaan. Studi Historis 1850 – 1942
Penulis : Suhartono W. Pranoto
Penerbit : Graha Ilmu, 2010, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : XV + 208
Ringkasan isi :

Hampir sepenuhnya dalam lembaran sejarah Indonesia petani menjadi obyek eksploitasi baik oleh pemerintah kerajaan maupun pemerintah kolonial. Sejak tahun 1800 pemerintah kolonial mengubah cara eksploitasi dari cara lama yang konsevatif yang memusatkan pada perdagangan yang dikelola VOC, menjadi eksploitasi yang dikelola oleh pemerintah mau pun swasta. Eksploitasi ini dipusatkan pada memanfaatan faktor produksi yang sangat kaya di Indonesia yaitu tanah dan tenaga kerja. Dengan adanya faktor tersebut pemerintah mengganti tanaman tradisional (traditional crops) dengan tanaman komersial (commercial crops), yang berarti membuka pedalaman Jawa bagi lalu lintas perdagangan dunia. Untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya pemerintah kolonial menarik pajak tanah dari petani, dan juga menyewakan tanah kepada pihak swasta. Tetapi cara ini dianggap masih kurang menguntungkan sehingga diterapkan sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel). Sistem ini memberi keuntungan yang besar bagi Belanda, tetapi petani sebaliknya samakin menderita. Karena banyaknya kritik, sistem Tanam Paksa dihapus tahun 1870. Kemudian diganti dengan sistem liberal (1870-1900) dan sistem politik etis (1900-1942). Sekalipun sistemya diganti, eksplotasi agraris tetap semakin intensif sehingga petani juga semakin menderita kelaparan dan kemiskinan.

Dengan diperkenalkannya tanaman komersial berarti masuknya pengaruh perkebunan ke pedesaan Jawa, bukan hanya pengaruh pada kelembagaannya saja tetapi juga termasuk sistemnya sehingga mau tidak mau lembaga-lembaga tradisional terdesak. Masa-masa sebelum datangya perkebunan kehidupan petani relatif lebih baik karena adanya keseimbangan pajak dan penghasilan. Praktek perkebunan memang tidak memberi hak hidup pada petani, karena telah menelan tanah dan tenaga kerja, sehingga petani tidak mendapat bagian hajat hidupnya secara layak.Perkebunan yang mempunyai jiwa kapitalis berusaha menguras habis kekayaan di pedesaan tanpa imbal balik yang setimpal. Sebagai kompensasi kekecewaaannya petani melakukan tindakan “kasar” seperti yang tercermin dalam budaya mereka yaitu budaya pedesaan. Jalan keluar yang mereka tempuh dengan perampokan yang dalam terminologi kolonial disebut perbanditan. Perbanditan tidak lain adalah bentuk dari kriminalitas yang berkembang di masyarakat agraris.

Tulisan dalam buku ini meneliti tentang kasus perbanditan di daerah karesidenan Banten dan Batavia, daerah vostenlanden Yogyakarta dan Surakarta serta karesidenan Pasuruan dan Probolinggo. Kehidupan ekonomi masyarakat di daerah tersebut bersumber dari hasil agraris, sehingga tanah menduduki posisi yang sangat penting. Berkembang luasnya tanaman perdagangan (perkebunan) membawa perubahan sosial yang sangat besar. Di satu pihak bagaimana perkebunan mengelola manajemen sehingga memperoleh keuntungan besar, tetapi di sisi lain perekonomian tradisional yang merupakan saka guru kehidupan petani terdesak. Dengan berkembangnya perkebunan berarti tenaga kerja petani dimanfaatkan semaksimal mungkin. Petani harus memberikan layanan kerja kepada perkebunan yang diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan. Dan pada akhirnya petanilah yang menderita.

Perbanditan yang timbul sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan hilangnya fungsi tanah. Dalam hubungan pemilikan tanah, kedudukan petani hanya penggarap tanah gadhuhan para pemegang tanah (apakah itu tanah swasta, tanah apanage atau tanah gubernemen). Hak menggarap tanah ini masih disertai dengan kewajiban membayar bermacam-macam pajak baik berwujud barang, tenaga maupun uang. Dari hubungan pemilikan tanah dan kewajiban pajak, petani juga memperoleh pendapatan berupa hasil tanah. Dalam perkembangan selanjutnya petani mendapat upah karena berkembangnya monetisasi yang antara lain berupa kerja upah. Akan tetapi perolehan tersebut dikonsumsikan kembali dan praktis petani tidak memegang uang. Untuk memenuhi kebutuhan mereka terpaksa berhutang. Kedudukan petani dan buruh menjadi lemah dan tergantung pada tuannya. Meskipun setelah tahun 1870-an terjadi perkembangan tenaga kerja bebas, artinya seseorang dapat melakukan kontrak/perjanjian kerja sendiri, dalam prakteknya masih memakai cara lama yaitu secara kolektif melalui kepala desa, karena kepala desa yang dianggap mengetahui seluk beluk tenaga kerja di pedesaan. Rekrutmen tenaga kerja yang berlebihan dan tetap memfungsikan petani sebagai tenaga kerja murah tidak memberi kesempatan mereka mendapat mobilitas sosial.

Di antara perkebunan yang ada, perkebunan tebu yang dianggap paling menyengsarakan. Antara tahun 1910-1925 perluasan perkebunan tebu terus meningkat arealnya. Pabrik gula banyak didirikan di vorstenlanden, Pasuruan dan Probolonggo, juga Batavia. Perluasan ini sudah tentu merampas sawah petani termasuk kebutuhan airnya. Petani semakin terikat dan tergantung pada uang sewa yang dibayarkan pihak perkebunan.

Akibat tekanan-tekanan tersebut petani melakukan “perlawanan”. Reaksi yang dilancarkan petani sebanding dengan tekanan yang diterima. Semakin besar tekanan yang diterima, semakin keras pula reaksinya. Di Jawa, bandit dapat disamakan dengan durjana, lun, bajingan, gentho dan lain-lain yang dapat dilakukan oleh individu atau kelompok. Perbanditan itu sendiri merupakan resistensi terhadap kemiskinan, tekanan pajak, kerja wajib, dan tekanan sosio-politik. Menurut pemerintah kolonial resistensi ini dipandang sebagai kejahatan yang dilakukan penjahat atau bandit. Meskipun demikian dapat dibedakan menjadi resistensi biasa yang mengacu pada kejahatan semata-mata (crime), resistensi yang mengacu pada pelepasan dari tekanan sosial (social bandit), dan resistensi yang mengacu pada pelepasan dari tekanan soial keagamaan (religius movement). Berdasarkan kesadaran politik, resistensi petani berupa perbanditan dapat dibedakan menjadi gerakan yang belum sadar politik (resistensi prapolitik), setengah sadar politik (resistensi quasi-politi) dan sadar politik sepenuhnya (resistensi sadar poitik). Gerakan yang tidak sadar politik lebih didominasi oleh tindakan kejahatan semata-mata yang diwujudkan dalam bentuk pencurian, begal dan sejenisnya. Gerakan setengah sadar politik dilakukan oleh individu maupun kelompok yang diwujudkan dalam bentuk perampokan dan pengkecuan. Gerakan sadar politik sepenuhnya diwujudkan dalam bentuk gerilya, pemberontakan dan sejenisnya.

Sasaran perbanditan adalah individu maupun lembaga kolonial yang dianggap merugikan kehidupan masyarakat pedesaan. Tindakan perbanditan dapat dilakukan setiap saat atau menurut waktu-waktu tertentu. Perbanditan lebih bersifat lokal dan jaringan dengan lokal lain sangat jarang, yang terjadi justru persaingan siapa yang paling berpengaruh di daerah tertentu. Di Jawa, bentuk resistensi berupa pembakaran kebun tebu, los tembakau, pengrusakan irigasi, gudang dan bangunan lain, pencurian, pembegalan dan lain-lain. Di pihak lain, resistensi besar dan serius diwujudkan dalam bentuk perampokan dan kerusuhan. Di daerah Banten dan Batavia perbanditan yang dominan merupakan resistensi terhadap penghisapan tuan-tuan tanah swasta, baik orang Belanda mau pun Cina. Di vorstenlanden perbanditan didominasi oleh kecu yang menolak dominasi agroindustri pemerintah mau pun swasta. Di Pasuruan dan Probolinggo diwujudkan dalam bentuk pembakaran perkebunan tebu, selain pencurian ternak.

Meskipun perbanditan pedesaan sifatnya lokal, mempunyai ciri khas, hidup dalam jangka pendek, tetapi perbanditan tetap ada selama petani masih dieksploitasi dan dirugikan. Merebaknya perbanditan adalah salah satu bentuk “ketidakmampuan” elite penguasa untuk mengetahui sebab-sebab utama keluhan petani.

Teks : Kusalamani



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta