Tembi

Berita-budaya»TIGA CALON BERTANDING UNTUK MENJADI WALIKOTA YOGYA

12 Sep 2011 07:51:00

TIGA CALON 'BERTANDING' UNTUK MENJADI WALIKOTA YOGYABeberapa hari ini, di kota Yogyakarta mudah ditemukan berbagai spanduk atau poster lainnya yang dipajang dipinggir jalan. Wajah tiga calon walikota berikut wakilnya meramaikan Pilkada Kota Yogya untuk menduduki jabatan walikota. Ketiga calon itu ialah, Nomor 1 pasangan Muhammad Zuhrif Hudaya- Drs Aulia Reza Bastian, M.Hum. Nomor 2 Ahmad Hanafi Rais, SIP, MPP-Ir.Tri Harjun Ismaji M.Sc. Nomor 3 Drs.H. Haryadi Suyuti-Imam Priyono D. Putranto, SE., M.si.

Setelah reformasi bergulir dan rezim berganti, meski langkah reformasi tidak memiliki arah yang memihak pada rakyat, tetapi hasil dari reformasi berupa undang-undang pemilihan kepala daerah, membuat rakyat bisa berpartisipasi langsung untuk memilih pemimpinnya. Meski kita tahu, calon yang muncul, setidaknya setelah walikota dipilih langsung dan ada lebih dari satu calon. Para calon, kebanyakan bukan kader partai, yang sudah lama memang bekerja untuk partai, artinya memiliki basis rakyat. Tetapi para calong adalah ‘pendatang’ dari luar partai. Pada pilkada Kota Yogya 25 September 2011 nanti, dari ketiga calon, yang berasal dari rakyat hanya satu: pernah menjabat sebagai anggota DPRD kota Yogya. Calon lainnya, selain bekerja dibirokrasi adalah akademisi. Ada juga calon lain dari LSM, setidaknya dari lembaga sosial masyaralat.

Melihat dari tempat kelahirannya, dua calon termasuk wakilnya, berasal dari Yogyakarta. Bersekolah, sejak SD sampai perguruan tinggi di Yogya. Satu calon lainnya, termasuk wakilnya, dari luar Yogya. Bersekolah sejak SD sampai menengah atas tidak di Yogya. Hanya ketika kuliah mengambil perguruan tinggi di Yogyakarta. Ini artinya, kedua calon memang sudah sajak lahir ‘menghirup’ udara Yogya, dan satu calonnya lainnya, setelah dewasa ‘menetap’ di Yogyakarta. Yang pasti, ketiga calon kiniTIGA CALON 'BERTANDING' UNTUK MENJADI WALIKOTA YOGYA, adalah warga kota Yogyakarta.

Sebagai suatu wilayah, kota Yogya wilayahnya tidak besar. Penduduknya sudah padat dan terdiri dari kampung-kampung. Artinya, kota Yogya sesungguhnya disangga oleh kampung-kampung. Berbeda dengan daerah kabupaten yang secara geografis luas, misalnya Kabupaten Sleman atau Bantul. Kota Yogya sudah tidak memiliki sawah sebagaimana daerah lainnya disekitarnya. Karena daerah persawahan di kota Yogya telah berubah menjadi bangunan dan pemukiman. Karena itu, tak ada hasil pertanian yang dipakai untuk menopang pemerintah kota Yogyakarta.

Ada calon walikota, yang mungkin menyadari bahwa daerahnya disangga oleh kampung-kampung, memiliki program hendak memberdayakan kampung-kampung. Tentu saja ini program yang menarik. Uang sebesar 80 milyar dianggarkan, setidaknya kalau terpilih, akan dipakai untuk membangun kampung-kampung.

Namun karena kampung-kampung di kota Yogya sangat kompleks, tentu saja, perlu ada penjabaran apa yang dimaksud dengan membangun kampung. Apanya yang akan dibangun dari satu kampung? Karena kampung yang satu dengan kampung lainnya memiliki permasalahan yang berbeda.

Terlepas dari program yang sudah mereka rencanakan. Hal yang penting untuk dimengerti, dalam konteks politik lokal, pilkada pada September 2011 ini memiliki dinamika yang menarik. Paling tidak ada tiga calon yang muncul dan semuanya didukung oleh partai. Tidak ada calon independen yang muncul. Dari tiga calon ini akan dipililih oleh 300 ribu lebih pemilih. Dinamika masyarakat dalam berpartsipasi setidaknya bisa dilihat pada saat kampanye pilkada damai yang diselenggarakan oleh KPU dengan melakukan karnaval dari parkiran Abubakarali sampai titik nol kilometer. Pada titik ini, kesepakatakan pilkada damai dilakukan, bahwa masing-masing siap menang dan siap kalahTIGA CALON 'BERTANDING' UNTUK MENJADI WALIKOTA YOGYA. Tidak melakukan kerusuhan setelah kalah. Ketidak puasaan atas kekalahan karena kecurigaan kecurangan bisa ditempuh melalui jalur hukum. Karena sengketa pemilu/pilkada ditangani oleh MK.

Pada konteks politik lokal, kita bisa melihat, masing-masing calon memiliki supporter tokoh masyarakat yang ‘disegani’ oleh warga Yogya. Artinya, para calon berusaha memiliki ‘legitimasi’ dari orang-orang yang mempunyai pengaruh di Yogya.

Yang perlu diperhatikan, dan ini terjadi pada pemilukada diseluruh Indonesia, ialah apa yang orang mengenalnya sebagai money politik. Hal ini tidak bisa dihindari dan calon yang memiliki uang banyak, atau mempunyai sponsor, akan memiliki pengaruh pada pilihan personal para pemilih. Artinya, upaya untuk membeli suara, meski dilakukan dengan tidak transparan, akan mempengaruhi pilihan pemilih terhadap calonnya.

Mudah2an untuk pemilukada kota Yogya, meski money politik sepenuhnya tidak bisa dihindari, para pemilih bisa memutuskan untuk memilih calon pemimpinnya bukan berpijak pada jumlah uang yang diterima, tetapi memilih berdasar kemampuan dan komitmen yang dimiliki calon pemimpinnya.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta