Teaterikalisasi Sastra dalam Sastra Bulan Purnama

Semua cerita ‘dipertemukan’ pada satu momentum untuk mengenang Niesby Sabakingkin, penulis dua cerpen yang ditampilkan. Semasa hidupnya, Niesby dikenal sebagai wartawan dan pemain teater.

Bambang Gundul membacakan <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/teaterikalisasi-sastra-dalam-sastra-bulan-purnama-5527.html'> puisi</a>berjudul “Keluh” dalam acara Sastra Bulan Purnama di Pendapa <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/teaterikalisasi-sastra-dalam-sastra-bulan-purnama-5527.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, foto: Sartono
Bambang Gundul

Satu pertunjukan teaterikalisasi sastra, yang memadukan cerpen dan puisidalam satu pertunjukan, telah diselenggarakan dalam acara Sastra Bulan Purnama edisi ke-29, Jumat malam 17 Januari 2014, di Tembi Rumah Budaya, Sewon, Bantul, Yogyakarta.

Pertunjukan disutradasi oleh tiga sutradara handal dari Yogya; Meritz Hindra, Puntung CM Pujadi dan Nano Asmoradhana. Dua cerpen dan 14 puisidibingkai menjadi satu pertunjukan, dan seolah menjadi satu kesatuan, padahal masing-masing berdiri sendiri. Cerpen berjudul ‘Gundhik’ membuka pertunjukan, dan di tengahnya para penyair dan pembaca puisimembaca puisidengan cara teaterikal, dan ditutup teaterikalisasi cerpen.

Cerpen ‘Gundhik’ di-dramatik-reading-kan oleh Meritz Hindra bersama dua orang pemainnya yang berperan sebagai ibu dan anak dengan nama ‘Gundhik’. Meritz bertindak sebagai narator sekaligus sutradara.

Pembacaan puisidengan ekspresi berbeda-beda, misalnya Syam Chandra, yang membacakan puisiberjudul ‘Rumah Kaca’ karyanya sendiri, dengan menggunakan kostum jathilan dengan membawa cemeti. Iringan musik jathilan yang digarap oleh Pardiman Djojonegoro seperti membuat Syam Chandra ‘ndadi’ sambil terus membaca puisi.

Syam Chandra membacakan <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/teaterikalisasi-sastra-dalam-sastra-bulan-purnama-5527.html'> puisi</a>berjudul ‘Rumah Kaca’ dengan kostum Jathilan dalam acara Sastra Bulan Purnama di Pendapa <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/teaterikalisasi-sastra-dalam-sastra-bulan-purnama-5527.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, foto: Sartono
Syam Chandra

Lain lagi dengan Bambang Gundul, yang membaca puisiberjudul ‘Keluh” karyanya sendiri, dengan menggunakan kostum laiknya Pangeran Diponegoro, membawa tongkat dan suaranya lantang. Gundul, demikian panggilannya, terasa sekali menghayati puisikaryannya sendiri.

Dinar, yang membaca puisikarya penyair Bambang Darto berjudul ‘Buat Adik Niesby Sabakingkin’, menggunakan model silat. Dia meloncat-loncat sambil membaca puisi. Berhenti pada satu titik, di atas level, Dinar berteriak membaca bait-bait puisidan meloncat ke level yang lain. Puisinya menjadi terasa hidup.

Maria Widy Aryani, yang membacakan puisikarya Latief Noor Rochmans berjudul ‘Overture yang Begitu Cepat’ diawali dengan menyanyi, dengan kostum warna pink dan mengenakan sayap laiknya malaikat. Maria menari, memeragakan terbang, sambil terus membaca puisi.

Evi Idawati, yang membacakan puisikaryanya berjudul ‘Kematian adalah Kelahiran Baru’ dengan diiringi tarian. Beberapa perempuan belia mewarnai bait-bait puisiyang dibacakan Evi Idawati dengan penuh ekspresi.

Laiknya seorang tentara, mengenakan baret, Gege Hang Andika, seorang aktor senior dari Teater Alam Yogya, membaca puisiberjudul ‘Kali Terakhir Bersama Niesby’ dengan mengambil peran sebagai seorang tentara. Dengan sikap hormat, laiknya laporan kepada komandan, Gege mengawali membaca puisinya. Gege ‘menghidupkan’ ‘jiwa puisi’ melalui peran disiplin seorang tentara.

Maria Widy Aryani membaca <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/teaterikalisasi-sastra-dalam-sastra-bulan-purnama-5527.html'> puisi</a>berjudul Overtune yang Begitu Cepat karya Latief Noor Rochmans dalam acara Sastra Bulan Purnama di Pendapa <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/teaterikalisasi-sastra-dalam-sastra-bulan-purnama-5527.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, foto: Sartono
Maria Widy Aryani

Pembaca lain, dengan gaya yang berbeda, tetapi umumnya membaca puisiatau deklamasi dilakukan Teguh Ranusastra Asmara, Kocil Birawa, Ndari Sulandari, Umi Kulsum, Titi Yulianti dan Budhi Wiryawan. Penampilan mereka tetap menarik di hadapan penonton yang memenuhi pendapa.

Penampilan terakhir, mengolah cerpen berjudul ‘Suami ke-1000’ karya Niesby Sabakingkin, menjadi satu pertunjukan teater yang disutradarai oleh Liek Suyanto, yang dimainkan oleh para pemain muda dan kebanyakan perempuan. Cerpen ini mengisahkan seorang laki-laki yang menyunting putri dari Ratu Kidul, dan setelah diperkenankan menyunting diberi nama ‘Pangeran Samudra’.

“Malam ini juga, Anak Mas boleh menyunting Nimas Roro Wulan dan mulai saat ini sebutanmu adalah Pangeran Samudra,” begitulah kata dari Kanjeng Ibu, sebutan dari Ratu Kidul dalam cerpen ini.

Masing-masing cerita, dua cerpen dan puisiyang tidak dalam satu kisah, oleh tiga sutradara itu dibingkai dalam satu kisah. Semua cerita ‘dipertemukan’ pada satu momentum untuk mengenang Niesby Sabakingkin, penulis dua cerpen yang ditampilkan. Semasa hidupnya, Niesby dikenal sebagai wartawan dan pemain teater.

Dengan demikian, pertunjukan yang diberi tajuk “Obituari Niesby Dalam Pertunjukan Sastra”seolah menjadi satu kisah cerita yang utuh. Pertunjukan ini memberi warna pada pertunjukan Sastra Bulan Purnama yang diselenggarakan Tembi Rumah Budaya sejak lebih dari dua tahun lalu.

Meritsz Hindra bersama dua pemainnya membacakan cerpen berjudul ‘Gundik” karya Nisby Sabakingkin dalam Sastra Bulan Purnama di <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/teaterikalisasi-sastra-dalam-sastra-bulan-purnama-5527.html'>Tembi</a>Rumah Budaya, foto: Sartono
Meritz Hindra bersama dua perempuan pemain

Ons Untoro
Foto:Sartono



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta