Seni Rupa di Tubuh Gitar Dewa Bujana
Perupa yang menggoreskan cat di tubuh gitar milik Dewa Bujana adalah perupa terkenal yang harga karyanya sangat mahal hingga bilangan milyaran rupiah. Para perupa itu, diantaranya Jeihan, Nyoman Gunarsa, Djoko Pekik, Nasirun, Putu Sutawijaya, Nyoman Nuarta, Made Wianta, Srihadi Sudarsono.
Sen rupa gitar Dewa Budjana karya Nyoman Mandra
Kali ini kita bisa melihat, karya senirupa dari para perupa terkenal, yang menggoreskan cat tidak di kanvas, melainkan di tubuh gitar. Adalah Dewa Bujana, gitaris group musik GIGI, yang memiliki ide tersebut. Gitar koleksinya, yang nanti dipajang di mesum gitar miliknya, direspon oleh para perupa.
Perupa yang menggoreskan cat di tubuh gitar milik Dewa Bujana adalah perupa terkenal yang harga karyanya sangat mahal hingga bilangan milyaran rupiah. Para perupa itu, diantaranya Jeihan, Nyoman Gunarsa, Djoko Pekik, Nasirun, Putu Sutawijaya, Nyoman Nuarta, Made Wianta, Srihadi Sudarsono, Heri Dono, Nyoman Mandra, Made Djirna, dan Erica Hestu Wahyunu.
Pameran yang diberi tajuk ‘Dawai-Dawai Dewa Budjana’ yang sekaligus menjadi judul buku, yang ditulis Bre Redana, diselenggarakan Kamis 9-21 Januari 2015 di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Koleksi gitar Dewa Bujana, yang berjumlah 34 buah, semuanya direspon oleh para perupa, sehingga tubuh gitar dijadikan sebagai kanvas.
Pada lukisan gitar karya Nyoman Gunarsa, Bre Redana memberi judul ‘Nyoman Gunarsa Energi yang tak pernah padam’. Pada awal tulisan Bre mengutip apa yang dikatakan Nyoman Gunarsa mengenai gitar Dewa Bujana.
“Musik itu gerak. Gerak dalam ruang. Movement in the space. Kata-kata itu meluncur dari Nyoman Gunarsa, untuk menggambarkan gitar Dewa Bujana yang dilukiskan,” tulis Bre Redana.
Seni rupa gitar Dewa Budjana karya Made Djirna
Lain lagi respon dia terhadap Djoko Pekik. Pada pelukis yang dikenal dengan karya Trilogi Celeng ini, Bre Redana memberi judul lukisannya ‘Djoko Pekik, Realisme Sosialis’. Menuliskan lukisan Pekik, demikian panggilan Djoko Pekik, Bre menuliskan:
“Kalau pada satu gitar muncul seribu nada maka pada gitar yang ditoreh oleh lukisan pelukis Djokok Pekik yang muncul adalah nada realisme sosialis, lengkap dengan sejarah penderitaan seniman dari mashab itu sehubungan dengan peristiwa politik sangat gelap yang pernah terjadi di Indonesia”.
Salah seorang perupa perempuan, Erica Hestu Wahyuni, tak ketinggalan ikut melukis di tubuh gitar milik Dewa Budjana. Pada tulisannya, Bre Redana memberi judul ‘Erica Hestu Wahyuni, Dunia Kanak-kanakku..’
“Beri aku gitarmu, akan kugambar seribu gitar. Menorehkan pelototan cat acrylic dari tube atau tabungnya ke kanvas adalah bagian keasyikan duniaku, Jangan ganggu aku. Aku ingin memelihara kanak-kanakku di situ,” tulis Bre Redana.
Bagi Bre Redana, rangsangan kreatif yang ditimbulkan oleh perupa untuk gitaris seperti Budjana sebenarnya tidak hanya berjalan searah. Ada proses timbal balik, setidaknya pada kasus Erica. Erica jadi ‘kecanduan’ melukis alat musik.
Goenawan Mohamad, yang dikenal sebagai sastrawan sekaligus wartawan senior, yang memberi pengantar pada buku yang berjudul ‘Dawai-dawai Dewa Bujana’ dan sekaligus menjadi tajuk pameran seni rupa-gitar menyebutkan, bahwa sedikit sekali musikus Indonesia yang akrab dengan dunia senirupa. Budjana salah satu dari yang sedikit itu, mungkin karena ia dibesarkan di Bali, tempat pelbagai cabang senibertaut di satu tempat, di satu pentas.
Pameran senirupa di tubuh gitar, atau sebut saja senirupa gitar memberikan pesona tersendiri. Dari pameran ini kita bisa tahu, bahwa senirupa tidak hanya berhenti pada media kanvas, tapi sekaligus bisa berinteraksi dengan alat musik.
Seni rupa gitar Dewa Budjana karya Erica Hestu Wahyunu
Dewa Budjana sebagai musisi, rupanya bersedia membuka ‘jendela’ sehingga bersedia berinteraksi dengan kesenian lain. Apa yang dilakukan Budjana, merupakan sikap budayayang tidak dimiliki banyak musisi lain. Upaya dia untuk membuat museum yang menyajikan koleksi gitar, lebih-lebih gitar tersebut telah menjadi media senirupa, akan memiliki makna ganda: museum gitar sekaligus museum senilukis.
Ons Untoro
Foto:Ade Tanesia/Sangkring
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Penghargaan Teater untuk Bakdi Soemanto(06/01)
- Berjoget Ria di Malam Puncak Dies Natalis Antropologi Budaya UGM ke-49(04/01)
- Peristiwa Sebuah Kelas di Sangkring Art Space(04/01)
- Gelar Maestro untuk Dua Seniman Tradisi(03/01)
- Sastra di Tengah Hujan Bulan Purnama(02/01)
- Libur Natal & Tahun Baru(23/12)
- Pemeran Seni Rupa Ajining, Sebuah Kepedulian pada Malioboro(21/12)
- Pendadaran Tari Sanggar Tari Anak Tembi Periode VII(20/12)
- Upaya Membentuk Jaringan Perpustakaan Berbasis Budaya Jawa(20/12)
- Kebiasaan Bersyukur Masyarakat Kasongan(19/12)